Jumat, 06 Mei 2011

Catatan Dibalik Bedah Buku Rinai Kabut Singgalang (RKS): RKS yang Me-renaisans


Oleh Elly Delfia

Bangsa-bangsa terlahir dari hati para pujangga tapi kejayaan dan kehancurannya ada di tangan politisi... (Iqbal, Penyair).

Satu lagi karya lahir dari hati pujangga ranah ini, Muhammad Subhan. Setelah beberapa novel, beberapa kumpulan cerpen, dan beberapa kumpulan puisi yang lebih dulu terbit, seperti Cinta di Kota Serambi oleh Irzen Hawer, Kekuatan Cinta oleh Sastri Bakri, Bunian oleh Azwar Sutan Malaka, Pengantin Subuh oleh Zelfeni Wimra, Satu Hari Bukan di Hari Minggu oleh Yetti A.KA, Perempuan Bawang  dan  Lelaki Kayu oleh Ragdy F. Daye, Kutukan Pitopang oleh Maya Lestari, Padusi oleh Ka’bati,  Musim Manggaro oleh Elly Delfia, dan Pinangan Orang Ladang oleh Esha Tegar Putra.

Bedah novel Rinai Kabut Singgalang (RKS) digelar oleh Tabloid Idealita STAIN Batusangkar pada 12 Maret 2011 lalu. Sebagai narasumber, hadir Damhuri Muhammad (cerpenis dan esais nasional), Muhammad Subhan (penulis RKS), dan saya sendiri. Bedah novel yang diikuti oleh para guru sekolah dan mahasiswa ini menyisakan beberapa catatan menarik. RKS sebuah novel cinta platonik yang nongol di tengah hiruk pikuk zaman yang memuja cinta materi belaka. Cinta yang lahir dari kesucian hati yang tidak mengedepankan nafsu belaka. Cinta Fikri dan Rahima yang sarat pengorbanan dan airmata. RKS sebuah novel yang menarasikan luka disebabkan oleh cinta, serupa yang tertera pada prolog...dari luka, prosa bermula...(Damhuri Muhammad). Novel yang menabur pengharapan akan mengembalikan kejayaan ranah yang terkenal dengan gudang penulis ini.

RKS me-renaisans kerinduan pembaca yang haus terhadap bacaan-bacaan bernuansa budaya dan etnik, terutama budaya Minangkabau. RKS me-renaisans kembali pikiran pembaca kepada novel-novel angkatan Balai Pustaka. Me-renaisans di sini dalam artian mengalihkan kembali perhatian pembaca kepada kesusasteraan klasik di tengah tumbuh dan berkembang kesenian dan kesusasteraan baru, serta menjamurnya ilmu pengetahuan modern (KBBI, 2008), bahkan postmodern. RKS mengajak pembaca bernostalgia dengan novel-novel masa lalu itu.

Berbeda dengan novel-novel terbaru yang ada saat ini, RKS menarik perhatian pembaca dengan gaya bahasa dan gaya penceritaan novel klasik (roman) yang pernah berjaya di masa lalu. Sesuatu yang rasanya tidak mungkin dilakukan oleh penulis yang lahir dan hidup pada masa sekarang, seperti halnya Muhammad Subhan. Namun secara prinsip, RKS berbeda dengan novel-novel yang pernah ada sebelumnya, yang juga membicarakan persoalan ke-Minangkabau-an, seperti Siti Nurbaya, Salah Pilih, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, dan yang agak baru Warisan, Orang-orang Blanti dan Bako. RKS dengan jujur berbicara tentang sistem matrilineal yang utuh. Hal itu dibuktikan dengan kuasa tokoh Ningsih terhadap kehidupan adiknya, Rahima meskipun cara yang dilakukan Ningsih untuk melindungi dan membahagiakan adiknya itu salah.

Ningsih bukanlah seorang mamak bagi Rahima tapi ia punya hak penuh mengatur kehidupan adiknya itu. Dialah yang membiayai sekolahnya dengan harapan kelak Rahima dapat hidup lebih baik lantaran pendidikannya dan bersuami orang yang mapan secara materi. Dan ia sudah menemukan pilihan buat adiknya itu, seorang kawannya di Jakarta yag bekerja di kantor suaminya. Walau demikian sikap Ningsih tak dibenarkan Rahima karena ia tidak ingin dijodoh-jodohkan dengan orang yang tak ia kenal dan tak pula ia cintai (Subhan, 2011:247-248).

Lalu mengenai harta warisan ibu Fikri. Meskipun sang ibu sudah mempermalukan dan memutuskan hubungan dengan keluarga, tak seorang pun di antara anggota keluarganya yang lain mencoba merebut harta yang menjadi haknya sebagaimana yang biasa terjadi dalam kenyataan hari ini. Perempuan yang dipanggil Mak Tuo serta Mamak Bujang yang masih keluarga ibu Fikri, benar-benar menjadi orang baik yang ideal menurut adat-istiadat. Mereka dengan setia merawat dan menjaga harato pusako yang seharusnya menjadi hak ibu Fikri. Sementara dalam novel yang berlatar budaya Minangkabau pada umumnya, seperti Siti Nurbaya, Salah Pilih, Warisan, Orang-Orang Blanti, konflik masih didominasi kuasa patriarki. Perempuan-perempuan dalam novel tersebut menjadi pihak tak beruntung, teraniaya, tak berdaya, dan termarjinalkan meskipun adat-istiadat dan sistem matrilineal menempatkan mereka pada posisi terhormat.

Kemudian seperti penyataan Wellek dan Warren (1995) bahwa novel mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada seorang psikolog. RKS pun demikian. RKS adalah potret hidup seorang tokoh Fikri yang amat pahit dan dramatis. Fikri adalah sosok lelaki yang cukup lemah. Ia terus menangisi hidup dramatis tersebut sehingga membuat pembaca sedikit terganggu dengan kesedihan Fikri yang bertabur di sepanjang novel. Konsep Horace (kritikus sastra Yunani) yang menyakatan karya sastra adalah dulce (menyenangkan) dan utile (berguna/bermanfaat) agaknya terlupakan oleh penulis. Penulis lupa memasukan unsur dulce dalam novel ini. Yang ada hanya keratan-keratan kesedihan tak sudah-sudah. Penulis lupa mempertimbangkan pembaca sebagai penikmat karya. Pembaca yang bersusah payah menahan nafas, di bagian mana kesedihan Fikri akan berakhir. Tokoh  Fikri dalam RKS terbenam dalam kelaraan yang sempurna. Padahal masa itu, tak kurang banyak segala lawakan dan candaan di televisi yang mampu menghibur orang-orang dari kesedihan, seperti Ektravaganza, Srimulat, kucikak Ajo dan One. Lelaki Minang sejati tentunya penuh humor dan kelakar untuk menertawakan kesedihan. Mereka sosok luar biasa yang mengagungkan perempuan melalui sistem matrilineal. Sistem yang menjaga dan melindungi perempuan. Sistem matrilineal bukan wujud kekalahan lelaki Minangkabau sebaliknya sistem matrilineal adalah wujud ‘kebesaran jiwa’ lelaki Minangkabau dalam melindungi perempuan mereka. Seandainya sistem matrilineal tidak berlaku di ranah ini, tak terbayangkan betapa sulitnya posisi perempuan Minangkabau. Bahkan saat ini, sistem matrilineal tak sepenuhnya mampu melindungi dan menempatkan perempuan Minangkabau pada kehidupan yang layak. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya perempuan Minang bekerja pada berbagai sektor kehidupan, bahkan yang lebih parah menjadi pekerja seks komersil (PSK).       

Selain itu, hal menarik lain dari RKS adalah penggunaan struktur bahasa Indonesia yang tak lazim. Struktur bahasa Indonesia dalam RKS dipengaruhi oleh struktur bahasa Minangkabau. Bahasa yang populer dengan bahasa Indomi alias bahasa Indonesia-Minangkabau. Bahasa Indonesia yang terpengaruh oleh logat dan struktur bahasa Minangkabau. Struktur yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan struktur kalimat inversi. Kalimat inversi merupakan kalimat yang prediket (P) mendahului subjek (S) atau kalimat yang berstruktur PS (Prediket Subjek). Kalimat inversi bukan tuturan yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Kalimat inversi digunakan untuk menghadir nuansa estetika (keindahan) dan kesantunan (politness). Kalimat inversi biasanya digunakan dalam tuturan adat-istiadat. Di bawah ini merupakan  contoh kalimat inversi dalam RKS.

Mengenang ia akan pemandangan batang Tantongar di Kajai yang banyak iakannya. Berjongkoklah ia lalu menyentuh jari-jari tangannya ke arah ikan-ikan kecil  di danau itu.(Subhan, 2011:132). 

Berdirilah ia di simpang tiga itu. Lurus adalah jalan ke bkittingi lewat kelok ampek puluah ampek yang terkenal itu. Jalan ke kiri balik ke lubuk basung, jalan ke kanan  arah rumah kelahiran buya Hamka. Tokoh sastrawan yang hebat itu. Ingatlah ia akan bingkisaan buku yang dihadiahkan Yusuf, sahabatnya.(Subhan, 2011: 133) .

Lalu Yusuf melanjutkan perkataannya. Lihat pula batu karang itu Guru. Tidak tahu kita, sejak kapan ia telah berada di sana...Mungkin saja ia manusia pilihan, yang kelak akan jadi pemimpin di negerinya. Ditempa ia sejak kecil, diberi bermacam-macam penderitaan dan cobaan, tapi suatau saat ia akan mengecap kebahagiaan..(Subhan, 2011:277).

Seperti halnya novel-novel yang belakangan Best Seller di jagad pembaca tanah air, RKS juga menonjolkan kearifan lokal Minangkabau yang sarat nilai dan pembelajaran hidup, seperti halnya Tetralogi Laskar Pelangi dari Andrea Hirata yang berlatar masyarakat Melayu Belitong dan Trilogi Negeri 5 Menara dari A. Fuadi yang juga kental aroma Minangkabaunya. Wellek dan Warren (1995) dalam teori sosiologi sastra menyebut karya-karya seperti ini sebagai karya yang mewakili institusi sosial dan mewakili zamannya. Semoga demikian.

Padang, Pertengahan Maret 2011

Elly Delfia, Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Ikut membedah Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan, 12 Maret 2011 di Kampus STAIN Batusangkar, Tanahdatar, Sumatera Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar