Senin, 16 Mei 2011

Apa Kabar, Tuan Pengarang?


Oleh Damhuri Muhammad

"Apakah kisah dalam novel yang Anda tulis adalah juga pengalaman pribadi Anda?" begitu bunyi salah satu pertanyaan yang menghadang seorang novelis. Sepintas lalu, pertanyaan itu memang sederhana. Sebagai orang yang setiap hari bergumul dengan dunia karang-mengarang, rasanya novelis itu tak bakal kesulitan memberi jawaban. Waktu itu, ia menjawab; Tidak! Tapi, celakanya, si penanya kurang puas dengan jawaban basa-basi itu. Lalu, diulangnya lagi pertanyaan serupa. "Sudah saya katakan; Tidak! Kok Anda masih ngotot sih? Lagi pula, tahu apa Anda tentang hidup saya?" jelas si novelis, mulai kesal. "Ah, jangan bohong Bung! Lagi pula, apa susahnya bersijujur pada pembaca setia Anda!" balas si penanya itu.

Tanya-tanya nyinyir seorang penyuka novel─yang mudah-mudahan juga sedang terobsesi menulis novel─di atas dapat dimaklumi. Agaknya, ia ingin memastikan, bila kisah-kisah dalam novelis bermuasal dari pengalaman pribadi para penulisnya, maka tidaklah sukar menjadi novelis. Sekaligus hendak meniscayakan bahwa ia juga bisa jadi novelis handal. Boleh jadi lebih handal dari  novelis yang tak mau jujur itu. Padahal, menjadi pengarang tentu tak semudah dan sesederhana yang dipikirkannya. Tak segampang mengajukan pertanyaan yang bikin jengkel itu. Sejatinya, kalaupun personalitas pengarang meresap ke dalam novel-novelnya, tidak serta-merta setiap orang yang mampu menuliskan pengalaman pribadinya dapat meraih kompetensi-literer sebagaimana kaum pengarang. Sebab, pencapaian kualitas estetik karya fiksi bukan pada sejauh mana resapan personalitas pengarang dalam karya-karyanya, tapi pada penggarapan, pengolahan, peracikan, dan penciptaan “pikiran-pikiran hidup” dalam setiap karya fiksi yang dilahirkannya.

Dalam konteks debat singkat di atas, perlu dipilah dan dibedakan antara Kisah dan Cerita. Sejauh ini, secara tak sengaja kita nyaris menyejajarkan keduanya. Padahal, setiap rumusan cerita belum tentu ber(kisah), meski setiap kisah sudah pasti ber(cerita). Bila Anda iseng-iseng mencatat aktivitas keseharian Anda, mulai dari bangun pagi, gosok gigi, mandi, sarapan, berangkat ke kampus, masuk kelas, ikuti kegiatan perkuliahan, pulang, makan siang, tidur siang, bikin tugas, hingga Anda tidur kembali, itu baru cerita. Artinya, Anda baru dalam tahap membuat cerita. Dalam nukilan itu, Anda belum ber(kisah). 

Tapi, seandainya saat menunggu angkot selepas jam kuliah, tiba-tiba Anda diserang dan dikeroyok sekelompok orang sebagai teror atas aksi demonstrasi menolak pelantikan walikota korup yang Anda gagas beberapa hari lalu. Anda terluka parah, dan harus dilarikan ke rumah sakit setempat. Lalu, saat mengerang kesakitan di ruang perawatan, datang seseorang yang mengaku sebagai dalang di balik  aksi pengeroyokan itu. Ia meminta  maaf  atas penyerangan itu. Ia bilang, tidak tahu kalau Anda yang memimpin aksi demo itu. Orang itu lebih menyesal lagi, karena Anda adalah guru privat Bahasa Inggris anak perempuannya. Sudah agak rumit, bukan? Mulai terasa situasi konfliktual antara aktor belakang layar pengeroyokan itu dengan Anda sebagai korban. Betapa tidak? Ia malu telah mencederai guru privat anak perempuan semata wayangnya. Sebaliknya, gairah Anda yang semula meluap-meluap, ingin balas dendam atas perbuatan yang tidak jantan itu, boleh jadi akan mengendor, bukan? Ya, bila Anda tetap mengumpulkan kawan-kawan untuk balas menyerang dan mengeroyok, berarti Anda akan mencederai ayah kandung dari murid privat Anda sendiri. Nah, bila pengalaman macam ini Anda tuliskan, goresan pena Anda akan mendedahkan sebuah kisah. Anda sudah berpeluang membangun konflik, penokohan, dan perwatakan di dalamnya. Unsur-unsur itu pasti Anda temukan pada karya-karya fiksi dalam bentuk dan genre apapun. 

Sampai di sini, terjawablah teka-teki si penanya nyinyir yang saya ceritakan di atas. Boleh saja pengalaman personal pengarang meresap ke dalam karya-karyanya, tapi bukan pengalaman mentah, tapi pengalaman yang sudah terolah, tergarap dengan alur yang meliuk-liuk, konflik yang runcing, setting yang detail serta perwatakan yang kokoh.  Akibatnya,  pembaca akan sulit memilah mana fakta, mana fiksi dalam sebuah rangkaian kisah. Inilah proses kepenulisan kreatif yang sesungguhnya. Bila Anda sudah memenuhi 'syarat' dan 'rukun' itu, saya ucapkan, Selamat datang di jagat fiksi! Anda akan terampil mengolah cerita menjadi kisah. Akan handal menulis novel.          

Gerak kepengarangan fiksi ibarat mengemudikan sebuah perahu layar di tengah samudera luas. Pelayaran bakal selamat sampai di tujuan, bila nakhoda pandai membaca arah angin. Tanpa angin, “layar estetik” yang terkembang tidak akan mampu memberi daya dorong. Arah angin yang dimaksud adalah kegelisahan personal yang Anda alami setelah mengamati, menggauli, dan bergumul dengan realitas di sekitar Anda. Suasana hati Anda saat berhadapan dengan sebuah fakta, atau yang disebut “stimmung” dalam bahasa eksistensialis Jerman, Martin Heidegger.

Mungkin, bentuknya amuk-amarah, ketika Anda menyaksikan betapa keparatnya perilaku seorang suami yang tega menyiram muka istrinya dengan air keras. Mungkin pula, rasa iba lantaran melihat nasib buruh migran korban-korban kekerasan dan pemerkosaan majikan yang tak beroleh pembelaan. Atau, rasa sakit hati yang tak pernah pulih setelah ditinggal kekasih hanya karena (tiba-tiba) Anda jatuh kere setelah usaha Anda kolaps, misalnya. Sementara layar estetik adalah bagaimana cara Anda mengolah kegelisahan itu menjadi kisah yang memukau. Ingat! Dalam kepengarangan fiksi, pelabuhan Anda adalah pembaca. Mampukah kisah yang Anda rancang itu membuat pembaca bertahan duduk dan tidak beranjak sebelum mengkhatamkan bacaannya? Inilah pertaruhan sebuah karya. Ibarat permainan sepakbola, bagaimana Anda menggiring, men(dribling) dan memberikan umpan-umpan crossing, hingga akhirnya Anda berhasil menciptakan gol. Ini disebut  teknik penulisan.                                                         

Di jagat fiksi, nyaris semua teknik penulisan dapat digunakan. Narasi, eksposisi, deskripsi dan pelbagai macam istilah teknik penulisan lainnya kerap  ditemukan pada karya-karya fiksi. Dalam konteks novel, saya lebih cenderung menyebutnya; teknik berkisah. Bila Anda pernah membaca novel-novel Leo Tolstoy (War and Peace, Anna Karrenina, The Cossaks, dll), Destoyevsky (Crime and Punishment), George Orwell (Animal Farm, Nineteen Eighty-Four, dll), Gustave Flaubert (Madam Bovary), Gabriel Garcia Marquez (One Hundred of Solitude), Milan Kundera (The Unberable Lightness of Being, The Book of Laughter and Forgetting), Orhan Pamuk (The Snow, My Name is Red, dll) dan novel-novel kelas dunia lainnya, Anda akan melihat eksperimentasi teknik yang tak henti-henti mereka lakukan. Mereka memperkenalkan teknik-teknik baru yang lebih menjanjikan. Misalnya, menghidupkan tokoh DIA yang diceritakan AKU. DIA tak hanya diceritakan AKU, tapi berperan sebagai tokoh yang bercerita sendiri. Selain DIA, mungkin juga ada MEREKA atau KAMI, yang kemudian juga dihidupkan sebagai pencerita mandiri. Jadi, dalam satu tubuh novel kita dapat menemukan sekian banyak pencerita yang berdiri sendiri. Dengan begitu, perwatakan masing-masing tokoh terasa makin kokoh. Konflik yang terbangun makin tajam dan kompleks. Alur cerita tidak melulu linear (lurus). Mungkin, polanya melingkar, berputar-putar, atau kilas-balik. Anda boleh mencoba teknik berkisah macam ini. Tentu, harus diiringi dengan intensitas berlatih dan pengalaman baca yang terus menerus diperkaya. Caranya gampang; sering-seringlah membaca buku-buku fiksi! Makin kaya bacaan fiksi anda, makin terlatih Anda membangun teknik berkisah.        

Perihal teknik penulisan, Anda bisa membaca buku-buku teori penulisan. Tapi, sebaiknya jangan terlalu bertumpu pada teori. Apa gunanya teori, bila Anda tak pernah mencoba menulis. Bukankah cara belajar yang baik adalah dengan mencobanya? Jangan pula terlalu bertumpu pada inspirasi! Tapi, berpeganglah pada ide! Mungkin, yang selama ini Anda anggap inspirasi itu hanyalah ide. Dalam jagat fiksi, inspirasi hanya akan datang bila Anda sudah memulai proses menulis. Bila tak berani mencoba, maka omong-kosong dengan inspirasi. Begitu juga dengan teknik berkisah. Anda akan menemukan teknik berkisah khas Anda, bila anda sudah bersitungkin dengan tuts-tus keyboard komputer Anda. Ingat! Problem menulis itu adalah menulis itu sendiri. Maka, menulislah! Sebanyak-banyaknya. Sesering seringnya, hingga kegiatan menulis itu menjadi bagian penting dalam hidup Anda. Sepenting kebutuhan bernapas. Bila menulis sudah menjadi napas hidup Anda, Anda akan sekarat bila tidak menulis....       

DAMHURI MUHAMMAD
Pengarang,  editor fiksi, bermukim di Jakarta
Menulis esai, kritik buku, dan cerpen di sejumlah media nasional
Buku terkininya:  Juru Masak (antologi cerpen, 2009), Darah-Daging Sastra Indonesia (esai, 2010)

Makalah ini disampaikan dalam acara Bedah Novel Rinai Kabut Singgalang dan Seminar Nasional “Cara Gampang Menulis dan Menerbitkan Novel” yang digelar STAIN Batusangkar, Sabtu 12 Maret 2011.

Gambar: Baliho Bedah Novel dan Seminar di STAIN Batusangkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar