Rabu, 15 Juni 2011

Rinai Kabut Singgalang Singgahi STAIN Bukittinggi dan STKIP Bangko Jambi

Menandatangani Novel Rinai Kabut Singgalang

Kebahagiaan bagi seorang pengarang adalah ketika karyanya mendapat apresiasi pembaca. Begitupun saya, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata ketika mahasiswa STAIN Syekh M. Djamil Djambek Bukittinggi, Rabu 8 Juni 2011 lalu mengundang saya menjadi narasumber dalam kegiatan mereka. Mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Padangpariaman itu, mengangkat acara Bedah Novel “Hatinya Tertinggal di Gaza” karya Novelis Perempuan Sumatera Barat produktif, Sastri Bakry yang juga sahabat saya.

Sebuah kehormatan tentunya saya terima saat itu. Saya yang baru menerbitkan satu novel—Rinai Kabut Singgalang—diberi kesempatan membedah novel Sastri Bakry yang diterbitkan Grasindo, yang sebelumnya Sastri Bakry juga sudah menulis beberapa novel lainnya. Dan, tidaklah tahu saya apa alasan panitia memilih saya sebagai pembedah novel itu—mungkin saja karena saya menulis novel juga. Yang pasti, saya menaruh hormat kepada kawan-kawan mahasiswa STAIN Bukittinggi yang memberikan kepercayaan itu kepada saya.

Kampus II STAIN Bukittinggi di Kubang Putih untuk kedua kalinya saya kunjungi, setelah sebelumnya, tahun lalu, mahasiswa STAIN Bukittinggi juga mengundang saya untuk menjadi pemateri pelatihan Jurnalistik tingkat dasar. Kehadiran saya kali ini, adalah untuk yang kedua kalinya. Kampus di kaki Gunung Merapi itu tampak indah ditingkahi hari yang rancak, tidak hujan tidak pula panas.

Bersama Uni Sastri Bakry dan panitia usai Bedah Novel di STAIN Bukittinggi

Alhamdulillah, acara berlangsung semarak dihadiri seratusan mahasiswa dari berbagai jurusan. Kaum perempuan mendominasi acara itu. Dan, agaknya, tidak hanya di acara-acara bedah buku saja kalangan perempuan dominan hadir, tapi juga diberbagai kegiatan lainnya, semisal di masjid, pasar, seminar, di sekolah, kampus, dan lainnya, kaum perempuan mendominasi. Khusus untuk acara bedah buku itu, pegarangnya, Sastri Bakry adalah juga seorang perempuan. Hendaknya, kondisi itu memicu semangat kaum perempuan lainnya untuk menulis.

Selang beberapa hari kemudian, tepatnya Jumat 10 Juni 2011 sore, saya dan Penyair Sulaiman Juned berangkat menuju Bangko, Provinsi Jambi. Saya diundang mahasiswa Lokal A Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jambi untuk membedah Novel Rinai Kabut Singgalang. Sebagai pengarangnya tentu saja saya diwajibkan hadir. Pembedahnya sendiri adalah Sulaiman Juned, Penyair yang juga Dosen Jurusan Teater ISI Padangpanjang. Acara ini digagas Wiko Antoni, Dosen Sastra STKIP Bangko lalu disambut baik mahasiswa binaannya.

Saya dan Sulaiman Juned bermalam di rumah Wiko Antoni di Rantau Panjang. Perjalanan dari Padangpanjang ke Rantau Panjang itu, menghabiskan waktu 8 jam. Parahnya, di sepanjang jalan dari Dharmasraya hingga Rantau Panjang, banyak jalan rusak, penuh lobang dan debu yang berpotensi menyebabkan sakit TBC. Untunglah kami naik mobil pribadi yang dirental selama dua hari. Jadi agak sedikit nyaman di dalam kendaraan ber-AC.

Esoknya, pagi yang indah menyambut kami di Kampus STKIP Bangko yang berada di pinggir kota—juga di pinggir hutan belantara Jambi. Dari kejauhan tampaklah di mata saya dua gunung dan perbukitan yang memanjang. Terbit hasrat saya hendak menelusuri belantara lebat itu, mampir di komunitas masyarakat Kubu (Suku Anak Dalam) dan ingin melihat aktivitas mereka. Tapi hasrat itu hanya ada dalam imajinasi saya saja, sebab waktu yang terbatas tidak memungkinkan kami berjalan jauh selain untuk acara yang sudah direncanakan.

Bersama kawan-kawan Komunitas Hijau, STKIP Bangko, Jambi

Di aula kampus STKIP Bangko, seratusan mahasiswa sudah menunggu. Ketua Yayasan STKIP Bangko dan Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia juga hadir. Saya lihat semangat sekali mereka, khususnya panitia yang memenej acara. Ini acara besar. Setelah sambutan ini-itu yang dilakukan secara formal, Bedah Buku dibuka oleh lantunan lagu “Ode Rinai Kabut Singgalang” tembangnya Muhammad Jujur, seniman musik Padangpanjang yang selalu setia menemani saya dalam berbagai kegiatan bedah buku. Saya salut kepada Muhammad Jujur, petikan gitarnya membuai, suaranya khas, dan siapapun yang mendengar takjub.

Pembedah Sulaiman Juned “menguliti” isi Novel Rinai Kabut Singgalang dari berbagai sisi. Sebagai pengarang, saya tidak banyak komentar, cenderung menceritakan proses kreatif saja. Bagi saya, apapun komentar pembaca terhadap isi novel saya itu, sepenuhnya hak pembaca. Saya berprinsip, tugas seorang pengarang adalah mengarang, setelah karyanya terbit dan beredar di tengah masyarakat, khalayak pembacalah yang menjadi hakim. Siapapun yang membaca novel saya itu, merekalah hakimnya. Apapun vonis yang mereka jatuhkan, baik-buruknya, saya terima dengan lapang dada. Dan, dari beberapa kota yang menggelar bedah novel saya itu, saya banyak sekali menerima masukan yang tentu saja sangat berharga buat saya melakukan perbaikan di sana-sini nantinya, pada cetakan kedua.

Bedah novel yang dipandu Wiko Antoni itu, berjalan khitmad. Banyak pertanyaan diajukan peserta. Banyak juga motivasi yang saya berikan bersama Sulaiman Juned, khususnya motivasi menulis. Ada peserta yang mengatakan dirinya tidak berbakat menulis, tapi ada kemauan untuk menulis. Nah, “kemauan” di situ sudah modal besar. Bakat itu pasal 16. Pasal pertama, ya itu, “kemauan”. Bukankah banyak orang yang sebenarnya berbakat tapi tidak mau menulis?

Sulaiman Juned membedah Novel Rinai Kabut Singgalang

Acara berakhir dengan lagu penutup yang dibawakan Muhammad Jujur. Judulnya “Cambuk Berduri”. Muhammad Jujur mengarang 10 lagu terkait Novel Rinai Kabut Singgalang. Kawan-kawan di Padangpanjang yang berkegiatan di Mekahiba Production, tempat Muhammad Jujur beraktivitas, sedang menggarap albumnya. Dibuatkan videoklipnya. Saya bersyukur hidup di tengah kawan-kawan yang kreatif, semuanya memiliki potensi luar biasa. 

Di Bangko, saya dan kawan-kawan berkesempatan juga singgah dan berdiskusi dengan adik-adik di Komunitas Diksi dan Komunitas Hijau, sebuah komunitas seni yang berkegiatan di dunia teater. Diantara mereka sudah menulis meski belum menerbitkan buku. Tapi tak apa, masa depan berkegiatan mereka masih panjang. []

2 komentar:

  1. ya semoga RKS bukan novel pertama dan terakhir Wiko Antoni dan teman-teman di Bangko menunggu M Subhan kembali menuturkan perenungannya yang cerdas kemedia karya sastera agar kembali kita bicarakan lagi bagaimana subhan melihat hidup dari "kacamatanya"

    BalasHapus
  2. Terima kasih. Insya allah, semoga diberikan kesempatan oleh Allah untuk kembali singgah di STKIP Bangko. Salam sastra.

    BalasHapus