Sabtu, 07 Mei 2011

Asmara di Kaki Singgalang


Oleh Ulfa Zain

Rinai Kabut Singgalang (RKS) berkisah tentang seorang pemuda bernama Fikri. Fikri adalah anak berdarah campuran Aceh-Minang. Sesungguhnya pernikahan orangtua Fikri menyimpan kisah duka. Ibu Fikri yang orang Minang asli mencintai seorang laki-laki asal Aceh hingga menyulut konflik antara ia dan keluarganya. Pihak keluarga tidak setuju jika Maimunah menikah dengan Munaf yang bukan berdarah Minang asli. Mereka menyebutnya orang pendatang “tak berurat berakar”. Namun Maimunah nekat menikah dengan Munaf dan melangsungkan pernikahan di Medan. Hal ini membuatnya dikucilkan oleh keluarga. Maimunah dianggap melanggar adat.


Tak hanya itu akibat yang harus dia tanggung. Keluarga Maimunah jadi bahan pergunjingan warga. Pergunjingan yang dilakukan warga berdampak pada mental adik laki-laki Maimunah (Safri). Ia menjadi stres dan mengalami gangguan jiwa. Sedangkan orangtua Maimunah tidak tahan berkalang malu hingga sakit-sakitan dan akhirnya meninggal.

Cerita malang ini agaknya turun pula pada anaknya, Fikri. Fikri bercita-cita melanjutkan kuliah di Padang. Sebelum ke Padang, Fikri singgah ke Kajai, Pasaman, untuk mencari mamaknya (pamannya), Safri. Ia berniat merawat pamannya yang terkena gangguan jiwa tersebut. Akibat gangguan jiwa, Safri dipasung di tengah hutan. Konflik juga terjadi di sini. Safri dibunuh akibat suatu perkelahian. Setelah kematian Safri, Fikri pun berangkat ke Padang.

Cinta Fikri bertambat pada Rahima. Rahima adalah gadis berdarah Minang asli. Kejadian yang terjadi pada orangtua Fikri juga dialami oleh Fikri. Pinangannya ditolak oleh keluarga Rahima dengan alasan serupa. Fikri adalah orang pendatang “tak berurat berakar”. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Akankah kisah tragis keluarga ibu Fikri terulang lagi?

Novel ini memiliki ruh angkatan Balai Pustaka yang kental akan adat budaya dan pertentangan kaum muda dan tua. Membaca novel ini akan mengingatkan kita pada karya Buya Hamka seperti “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”. Pertentangan akibat pernikahan tidak sesuku kerap menimbulkan konflik dalam keluarga hingga mengakibatkan pengasingan dari kampung halaman.

Kelahiran Medan

Sesuatu yang menarik adalah novel ini dibuat oleh bukan orang yang berdarah Minang asli. Penulis adalah kelahiran Medan, Sumatera Utara, berdarah Aceh-Minang. Selain itu penulis pernah bekerja sebagai wartawan di antaranya SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan (2004-2010), editor Harian Online Kabar Indonesia yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan kontributor Majalah Islam Sabili (2008-2010).

Sejak April 2010 ia memimpin Media Online www.korandigital.com yang berbasis di Kota Serambi Mekah Padang Panjang. Selain wartawan ia bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek. Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, di antaranya; Lautan Sajadah (2009), Ponari for President (2009), Musibah Gempa Padang (2009), G30S: Gempa Padang (2009), Hujan Batu Buruh Kita (2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari (Ditulis bersama wartawan senior Asril Chaniago dan Ekoyanche Edrie, Bappeda Sumbar, 2009).

Menjadi seorang jurnalis agaknya tak menghilangkan kelihaian Muhammad Subhan dalam bersastra. Terbukti dari pemilihan bahasa yang digunakan dalam novel perdananya tersebut. “Roman eksotis-romantis ini tak jemu mengajak saya hanyut seturut panorama alam nan elok dari negeri bernama Minangkabau.

Pengarang cukup lihai meracik keelokan alam yang berkelok-kelok naik turun “disebangunkan” dengan kelokan ketegangan-ketegangan di dalam kisahnya. Asmara yang mengharu-biru. Betapa serunut “adat” asmara tak memiliki setitik pun kuasa, melawannya alamat menuai derita tak tertanggungkan. Pengusiran, cerai persaudaraan, stigma buruk, bahkan dituduh sebagai penyebab kematian orang-orang yang ditinggalkan. RKS mengajak pembaca menikmati hingga tanda titik paling akhir dari cerita ini.” (Akhiriyati Sundari, Ketua Komunitas MATAPENA Yogyakarta)

Kepandaian penulis dalam mendiskripsikan kemolekan bumi Minangkabau khususnya daerah kaki Gunung Singgalang menjadi nilai lebih.  Agaknya  kerinduan pembaca pada kisah-kisah roman ala angkatan Balai Pustaka yang mengharu biru dan sarat akan kearifan lokal kini.dapat terobati dengan terbitnya novel RKS ini.

Akhirnya novel “Rinai Kabut Singgalang” adalah bacaan yang sangat menarik bagi semua kalangan. Terutama untuk budayawan ataupun orang-orang yang tertarik dengan budaya Minangkabau.

Namun sedikit disayangkan, saat ini penjualan novel RKS masih difokuskan di Sumatera Barat. Tapi bagi yang berminat bisa memesan via facebook: rinaikabutsinggalang@yahoo.com.

Penulis adalah penyuka Sastra dan mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan

Dimuat di koran harian MEDAN BISNIS, edisi Minggu, 01 Mei 2011 10:32 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar