Bersama Taufiq Ismail, penyair Indonesia
Dua agenda “tebar virus” menulis saya lakoni seharian Sabtu, 11 Juni 2011. Pertama, di Rumah Puisi Taufiq Ismail Aie Angek, saya kedatangan siswa Sekolah Menulis binaan Alizar Tanjung, cerpenis muda berbakat yang juga mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang. Kedua, saya kembali diundang mampir ke kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi. Kali ini saya memberi materi jurnalistik untuk kawan-kawan pengelola Tabloid “Al Itqan” di kampus itu.
Dua kegiatan itu sudah diagendakan sebelumnya. Secara intensif Alizar Tanjung menelepon saya atas rencananya membawa siswa Sekolah Menulis yang baru ia operasional beberapa bulan di Padang. Walaupun jumlah siswanya tidak banyak tapi saya menilai Alizar Tanjung sudah cukup sukses melakukan pembinaan menulis bagi generasi muda Ranah Minang.
Pagi itu ada sekitar 8 orang siswa menulis yang datang ke Rumah Puisi. Usai beramah tamah saling memperkenalkan diri, saya memberikan sedikit motivasi tentang pentingnya membaca buku dan menulis karangan. Ibarat dua sisi mata uang, membaca dan menulis tidak dapat dipisahkan.
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan diajukan siswa Sekolah Menulis tentang pentingnya menulis. Ada juga yang bertanya tentang proses kreatif saya mengarang novel Rinai Kabut Singgalang. Dan tak sedikit yang bertanya tentang kiat menembus penerbit dan kiat menerbitkan tulisan di suratkabar.
Diskusi yang dimulai dari pukul 10.00 pagi itu terasa cepat saja terlewati dan tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul 12.30 WIB. Sebagaimana diskusi-diskusi kepenulisan di lain kesempatan yang saya lakukan, banyak siswa yang tak ingin cepat beranjak dari kursi duduk mereka.
Sayang, saya pun tak dapat berlama-lama berdiskusi dengan kawan-kawan Sekolah Menulis itu, sebab saya harus bergegas ke STAIN Bukittinggi. Usai makan dan salat zuhur saya pun berangkat menuju STAIN lalu disambut kawan-kawan di kampus tersebut.
Dalam pelatihan jurnalistik di STAIN itu saya diminta panitia untuk mengulas soal Teknik Wawancara dan Foto Jurnalistik. Pengalaman selama 11 tahun menjadi wartawan di sejumlah suratkabar di Padang, tentu saja kedua materi itu tidak asing bagi saya. Hanya sayangnya di ruangan tidak ada in-focus sementara bahan presentasi saya sudah dibuat dalam bentuk power point. Walau kondisi itu saya maklumi, tapi agaknya peserta tidak cukup nikmat mendapat materi yang sepihak saya sampaikan.
Tetapi untunglah saya dapat menguasai suasana dengan diskusi-diskui dan humor yang menyegarkan. Walau telah siang beranjak sore, agaknya mahasiswa yang hanya berjumlah 15 orang itu tidak ada yang mengantuk. Harapan saya, semoga materi ringkas yang saya sampaikan itu dapat diterapkan dalam mengelola tabloid kampus yang mereka bina.
Dua contoh Tabloid Al Itqan yang saya perhatikan, agaknya belum dikelola secara baik. Hampir seluruh berita ditulis di dalamnya bergaya berita harian sementara tabloid itu sendiri terbit triwulan (3 bulan sekali). Tentu saja semua berita yang terbit di tabloid itu sudah basi. Saya menyarankan agar penulis berita memahami penulisan bergaya feature (baca: ficer) sehingga tulisan dapat bertahan lama. Sebab tulisan feature tetap asyik dan enak dibaca dalam kondisi apapun.
Dilain kesempatan Tim Redaksi Al Itqan berjanji akan membuat pelatihan baru khusus mempelajari Teknik Penulisan Feature yang tentu saja jadwal materinya tidak cukup 2-3 jam, bila perlu seharian. Dan, bila diundang lagi, tentu saja saya dengan senang hati menyatakan kebersediaan memberikan materi itu. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar