Launching RKS di Padangpanjang
KETIKA saya membaca “Rinai Kabut Singgalang” (Rahima Intermedia, Januari 2011) karya Muhammad Subhan, langsung teringat sinetron. Ini bahan baku yang bagus untuk membuat sinetron, karena sangat cocok dengan selera pemirsa TV di negeri ini, yang senang dengan kisah mengharu biru. Di dalam dunia sinetron, ada istilah “soap opera convention”, yaitu tema popular seperti Cinderella syndrome, cinta terlarang, odyphus complex, petualangan, konflik dua keluarga, persahabatan, dan perselingkuhan. Tema-tema keseharian ini sangat digemari pemirsa sinetron di tanah air, karena merasa sangat dekat dengan kehidupan mereka.
PROBLEM SASTRA
Lewat Rinai Kabut Singgalang (RKS), saya terlempar ke masa lalu, saat Buya Hamka menjadi pelopor cerita romantis jenis ini. Saya tahu, banyak para penulis Minangkabau kini enggan menulis hal ini, karena rata-rata sudah (merasa) melampaui itu. Tidak apa-apa. Tapi, Muhammad Subhan menuliskan hal itu juga tidak apa-apa. Saya setuju dengan apa yang ditulis Damhuri Muhammad di kata pengantar buku ini, bahwa RKS sebagai bentuk “mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau”. Harus tetap diingat, penulis menulis karya (sastra) bukan untuk sesama penulis saja, tapi ada tujuan yang lebih besar, yaitu puluhan juta masyarakat yang belum membaca buku (sastra). Dengan cara memilah-milah pembaca buku (sastra), seperti halnya pemirsa di TV yang dipilah berdasarkan peringkat penghasilan, RKS mencoba meraih pembaca di kelas sosial-ekonomi mahasiswi, ibu-ibu, dan pembantu. Dengan cara seperti ini, sastra (apapun genrenya) pada suatu saat kelak, tidak lagi berjarak dengan masyarakatnya.
Persoalannya di negeri ini tidak semua berpendidikan tinggi (pintar) dan gemar membaca buku (sastra). Ini memang harus tetap dipikirkan para penulis (sastra). Perihal sastra berjarak dengan masyarakat (pembaca)nya dibuktikan penelitian Taufiq Ismail sepanjang Juli-Oktober 1997 dengan cara mewawancarai pelajar tamatan SMA di 13 negara. Pertanyaan yang diajukan adalah: berapa judul buku sastra wajib dibaca selama 3 tahun bersekolah? Rata-rata pelajar di luar Indonesia pembaca sastra, seperti di Thailand Selatan 5 judul, Malaysia dan Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Rusia 12 buku, Canada 13 buku, Jepang dan Swiss 15, Jerman Barat 22 judul, Perancis dan Belanda 30 judul, Amerika 32 buku, dan Hindia Belanda 25 buku. Sedangkan pelajar Indonesia “nol” membaca sastra sejak 1950 sampai 2011. Taufiq membandingkan, kewajiban membaca buku siswa tamatan AMS (SMA) Hindia Belanda dulu sebanyak 25 buku dalam 3 tahun. Juga ada bimbingan mengarang seminggu sekali, berarti 36 pertemuan setahun. Itu sama saja setiap pelajar Hindia Belanda selama 3 tahun bersekolah harus menulis 108 karangan. “Hasilnya luar biasa. Generasi Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Natsir, Syarifudin Prawiranegara,” cerita Taufiq Ismail. “Sekarang, para siswa mengarang ketika mau kenaikan kelas saja, sekali setahun mirip shalat Iedul Fitri,” tambahnya prihatin.
Itu tampak nyata di negeri ini dengan hanya diterbitkannya 10 ribu judul buku pertahun dan hanya diserap 1.000 judul oleh penduduk Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih itu. Berapa orang di Indonesia yang senang membaca buku? Saya pernah mengalami buku karangan saya (Balada Si Roy) dicetak lebih dari 100 ribu eksemplar (1990), Hilman Hariwijaya dengan “Lupus” lebih dari 1 juta eksemplar (1990), begitu juga di era 2000 dengan “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) dan “Ayat-ayat Cinta” (Habiburrahman el-Shirazy) di atas 1 juta ekemplar (tapi tetap belum menembus 1,5 juta). Bandingkan dengan jumlah penduduk di negeri ini. Jadi, jika sebuah judul buku bisa menembus angka keramat sebesar 2.000 eksemplar, penerbit sudah bernapas lega. Padahal, andai 1% saja yang rajin membeli buku (berarti 2 juta eksemplar), penulis di Indonesia akan kaya dan tentu akan leluasa mengeksplorasi karyanya. Akan lahir karya-karya yang beragam dan antara penulis – pembaca – penerbit terjadi komunikasi harmonis.
HIBURAN
Sastra pada dasarnya menghibur, seperti halnya sinetron. Perbedaannya, sinetron di Indonesia hadir setiap hari tanpa memedulikan logika cerita sehingga bikin perut terasa mual, sedangkan sastra berada di ruang-ruang rahasia dan berjarak dengan masyarakat. Persoalannya itu tadi, masyarakat di negeri ini tidak semuanya senang membaca apalagi membeli bukunya. Masyarakat yang intelektualnya tinggi lebih sedikit dibanding yang berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak tertarik pergi ke toko buku atau perpustakaan. Mereka merasa cepat pusing jika dihadapkan pada buku-buku sastra dengan penggarapan serius. Paling-paling mereka hanya membaca sebagai hiburan saja.
Sebagai penulis saya termasuk membaca segala macam jenis sastra untuk menambah wawasan. Dalam proses membaca RKS, saya akan memakai pendekatan dari sisi film (TV). Rasa ketertarikan saya dimulai ketika membaca bab 1 (Duka di Kampung Pesisir, hlm 15). Muhammad Subhan memulai dengan sudut pandang “saya”, yang hendak menceritakan kisah RKS ini. Siapakah “saya”? Kemudian di akhir cerita, pembaca akan tahu bahwa “saya’ adalah tokoh Yusuf, sahabat karib tokoh utama, Fikri. Teknik ini tidak baru. Sudah banyak ditulis. Multatulli dengan “Max Havelaar’, misalnya. Saya juga pernah. Tapi, tetap saja menarik dan alurnya sangat filmis. Jika saya menulis skenarionya untuk sinetron, saya akan menulis dengan pembukaan gambar sebuah adegan tokoh Yusuf yang sedang memandangi tokoh Rahima, calon istri Fikri, yang hingga ajal menjemputnya, tidak bersedia disentuh, karena saking cintanya kepada Fikri yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang. Teknik flash back yang akan saya pakai dan sudah sangat umum di dunia film (TV atau pun layar lebar).
Kemudian ada beberapa kelemahan intrinsik yang saya temukan. Misalnya, dalam alur cerita Fikri yang hendak dicelakai para pemuda kampung Kajai. Tokoh Yusuf disiksa oleh para pemuda (hlm 93) hingga tak sadarkan diri. Di kuburan Mak Safri (paman Fikri), saat Yusuf menghibur Fikri, tidak disinggung sama sekali persoalan ini (hlm 111). Begitu juga selama sebulan perjalanan waktu, polisi tidak berhasil mengendus ini. Kasus pembunuhan Mak Safri, Subhan selesaikan di bab 12 (Mendapat Orangtua Angkat, hlm 171) lewat surat Yusuf kepada Fikri, bahwa polisi sudah menangkap 2 pembunuh Mak Safri, yang juga menyiksa Fikri. Kalau saya jadi penulis, konflik ini akan saya garap sejak di bab 7 (Tragedi Berdarah, hlm 95). Ah, itu soal selera saya kira dan itu tidak mengganggu alur cerita secara keseluruhan. Tapi tetap saja akan menarik jika disinetronkan, konflik ini akan jadi plot point (suatu pristiwa yang menggerakkan cerita) yang menarik. Seperti halnya film layar lebar “Merantau”, dimana eksplorasi kerarifan lokal pencak silat ranah Minang mencuat di sini. Penonton kita (TV atau layar lebar) masih senang dengan tontonan berbau laga (film action).
Saya juga merasa terhibur ketika membaca RKS sepanjang perjalanan Serang-Palembang-Jambi-Tebo-Bukit Tinggi. Terutama penggambaran setting lokasi ranah Minangnya. Saya merasa sedang dibawa berwisata oleh tokoh Fikri. Saya yakin RKS akan jadi semacam panduan pariwisata bagi para pelancong keluarga. Ini akan sesuai dengan kesepakatan para pengeola TV, bahwa on air look di TV itu harus beauty. RKS tentu akan menyajikan panorama gambar yang sangat indah. Detail-detail alam Minangkabau akan enak di mata penontonnya. Saya yakin, DOP (pengarah gambar) akan tertantang memindahkan setiap kalimat keindahan Minangkabau di RKS ke pita filmnya.
Tentu RKS tidak hanya sekedar menghibur. Tetap saja Subhan dengan cara popular mengemas amanat kepada pembacanya lewat para tokoh rekaannya. Seperti halnya Ahmad Fuadi yang berasal dari Kampung Bayur, Maninjau, lewat novel “Negeri Lima Menara” (Gramedia), yang sudah terjual 170 ribu buku menyampaikan amanat “man jada wa jadaa” (yang bersungguh-sungguh akan berhasil) dan buku keduanya “Ranah Tiga Warna” (sudah 70 ribu buku) dengan “Man shabara zhafira” (yang bersabar akan beruntung). Di RKS, pembaca akan diingatkan, bahwa bersikap sabar seperti tokoh Fikri akan mendapatkan kebahagiaan tidak di dunia, tentu di akherat. Lewat tokoh Fikri, secara verbal, pembaca yang dibidiknya diingatkan untuk terus berbagi kepada sesama. Ini akan jadi ending yang sangat disukai pengelola TV, yaitu menguras air mata penonton.
MEDIA TELEVISI
Untuk bisa bangkit dari keterpurukan memalukan sebagai orang yang tidak membaca sastra, kita harus saling dukung-mendukung. Sesama penulis tidak boleh diskriminatif terhadap karya yang ditulis penulis lainnya, tapi justru harus terus menyediakan bahan bacaan dengan menuliskannya untuk seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, yang berlatar belakang beragam. Cara mengenalkan sastranya bisa di mana saja. Di perpustakaan, di komunitas, di toko buku, di sekolah, di kampus, di koran, bahkan di televisi.
Ya, kita harus belajar dari penyelenggara TV. Selama ini kita — para penerbit dan penulis — sudah melupakan televisi (dan production house), yang sebetulnya sangat ampuh sebagai media ruang penyampai sastra kepada para penonton. Kita selalu menyalahkan televisi, yang sudah menyebarkan kebodohan lewat (logika) cerita sinetron. Saya yakin, jika pemirsa TV tahu, bahwa sinetron yang ditontonnya berdasarkan sebuah novel, mereka pasti akan membeli novelnya. Lihat saja yang terjadi pada “Laskar Pelangi” dan “Ayat-ayat Cinta”, setelah dilayarlebarkan, oplahnya terus meningkat. Buku trilogy saya; Pada-Mu Aku Bersimpuh, yang ditayangkan RCTI saat puasa 2001, ketika diterbitkan ulang dengan menggabungkannya menjadi judul “Cinta-Mu Seluas Samudra” memasuki cetakan ke-empat.
Sastra – apapun itu genrenya – memiliki peluang merebut ruang dan waktu emas (prime time) televisi, jika para pelakunya mau melakukan itu dan tidak menganggap tabu televisi. Sastra bisa menjadikan para penonton TV di negeri ini tercerahkan dan lepas dari kungkungan “mimpi di siang bolong”. Sastra bisa menyediakan bahan baku cerita dengan logika cerita yang tertib bagi televise, jika para pelakunya berbondong-bondong melamar jadi penulis scenario di TV dan para penerbitnya melakukan jejaring dengan TV.
Arswendo Atmowiloto dan Dedi Setiadi pernah melakukan itu di TVRI (80-an). Kemudian diteruskan pada era 90-an di beberapa TV swasta, tapi tidak berkelanjutan. Saya menyebutnya ini adalah “sastra TV” untuk menyaingi “sastra koran” di hari Minggu yang begitu dinanti warga Indonesia dari kelompok kecerdasan tinggi atau kaum inelektual.
Saya dan beberapa penulis pernah melakukan itu di Indosiar (1995), ketika pakem rumah produksi adalah “menjual mimpi” di ranah sinetron lewat sinetron ala Indihe dan Hongkong, saya mencoba berpijak ke bumi. Kemudian saya menjadi salah satu team creative di RCTI (1996 – 2008); mencoba menawarkan gagasan baru dalam bercerita di “sastra TV” (untuk menyaingi sastra Koran tadi), agar para penonton dari kelas CDE (menengah bawah = pembantu dan PRT) mendapat suguhan sinetron yang selain menghibur, juga tetap memaksa kaki mereka menapak di bumi. Bahkan novel saya yang berjudul “Pada-Mu Aku Bersimpuh” (Mizan, 2002) diangkat ke sinetron Ramadhan di RCTI dan mendapatkan penghargaan sebagai tayangan sinetron Ramadhan dengan cerita terbaik versi MUI pada waktu itu. Beberapa sinetron pernah beredar di TV dimana ceritanya berdasarkan novel; Lupus karya Hilman (Indosiar, 1997), Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (SCTV, 2000), Al-Bahri karya saya (TV7, 2002), dan Siti Nurbaya karya Marah Roesli (TVRI, 1991).
Usaha ini saya rasakan dengan RSK. Target pembaca yang dibidik Subhan adalah para pelajar dan mahasiswi putri yang senang menonton sinetron dan ibu-ibu serta pembantu yang selalu setia di rumah sampai suami dan majikan pulang dari kantor sambil menonton sinetron. Ini ditegaskan Damhuri Muhammad di kata pengantar, bahwa buku ini “sesekali berpola sinetronik”.
Seperti saya tulis di atas, bahwa RKS sangat sesuai dengan tema-tema yang diusung dalam “soap opera convention”, yaitu bercerita tentang cinta seseorang ala “cinderella syndrome”; si miskin lewat tokoh Fikri kepada putri kaya bernama Rahima, walaupun pada akhirnya Fikri meninggal dunia dengan meminta kepada Rahima, agar mau menikah dengan Yusuf, sahabatnya.
WARNA LOKAL
Bagi saya, RKS adalah sebuah karya yang harus disupport, asalkan kita paham target pembacanya. Penerbit harus mampu mengatur strategi pemasaran dan penjualannya; yaitu untuk pembaca wanita mulai mahasiswi, ibu rumah tangga dan pembantu. Penerbit juga gencar melobi PH/TV. Penulis RKS atau penulis lainnya yang menulis buku dengan genre popular tidak perlu merasa minder di depan penulis yang selalu menulis untuk pembaca yang memiliki intektual tinggi atau dikategorikan sastra serius. Begitu juga penulis jenis karya itu tidak perlu merasa lebih unggul dari yang lainnya, karena ini persoalan pilihan. Yang harus dilakukan para penulis, adalah menulis saja dengan pilihan hatinya tapi memiliki satu tujuan; menghilangkan kebutaaksaraan membaca buku (sastra) di negeri ini seperti yang dikeluhkan Taufik Ismail. Dengan cara itu, saya yakin sastra tidak lagi berjarak dengan masyarakat.
TV adalah ruang yang harus diincar oleh penulis. RKS berpeluang sebagai sastra TV, karena memenuhi kriteria televisi, yaitu penderitaan dari tokoh Fikri yang terus-menerus sehingga akan mengakibatkan pemirsaTV terkuras air matanya, cinta sejati yang tersandung, intrik-intrik dari para tokoh, serta setting lokasi Minangkabau yang indah. Apalagi sekarang pemerintah menghimbau, agar tayangan sinetron harus menampilkan warna lokal. Di beberapa FTV kini mulai rajin diangkat cerita berlatar belakang kebudayaan lokal kita. RKS memiliki warna lokal yang kuat; yaitu kebudayan Minang yang matrilineal (garis ibu) lewat tokoh kakak Rahima, yaitu Ningsih, yang memisahkan Fikri si miskin dengan Rahima. Terutama setting lokal Minangnya yang kuat; pemandangan danau Maninjau, gunung Singgalang, dan lokal genuine lainnya.
Kita doakan saja semoga ada TV atau PH yang berminat mengangkat RKS ke sinetron atau film layar lebar di TV. Insya Allah. (*)
*) Gola Gong adalah pengarang novel dan penulis scenario sinetron. Pernah bekerja sebagai creative di Indosiar (1995), dan RCTI (1996 – 2008). Kini mnekuni dunia penerbian di Gong Publishing, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Indonesia, Dewan Pembina Forum Lingkar Pena, dan Pendiri Rumah Dunia (www.rumahdunia.net)
*) Makalah ini dipaparkan di acara “Bedah Novel ‘Rinai Kabut Singgalang”, Minggu, 3 April 2011, pukul 08.00 – 16.00 WIB, Graha Serambi Mekah, Padang Panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar