Rabu, 11 Mei 2011

Belajar Sederhana dari The Rock of Tanios


Oleh Arafat Nur*)

Modal dasar menulis novel adalah menguasai bahasa dan kemampuan merangkai kata, maka diperlukan perbendaharaan kata yang banyak. Tanpa menguasai kata, mustahil dapat menyampaikan sesuatu pemahaman sebagaimana yang dimaksud. Jika kita memiliki kekayaan bahasa, maka sangat mudah mengungkapkan apa saja yang kita pikirkan dan kita rasakan secara tepat, sesuai dengan kehendak kita.

Lebih dari itu adalah menguasai teori, seperti cerita harus memiliki konflik, tokoh, alur, dan setting. Supaya kisah itu menarik, maka haruslah ditulis dengan tehnik, dengan gaya memikat. Ada banyak gaya bercerita, yang tidak satu pun tertulis, dan gaya-gaya berkisah itu adalah milik pengarang masing-masing. Untuk memahami suatu gaya tulisan, maka harus mempelajari secara langsung dari novel karya penulis dimaksud.

Semisal gaya Jorge Luis Borges, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Milorad Pavic, Gabriel Garcia Markuez, Amin Maalouf, mereka memiliki kecendrungan masing-masing yang sangat berbeda, tetapi sama-sama kuat, menarik, dan memikat, serta dapat diterima. Di dalam forum yang singkat ini tidak mungkin kita membahas karya mereka satu persatu. Untuk lebih menghemat waktu ada baiknya kita menelusuri The Rock of Tanios karya Amin Malouf saja, sambil kita belajar sedikit untuk menulis sebuah novel bagus.

Mari kita perhatikan pembukaan novel ini;

Pada masa itu langit sedemikian rendah sehingga tak seorang pun berani berdiri tegak. Namun, mereka harus hidup, ada keinginan-keinginan dan hajatan dan kenduri. Dan jika orang tidak pernah mengharapkan yang terbaik di dunia ini, paling dia berharap setiap hari semoga terhindar dari malapetaka.

Ini adalah pembukaan yang sederhana, tetapi sangat terukur dan kuat. Meskipun sederhana, hal semacam ini tidak biasa, kalimat-kalimatnya bertenaga dan menggugah. Lain halnya jika ditulis; Pada masa itu langit mendung, awan mengelantung-gelantung, sudah lama tidak turun hujan, kemarau terjadi terus-terus. Udara sangat terik, angin sepoi-sepoi, orang-orang pada lesu, malas kerja, dan malas pergi ke mana-mana. Pembukaan yang semacam ini terlampau biasa, menjenuhkan, dan tidak menjanjikan sebuah cerita yang bagus, sehingga orang akan segera meninggalkannya.

Kekuatan cerita tidak hanya dibutuhkan pada pembukaan semata, tetapi harus ada kelanjutan dan tetap menjaga dan mempertahankannya hingga pada akhir kisah, sehingga tidak ada bagian-bagian yang terasa lemah, tidak bagus, dan lesu. Pada kalimat terakhir pembukaan itu, memberikan rasa penasaran bagi pembaca, yang tak mungkin dapat ditebak seketika.

Pada waktu itu seluruh desa adalah milik seorang bangsawan. Dia ahli waris keluarga cheikh (kepala desa), yang mempunyai garis keturunan panjang. Tetapi, jika sekarang orang membicarakan “zaman cheikh,” tanpa menjelaskan lebih lanjut, semua orang sudah tahu, bahwa yang dimaksud pastilah cheikh yang berkuasa semasa Lamia hidup.

Pada alinia ini kita mendapatkan daya gugah yang semakin kuat, sebuah lanjutan yang membuka ruang penasaran lain. Inilah yang dinamakan tehnik memikat; menjelaskan latar cerita yang agak ganjil, yaitu keterangan sebuah desa dengan pola kalimat yang langka, tetapi tanpa beban dan tidak terkesan mengada-ada, seolah-olah semua itu demikianlah adanya.

Dia bukanlah penguasa yang paling berkuasa di negeri itu, sama sekali bukan. Di antara tanah datar di sebelah timur dan laut, membentang wilayah lain yang lebih luas dari wilayahnya. Wilayah miliknya hanyalah Kfaryabda dan beberapa tanah pertanian di sekitarnya. Di bawah kekuasaannya mungkin hanya ada tiga ratus keluarga, tak lebih dari itu. Di atas dia dan di atas sesama cheikh, ada Emir Montagne, dan di atas emir ada pacha provinsi, di Tripoli, Damaskus, Saida atau Arce. Dan lebih tinggi lagi, jauh lebih tinggi, bertetangga dengan langit, ada Sultan di Istambul. Tetapi orang desaku tidak pernah melihat terlalu tinggi. Untuk mereka, cheikh “mereka” sudah cukup tinggi.

Cerita ini pun semakin melebar yang tidak mengurangi daya pikatnya, malah semakin menajam dengan majas hiperbolik; “Dan lebih tinggi lagi, jauh lebih tinggi, bertetangga dengan langit, ada Sultan di Istambul”. Gaya menerangkan seperti ini bukan maksud mengumbar kata-kata secara berlebihan, melainkan perluasan yang terjaga, dan apabila satu kalimat saja dibuang, maka cerita pun menjadi cacat dan pincang.

Perihal semacam ini kurang dipahami banyak pengarang, yang kadang hanya merangkai kata-kata supaya cerita menjadi tebal. Selain kerincian yang benar-benar dibutuhkan cerita, lebih dari itu tak perlu dituliskan. Kerap pula pengarang terlena oleh rangkaian kata-kata indah, sehingga cerita kehilangan makna; sebuah cerita yang dikarang cukup panjang, sering pula makna yang terkandung hanya sejengkal.

Banyak orang, setiap pagi, pergi ke istana untuk menunggunya bangun, mereka berdesak-desakkan di lorong yang menuju ke kamarnya. Tatkala dia muncul, mereka menyambutnya dengan doa restu, dengan suara keras atau bisikan, campur baur suara lantang dan lembut mengiringi setiap langkahnya.

Peristiwa sederhana ini sangat unik, jarang-jarang terjadi, dan rasanya tak mungkin terjadi sekarang ini. Hal-hal unik seperti itu sesungguhnya menjadi daya tarik, dan menjadi semacam syarat yang wajib bagi sebuah novel yang baik. Hal-hal ganjil seperti ini pun banyak terdapat pada semua karya sastra bermutu, sebagaimana halnya dalam karya klasik kita seperti pada roman Siti Nurbaya, sebuah kebiasaan, perilaku, dan adat yang mungkin tidak ada di tempat lain.

Selain itu, sejak awal pengambaran tempat dan kelakuan tokoh-tokohnya secara umum sudah sangat kental, tanpa ada kesan untuk menerangkan semua itu secara khusus. Dan hal ini semakin dipertegas lagi dengan rangkaian tindakan yang begitu banyak, dan kaya akan kata kerja (murni ataupun turunan) yang berjejalan, semisal pergi, menunggunya, bangun, berdesak-desakkan, menuju, menyambutnya, bisikan, dan mengiringi. Selain itu, effek yang muncul juga sangat kuat seperti dalam kalimat; mereka menyambutnya dengan doa restu, dengan suara keras atau bisikan, campur baur suara lantang dan lembut mengiringi setiap langkahnya; seolah-olah kita dapat merasakan dan mendengarkan semua kejadian itu.

Mereka sebagian besar berpakaian seperti dia, seroual hitam yang menggelembung, kemeja putih bergaris-garis, kupiah warna tanah, dan semuanya atau hampir semuanya berkumis tebal yang berpilin ka atas pada wajah yang licin. Lalu apa yang membedakan sang Cheikh? Hanya rompi yang berwarna hijau buah, berhiaskan benang emas, yang selalu dikenakannya di segala musim, seperti orang lain menggunakan mantel bulu zibeline atau membawa tongkat. Namun, tanpa hiasan itu sekalipun, tidak sulit bagi para tamu membedakan sang Cheikh di tengah orang banyak, karena semua kepala merunduk untuk mencium tangannya secara bergiliran. Upacara itu berlanjut sampai ke Balai Tiang Besar, sampai dia mendapati tempat yang bisa didudukinya di sofa dan menyisipkan ujung emas pipa air di antara dua bibirnya.

Cara menerangkan dengan “mempermainkan” logika serta tindakan orang-orang desa yang langka seakan membuat kita terpana. Daya humornya pun membikin kita tersenyum. Penggalan-penggalan keunikan yang telah dimulainya dari awal ternyata terus berkesinambungan, membuat hasrat kita semakin menggebu untuk melanjutkan. Mari kita simak lebih lanjut lagi kisahnya:

Sesampai di rumah menjelang petang, mereka menyampaikan kepada istri masing-masing: “Pagi tadi aku melihat tangan Cheikh.” Bukan: “Aku mencium tangan Cheikh.” Itu memang mereka lakukan, dan di depan umum, tetapi mereka tidak puas mengatakannya demikian. Juga tidak: “Aku bertemu dengan Cheikh,” karena dapat dianggap menyombongkan diri, seolah-olah pertemuan dua orang yang sederajat! Tidak! “Aku melihat tangan Cheikh,” itulah ungkapan yang biasa dipakai.

Tak ada tangan yang dianggap begitu penting. Tangan Tuhan dan Sultan dapat menyebarkan bencana alam, tetapi tangan Cheikhlah yang menimbulkan kesulitan sehari-hari. Dan terkadang juga meninggalkan remah-remah kebahagiaan.

Dalam bahasa sehari-hari di desa itu, kata kaff bisa berarti tangan, dan bisa pula berarti tamparan. Banyak penguasa yang menjadikannya lambang kekuasaan dan alat pemerintahan. Bilamana para penguasa sedang berbincang-bincang sesamanya, jauh dari telinga hamba sahaya, sering terlontar kata-kata dari mulut mereka: “Para petani harus selalu dipukul kuduknya,” maksudnya para petani harus selalu dibuat dalam ketakutan, pundak merunduk. “Tamparan” sering pula berarti penjara, cambuk, dan kerja paksa.

Penguasa tidak ada yang dihukum bila memperlakukan rakyatnya sewenang-wenang. Kalau ada, tapi ini jarang sekali, penguasa lebih tinggi yang mempersoalkan perlakuan penguasa atas rakyatnya, dan ini biasanya karena ada niat lain di hatinya, dia hendak menghancurkan bawahannya ini, dengan seribu satu alasan, dan karena itu mencari-cari dalih sekecil apa pun untuk menindasnya. Sudah berabad-abad lamanya rakyat diperintah dengan sewenang-wenang, dan andai dulu pernah ada jaman keadilan, tak seorang pun tahu mengenai hal itu.

Jika ada rakyat yang beruntung memiliki pemimpin yang tidak begitu serakah, tidak sekejam yang lain, mereka mendapatkan perlakuan istimewa, dan mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang telah menunjukkan perhatian yang sedemikian besar, seolah-olah hanya itu yang dapat dilakukan-Nya.

Dari rangkaian ini kita dapat menelisik lebih lanjut bagaimana sebuah kisah itu dibuat untuk memukau dan memikat, dengan serba keunikan, baik kisah maupun pola ungkap, majas-majas yang begitu dekat dengan pendengaran kita sehari-hari. Selain itu kisahnya amat kaya dengan arus yang begitu deras, yang hanya dua halaman saja, tanpa sadar kita telah dibawa menelusuk jauh ke dalam cerita yang telah jauh terseret.

Amin tidak bersedia mengumbar dan bermain dengan kata-kata, yang tidak lain adalah hanya bertujuan untuk menunjukkan kehebatan penguasaan bahasa penulisnya, bukan kehebatan kisah dan cara mengisahkannya. Lihat saja, bagaimana kisah yang berjarak dan begitu jauh dari kita ini terasa begitu dekat sekali, dan rasanya tak sabar lagi bagi kita untuk melahapnya sampai tuntas.[]

*Arafat Nur, adalah penulis puisi dan prosa. Lampuki, novelnya memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2010. Makalah ini disampaikan dalam acara Bedah Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dan Seminar Nasional “Aku Juga Bisa Nulis Novel’, Minggu 3 Maret 2011 di Graha Serambi Mekah Padangpanjang.

Gambar: Arafat Nur bersama panitia Bedah RKS dari Rumah Permata Event Organizer Padangpanjang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar