Dewan Juri dan para pemenang
Lomba Cipta Puisi Padang saat berkunjung
ke museum sastra di Melaka, Malaysia.
Oleh Kurnia Hadinata
dulu sekali, waktu
jalan belakang rumah masih belum beraspal
ayah melewati parak
rumbio di Taluak Nibuang
melintasi Padang yang penuh Nipah
di belakang rumah
Itulah petikan puisi
karya Dodi Prananda dengan judul Menulis Kangen: Padang
yang merupakan salah satu puisi kategori terpuji dalam iven Lomba Cipta
Puisi Padang 2011. Ajang ini
diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang dan telah dihelat semenjak Agustus-September
2011. Antusias terhadap lomba tersebut
ternyata luar biasa, tidak tanggung-tanggung,
sebanyak 511 naskah puisi masuk ke kotak panitia dari penyair-penyair yang
tersebar di seluruh Nusantara bahkan ada peserta dari Hongkong, dan negara
tetangga Malaysia. Dari jumlah naskah
yang masuk tersebut dewan juri terlebih dahulu menyeleksi naskah menjadi 150
naskah dan pada selanjutnya disaring lagi menjadi 70 naskah nominasi dan pada
penjurian final terpilihlah sebanyak 3 (tiga) naskah pemenang dan 7 (tujuh) naskah
dengan predikat puisi terpuji. Sebagaimana
yang ditetapkan panitia bahwa puisi yang
diajukan dalam lomba tersebut harus bercerita tentang kota
Padang dengan segala aspeknya yang dibingkai
dengan tema Kado untuk Kota Padangku Tercinta, maka secara langsung puisi-puisi
yang muncul dalam lomba tersebut tentu bertema seragam yakni tentang kota Padang.
Meski dengan tema yang sama
namun puisi-puisi yang muncul sangat beragam dalam hal sudut pandang
pengungkapan tema dan gaya penyajian penyair. Puisi Dodi misalnya bercerita tentang
kenangan masa silam, kenangan hidup, catatan kehidupan yang lebih tersirat dari
petikan sajak berikut: aku masih dalam
rahim Ibu, tahun 1993/Oktober pagi, aku mengendus wangi kota
Padang pertama kali/mencium bau nipah, wangi
pandan di belakang rumah/belakang rumah adalah nostalgia tentang Padang berhutan/sungai-sungai
masih dangkal di Simpang Muaro dan Simpang Pulai. Pada petikan tersebut
jelas si Aku penyair tahu persis
bagaimana Padang
sebagai ranah kelahiran terekam jelas dalam memori penyair. Hal demikian yang menjadi dorongan dari dalam
diri penyair untuk diungkapkan dalam wujud sajak.
Selain itu puisi-puisi yang disajikan peserta juga pada
umumnya memuat lukisan berbagai tempat di wilayah kota Padang, karena ada makna
historis dan legenda yang terkatup di tempat itu, misalnya Batang Arau, Gunung
Padang, Gaung, Batang Kuranji, Pulau Aia
(Padang Lama sekarang) Batu Si Malin Kundang atau Emmahaven (Pelabuhan Teluk
Bayur sekarang). Nama-mana daerah
tersebut sering disebut-sebut dalam puisi karya peserta misalnya saja sajak
Akhyar Faudi Di Sebuah Dermaga: Pada
Suatu Senja/ di Teluk Bayur, bertautan kapal-kapal dan dermaga berseling/hawa
asin dibawa kelasi-kelasi dari pulau yang jauh dan tak kutangkap apa-apa/lewat
mata selain hanya kekosongan dan keasingan menyerbu kepala/. Sajak tersebut
sungguh melankolis mengajak kita kembali menyelasi sisi-sisi lain Padang dengan segala
tempatnya yang penuh historis.
Selain sajak yang
menggambarkan rona keindahan alam, objek
wisata, budaya dan sejarah serta kekayaan budaya kuliner dan wujudnya sebagai kota eksotis nan menawan banyak juga sajak karya peserta
yang memuat kritikan terhadap kota Padang itu sendiri. Sebagai sebuah kota besar, Padang tidak dapat
mengelak dari kesembautan wajah kota, peliseran, prostitusi, kehidupan malam, bencana
alam, sesak lalu lintas, kriminalitas, kaum urban juga terekam dalam sajak-sajak peserta. Ada sajak peserta yang tidak saja indah namun penuh juga
memiliki muatan kritikan, misalnya sajak Desio Isanov, Jalan mana lagi yang dapat kutempuh/Setiap
jalan telah kau sumbat dengan kios-kios darurat/Sulit bagiku untuk melangkahkan
kaki kesana/Sementara oplet-oplet si Buyuang/Yang dindingnya penuh coretan/Tak
sedikitpun memberikan aku ruang untuk bergerak/. Petikan puisi ini
menggambarkan betapa si aku penyair seperti ingin mengungkapkan keluh-kesahnya
tentang keadaan kota Padang hari ini. Kota Padang yang sudah menjadi kota metropolitan dimana
sulit mencari ruang bagi pejalan kaki karena setiap ruang yang tersisa sudah
disesaki oleh pedagang. Tidak hanya itu
ketika berkendaraan pun, sudah sulit karena oplet yang ada seperti tidak peduli
dengan aturan dan kesantunaan di jalan raya.
Seandainya niat panitia membukukan kumpulan puisi ini dalam
sebuah buku antologi terwujud saya kira hal ini patut diapresiasi dengan baik. Sebab tidak banyak sastra yang bercerita
tentang sebuah kota
apalagi puisi lebih khususnya tentang Kota Padang. Seandainya karya ini dibukukan tentu puisi-puisi karya peserta ini memiliki jembatan ke
audiennya, tentu saja misi-misi dari penyairnya tersampaikan. Disayangkan sekali seandainya puisi-puisi
terutama 70 puisi pilihan yang lahir
dari lomba ini kelak setelah selesai lalu tenggelam tanpa dapat dibaca khalayak
terutama masyarakat kota padang, pelajar mahasiswa atau orang Minangkabau baik
di yang ada di ranah Minang maupun di tanah rantau.
Dari bergulirnya iven
ini IADB selalu panitia penyelenggara perlu mendapatkan pujian. Sebab IADB telah memperlihatkan wujud
kepeduliannya terhadap kegiatan sastra di tanah air terutama di Sumbar dan
khususnya di Kota Padang. IADB telah mampu menggelar sebuah
iven dengan skala nasional dan menghadirkan dewan juri yang berkualitas
sehingga diharapkan mampu melakukan
penilaian dan proses seleksi seobjektif mungkin berdasarkan kriteria lomba yang
telah ditetapkan. Barangkali kita semua
tentu tidak lagi meragukan kemampuan dewan juri yang terdiri dari Prof. Eka
Budianta (Akademisi, Sastrawan-Jakarta), Prof. Harris Effendi Tahar (Sastrawan,
Akademisi-Padang) Rusli Marzuki Saria (Penyair Senior- Padang) Pipiet Senja (Novelis
-Jakarta) Sastri Bakry (Novelis -Padang) Nita Indrawati (Penulis, Jurnalis-Padang) Veridiana Somanto (Akademisi -Padang) dan Muhammad Subhan (Jurnalis, Penulis, Novelis-Padangpanjang)
Hasil kerja dengan juri yang selama kurun waktu lomba terus
menyimak, mendiskusikan, menilai dan memutuskan karya-karya terbaik buah pena
peserta maka munculah Pemenang utama yaitu: Juara 1 Epitaf
Arau (Kurnia Hadinata, Pasaman) Juara
2 Padang Kota Tercinta, di Padang Kita
Bercinta (Esha Tegar Putra, Padang) Juara 3 Sepasang Puisi di Kota Tua (F. Rizal Alief, Madura). Selanjutnya
Tujuh Puisi Terpuji Padang, Petang dan
Puisi (Hakimah Rahmah Sari, Padang), Cerita
Bergambar Padang Buat si Sayang (Karta Kusumah, Padang), Di
Pantai Padang, Aku Mengingat Beberapa Kejadian (Yori Kayama, Padang) Pantai Purus Tepi Kota (Budi Saputra, Padang),
Hikayat Seorang Wanita di Pucuk Bukit
(Dedi Supendra, Pariaman), Menulis Kangen;
Padang (Dodi Prananda, Depok) dan Kepada
Mandeh (Inung Imtihani, Depok)
Sementara itu, untuk menghargai karya peserta, panitia
menyediakan hadiah menarik untuk 3 pemenang utama, mendapat Paket Wisata Sastra
ke Malaysia, uang tunai, piagam Penghargaan IADB dan Paket buku dari pihak
sponsor. Untuk kategori pemenang Puisi
Terpuji yang dipilih Dewan Juri mendapatkan paket buku dari sponsor dan piagam
penghargaan dari IADB. Untuk kegatan Kunjungan Wisata Sastra ke Malaysia, panitia
menjadwalkan dengan serangkaian kegiatan meliputi: malam pembacaan puisi
bersama Gapena dan Sastrawan Negara di Kuala Lumpur (2 Desember 2011). Kunjungan
ke Taming Sari, Museum Sastra, Jumpa Persatuan Penulis Melaka, berziarah ke
Makam Hang Tuah, Hang Jebat dan river cruise menelusuri jejak Kerajaan
Majapahit, dan malam ke Bukit Bintang Walk, China Town (3 Desember 2011). Gerakan
sastra bersama TKW Indonesia di Malaysia, siang ke Putra Jaya (4 Desember 2011)
dan ditutup dengan mengunjungi Twin
Tower, Central Market (5
Desember 2011).
Sekiranya apa yang digagas IADB merupakan sebuah kepedulian
yang perlu dilanjutkan. Tentu dengan
harapan agar budaya gemar membaca dan menulis terus tetap berkembang di
kalangan generasi hari ini. Sekiranya
tidak ada hal yang berlebihan mungkin yang diharapkan panitia selain bagaimana
sastra mampu tumbuh dan berkembang di kalangan generasi hari ini dan bagaimana
generasi hari ini dapat menjadikan sastra khususnya puisi sebagai alat yang
bernas untuk menyampaikan hasil fikiran dan apresiasi terhadap kekayaan budaya
dan khasanah kehidupan. Terakhir sebuah
pesan tentu perlu juga disampaikan, sekiranya iven ini tetap berlanjut untuk
masa yang akan datang, tidak sekali ini saja lalu tenggelam dan tidak berarti
apa-apa. Selamat dan sukses IADB Padang. []
Penulis adalah Peminat
Sastra saat ini bertugas sebagai staf pengajar di SMP Negeri 2 Panti- Pasaman.
Dimuat di Harian Singgalang
Minggu, 13 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar