Kamis, 08 Desember 2011

Ketika Kota Padang Terlukis dalam Puisi, Catatan Lomba Cipta Puisi Padang 2011

Dewan Juri dan para pemenang 
Lomba Cipta Puisi Padang saat berkunjung 
ke museum sastra di Melaka, Malaysia.

 Oleh Kurnia Hadinata

dulu sekali, waktu jalan belakang rumah masih belum beraspal
ayah melewati parak rumbio di Taluak Nibuang
melintasi Padang yang penuh Nipah di belakang rumah

Itulah petikan puisi  karya Dodi Prananda dengan judul Menulis Kangen: Padang  yang merupakan salah satu puisi kategori terpuji dalam iven Lomba Cipta Puisi Padang 2011.  Ajang ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang dan telah dihelat semenjak Agustus-September 2011.  Antusias terhadap lomba tersebut ternyata  luar biasa, tidak tanggung-tanggung, sebanyak 511 naskah puisi masuk ke kotak panitia dari penyair-penyair yang tersebar di seluruh Nusantara bahkan ada peserta dari Hongkong, dan negara tetangga Malaysia. Dari jumlah naskah yang masuk tersebut dewan juri terlebih dahulu menyeleksi naskah menjadi 150 naskah dan pada selanjutnya disaring lagi menjadi 70 naskah nominasi dan pada penjurian final terpilihlah sebanyak 3 (tiga) naskah pemenang dan 7 (tujuh) naskah dengan predikat puisi terpuji.   Sebagaimana yang ditetapkan panitia bahwa  puisi yang diajukan dalam lomba tersebut harus bercerita tentang kota Padang dengan segala aspeknya yang dibingkai dengan tema Kado untuk Kota Padangku Tercinta, maka secara langsung puisi-puisi yang muncul dalam lomba tersebut tentu bertema seragam yakni tentang kota Padang.

Meski dengan tema yang sama  namun puisi-puisi yang muncul sangat beragam dalam hal sudut pandang pengungkapan tema  dan gaya penyajian penyair.  Puisi Dodi misalnya bercerita tentang kenangan masa silam, kenangan hidup, catatan kehidupan yang lebih tersirat dari petikan sajak berikut:  aku masih dalam rahim Ibu, tahun 1993/Oktober pagi, aku mengendus wangi kota Padang pertama kali/mencium bau nipah, wangi pandan di belakang rumah/belakang rumah adalah nostalgia tentang Padang berhutan/sungai-sungai masih dangkal di Simpang Muaro dan Simpang Pulai. Pada petikan tersebut jelas  si Aku penyair tahu persis bagaimana Padang sebagai ranah kelahiran terekam jelas dalam memori penyair.  Hal demikian yang menjadi dorongan dari dalam diri penyair untuk diungkapkan dalam wujud sajak.

Selain itu puisi-puisi yang disajikan peserta juga pada umumnya memuat lukisan berbagai tempat di wilayah kota Padang, karena ada makna historis dan legenda yang terkatup di tempat itu, misalnya Batang Arau, Gunung Padang, Gaung, Batang Kuranji,  Pulau Aia (Padang Lama sekarang) Batu Si Malin Kundang atau Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur sekarang).  Nama-mana daerah tersebut sering disebut-sebut dalam puisi karya peserta misalnya saja sajak Akhyar Faudi  Di Sebuah Dermaga: Pada Suatu Senja/ di Teluk Bayur, bertautan kapal-kapal dan dermaga berseling/hawa asin dibawa kelasi-kelasi dari pulau yang jauh dan tak kutangkap apa-apa/lewat mata selain hanya kekosongan dan keasingan menyerbu kepala/. Sajak tersebut sungguh melankolis mengajak kita kembali menyelasi sisi-sisi lain Padang dengan segala tempatnya yang penuh historis.

Selain  sajak yang menggambarkan rona keindahan alam,  objek wisata, budaya dan sejarah  serta  kekayaan budaya kuliner dan wujudnya sebagai kota eksotis nan menawan banyak juga sajak karya peserta yang memuat kritikan terhadap kota Padang itu sendiri.  Sebagai sebuah kota besar, Padang tidak dapat mengelak dari kesembautan wajah kota, peliseran, prostitusi, kehidupan malam, bencana alam, sesak lalu lintas, kriminalitas, kaum urban  juga terekam dalam sajak-sajak peserta.  Ada sajak peserta  yang tidak saja indah namun penuh juga memiliki muatan kritikan, misalnya sajak Desio Isanov,  Jalan mana lagi yang dapat kutempuh/Setiap jalan telah kau sumbat dengan kios-kios darurat/Sulit bagiku untuk melangkahkan kaki kesana/Sementara oplet-oplet si Buyuang/Yang dindingnya penuh coretan/Tak sedikitpun memberikan aku ruang untuk bergerak/. Petikan puisi ini menggambarkan betapa si aku penyair seperti ingin mengungkapkan keluh-kesahnya tentang keadaan kota Padang hari ini.  Kota Padang yang sudah menjadi kota metropolitan dimana sulit mencari ruang bagi pejalan kaki karena setiap ruang yang tersisa sudah disesaki oleh pedagang.  Tidak hanya itu ketika berkendaraan pun, sudah sulit karena oplet yang ada seperti tidak peduli dengan aturan dan kesantunaan di jalan raya.

Seandainya niat panitia membukukan kumpulan puisi ini dalam sebuah buku antologi terwujud saya kira hal ini patut diapresiasi dengan baik.  Sebab tidak banyak sastra yang bercerita tentang sebuah kota apalagi puisi lebih khususnya tentang Kota Padang.  Seandainya karya ini dibukukan tentu puisi-puisi  karya peserta ini memiliki jembatan ke audiennya, tentu saja misi-misi dari penyairnya tersampaikan.  Disayangkan sekali seandainya puisi-puisi terutama 70 puisi pilihan  yang lahir dari lomba ini kelak setelah selesai lalu tenggelam tanpa dapat dibaca khalayak terutama masyarakat kota padang, pelajar mahasiswa atau orang Minangkabau baik di yang ada di ranah Minang maupun di tanah rantau.

 Dari bergulirnya iven ini IADB selalu panitia penyelenggara perlu mendapatkan pujian.  Sebab IADB telah memperlihatkan wujud kepeduliannya terhadap kegiatan sastra di tanah air terutama di Sumbar dan khususnya di Kota Padang. IADB telah mampu menggelar sebuah iven dengan skala nasional dan menghadirkan dewan juri yang berkualitas sehingga diharapkan  mampu melakukan penilaian dan proses seleksi seobjektif mungkin berdasarkan kriteria lomba yang telah ditetapkan.  Barangkali kita semua tentu tidak lagi meragukan kemampuan dewan juri yang terdiri dari Prof. Eka Budianta (Akademisi, Sastrawan-Jakarta), Prof. Harris Effendi Tahar (Sastrawan, Akademisi-Padang) Rusli Marzuki Saria (Penyair Senior- Padang) Pipiet Senja (Novelis -Jakarta)  Sastri Bakry (Novelis -Padang)  Nita Indrawati (Penulis, Jurnalis-Padang)  Veridiana Somanto (Akademisi -Padang) dan Muhammad Subhan (Jurnalis, Penulis, Novelis-Padangpanjang)

Hasil kerja dengan juri yang selama kurun waktu lomba terus menyimak, mendiskusikan, menilai dan memutuskan karya-karya terbaik buah pena peserta maka munculah Pemenang utama yaitu: Juara 1  Epitaf Arau (Kurnia Hadinata, Pasaman)  Juara 2 Padang Kota Tercinta, di Padang Kita Bercinta (Esha Tegar Putra, Padang) Juara 3 Sepasang Puisi di Kota Tua (F. Rizal Alief, Madura). Selanjutnya Tujuh Puisi Terpuji Padang, Petang dan Puisi (Hakimah Rahmah Sari, Padang), Cerita Bergambar Padang Buat si Sayang (Karta Kusumah, Padang),  Di Pantai Padang, Aku Mengingat Beberapa Kejadian (Yori Kayama, Padang) Pantai Purus Tepi Kota (Budi Saputra, Padang), Hikayat Seorang Wanita di Pucuk Bukit (Dedi Supendra, Pariaman), Menulis Kangen; Padang (Dodi Prananda, Depok) dan Kepada Mandeh (Inung Imtihani, Depok)

Sementara itu, untuk menghargai karya peserta, panitia menyediakan hadiah menarik untuk 3 pemenang utama, mendapat Paket Wisata Sastra ke Malaysia, uang tunai, piagam Penghargaan IADB dan Paket buku dari pihak sponsor.  Untuk kategori pemenang Puisi Terpuji yang dipilih Dewan Juri mendapatkan paket buku dari sponsor dan piagam penghargaan dari IADB. Untuk kegatan Kunjungan Wisata Sastra ke Malaysia, panitia menjadwalkan dengan serangkaian kegiatan meliputi: malam pembacaan puisi bersama Gapena dan Sastrawan Negara di Kuala Lumpur (2 Desember 2011). Kunjungan ke Taming Sari, Museum Sastra, Jumpa Persatuan Penulis Melaka, berziarah ke Makam Hang Tuah, Hang Jebat dan river cruise menelusuri jejak Kerajaan Majapahit, dan malam ke Bukit Bintang Walk, China Town (3 Desember 2011). Gerakan sastra bersama TKW Indonesia di Malaysia, siang ke Putra Jaya (4 Desember 2011) dan ditutup dengan mengunjungi Twin Tower, Central Market (5 Desember 2011).

Sekiranya apa yang digagas IADB merupakan sebuah kepedulian yang perlu dilanjutkan.  Tentu dengan harapan agar budaya gemar membaca dan menulis terus tetap berkembang di kalangan generasi hari ini.  Sekiranya tidak ada hal yang berlebihan mungkin yang diharapkan panitia selain bagaimana sastra mampu tumbuh dan berkembang di kalangan generasi hari ini dan bagaimana generasi hari ini dapat menjadikan sastra khususnya puisi sebagai alat yang bernas untuk menyampaikan hasil fikiran dan apresiasi terhadap kekayaan budaya dan khasanah kehidupan.  Terakhir sebuah pesan tentu perlu juga disampaikan, sekiranya iven ini tetap berlanjut untuk masa yang akan datang, tidak sekali ini saja lalu tenggelam dan tidak berarti apa-apa.  Selamat dan sukses IADB Padang. []

Penulis adalah Peminat Sastra saat ini bertugas sebagai staf pengajar di SMP Negeri 2 Panti- Pasaman.

Dimuat di Harian Singgalang Minggu, 13 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar