Kamis, 08 Desember 2011

Jatuh Bangun di Dunia Jurnalistik, Lahirkan Rinai Kabut Singgalang


Padang Panjang (Singgalang) - Tahun 2011 menjadi masa yang paling menyibukkan bagi Muhammad Subhan. Hari ini saja, Sabtu (3/12/2011), dia sedang berada di Malaysia bersama para pemenang Lomba Cipta Puisi Padang 2011. Sudah tiga hari dia berada di negeri jiran itu. Subhan bukan pemenang, dia adalah salah seorang dewan juri pada lomba yang diselenggarakan Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang.

Kendati sebelumnya juga kerap jadi narasumber pada berbagai pelatihan jurnalistik, ditambah aktivitas menulis essai, puisi dan karya sastra lainnya, maka sejak novel perdana yang ditulisnya, Rinai Kabut Singgalang (RKS) beredar di pasaran mulai Januari 2011, permintaan untuk tampil di berbagai iven kepenulisan dan kesusastraan pun meluncur deras. Sementara aktivitas rutinnya, sebagai salah seorang pengelola Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, tetap harus dijalani setiap hari.
Bila Anda telah membaca hingga tamat novel Rinai Kabut Singgalang yang membawa gaya penulisan sastrawan besar Prof. Dr. Hamka, emosi Anda pasti turun naik. Terkadang Anda akan haru, hanyut dalam penderitaan lakon dalam kisah itu. Tapi di saat lain, Anda akan iba, marah, dan tersenyum. Itulah kisah perjalanan hidup seorang anak manusia yang dikemas dengan bahasa khas Muhammad Subhan.

“Saya penggemar tulisan Hamka. Buku-buku karya beliau saya baca, dalami dan koleksi. Bahasa Hamka itu indah. Saya tak ingin larut dalam gaya berbahasa anak zaman sekarang yang justru banyak merusak Bahasa Indonesia itu sendiri,” tutur Subhan yang kini menjabat Sekretaris Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Cabang Kota Padang Panjang itu, dalam suatu percakapan dengan Singgalang dan pewarta-indonesia.com di Padang Panjang.

Nah, habis membaca novel Rinai Kabut Singgalang, silakan pula Anda baca riwayat hidup Subhan. Ada banyak sisi persamaan. Sebagian besar kisah dalam novel itu, sesungguhnya adalah perjalanan hidup sang penulis yang diaplikasikannya dalam karya sastra berbentuk novel.

Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain. Lebih delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik, hidupnya memang biasa-biasa saja dan ‘tetap miskin.’

“Empat tahun lamanya saya berjalan kaki memburu berita. Tak punya sepeda motor, alat komunikasi, apalagi komputer. Gaji yang diterima hanya pas-pasan. Empat tahun kemudian barulah kehidupan yang dijalani sedikit membaik,” tuturnya.

Menjadi penulis, sebenarnya telah dilakoni lelaki kelahiran Medan, 3 Desember 1980 blasteran Minang-Aceh itu. Ketika masih Kelas II SMP, dia sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding (mading) sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai ‘petualangan’ di Kota Padang.

Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kendati agak mendingan, namun Subhan mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri. Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.

Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin musala, mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis dan menyandang ‘status’ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM) Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian (SKH) Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan sekarang sudah tidak terbit lagi.

Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat melanglangbuana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta, Jakarta.

Pengakuan Subhan, Selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal.

Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan Ia ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda) Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia.

Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan Ia dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang, tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu.

Memang, Subhan bukan siapa-siapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa.

Hidup terus berputar, kata orang bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.

Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat, ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396 halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta. []

(MUSRIADI MUSANIF, Harian Umum Singgalang Padang, Sabtu 3 Desember 2011 dibawah judul “Subhan, Obsesi Menjelajah Dunia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar