Sabtu, 07 Mei 2011

Memanen Luka dalam Rinai Kabut Singgalang


Oleh Elly Delfia

Rinai Kabut Singgalang (2011) sebuah novel dari Muhammad Subhan yang bercerita tentang kisah hidup dan percintaan tokoh Fikri yang penuh luka. Sebuah novel baru yang mengharu biru. Novel yang menuntaskan anggapan orang-orang bahwa ranah Minang memang gudangnya penulis. Penulis yang pada umumnya me-mula-i goresan tintanya dari luka. Damhuri Muhammad menyebutnya dengan prosa dalam semesta luka (2011). Luka yang disebabkan oleh kekacauan (chaos) yang terjadi dalam sistem yang saling berkelindan dalam jejaring permainan tanda, yang bernama simulakra. Kekacauan yang bersebab dari kemiskinan, cinta tak sampai, kemelut harato pusako, pergeseran peran mamak dan peran ayah, dan sebagainya. Luka yang diihwali oleh sistem tersebut yang dialami oleh Fikri dalam Rinai Kabut Singgalang.


Hening saja. Tampak Mak Tuo menahan kesedihan hatinya lantaran kemarin Fikri sudah menyatakan niatnya akan pergi meninggalkan rumah gadang...Fikri mafhum pula apa yang dikatakannnya itu  akan menambah kesedihan hati Mak tuo dan Mak Bujang setelah Mak Safri meninggal dunia. Akan bertambah heninglah rumah gadang itu. Rumah tempat  lahir ibunya, tempat lahir Mak Safri mamaknya, yang dibangun oleh kakek neneknya (Subhan, 2011:119).

Terbayanglah segala kesusahan, terbayanglah segala kesakitan yang akan ia hadapi di negeri asing yang belum ia jejaki sebelumnya. Semakin kecut hatinya mengingat segala kepahitan hidup. Tapi apa hendak dikata, tekad telah ia bulatkan, langkah telah ia ayunkan, berpantanglah ia surut ke belakang (Subhan, 2011:124).

Habislah sudah harapan Fikri. Tak akan dapat lagi ia bersua dengan kekasihnya itu. Hilang segala impian. Untuk kesekian kalinya ia harus menumpahkan airmata kesedihan lantaran cinta yang tak sampai. Sangat iba Yusuf menyaksikan pemandangan yang sedih itu. Perasaan yang sama saat ia kehilangan kekasihnya dulu. Sejak menerima surat Rahima itu, semakin sedih saja keadaan Fikri. Berhari-hari kerjanya hanya bermenung...(Subhan, 2011:275).

Fikri tidak agresif menghadapi lukanya. Fikri melakukan pemberontakan dalam kontemplasi. Pemberontakan yang berlangsung dalam renungan dan pikiran (Esten, 1987:125). Pemberontakan serupa ini sangat mujarab dalam melahirkan ide-ide baru dan pikiran kreatif. Ide baru dan pikiran kreatif yang menggiring Fikri menuju kesuksesan menjadi penulis novel terkenal seperti yang disebutkan dalam cerita.

Sebagaimana waktu yang ditentukan tibalah hari peluncuran novel Fikri. Ia telah berada di ruang besar dengan jumlah peserta ratusan orang. Ternyata acara itu benar-benar disiapkan sebagus mungkin. Sampul novelnya dibuat orang sebagai baliho yang menghiasi ruangan. Kursi-kursi tamu penuh. Saat ia memasuki ruangan disambutlah ia dengan tepuk tangan. Semua mata mengarah padanya. Wartawan media cetak dan televisi menyorotkan lensa kamera mereka ke arah Fikri. Cahaya Blitz kamera pun berpendar memenuhi seisi ruangan (Subhan, 2001: 300).

Pemberontakan dalam kontemplasi menghantarkan Fikri menjadi lelaki sukses dan terhormat secara sosial ekonomi. Lelaki yang sebelumnya tidak punya apa-apa sehingga Ningsih, kakak Rahima meragukan dirinya untuk bisa membahagiakan Rahima. Rinai Kabut Singgalang adalah novel yang gambaran sistem hidup yang keras warisan nenek moyang orang Minangkabau ‘memaksa’ anak cucu--dalam hal ini Fikri-- untuk terus berpikir bagaimana cara terbaik menaklukkan luka. Hingga pada akhirnya, Fikri memanen luka dengan kesuksesan.

Ada hal yang sering luput atas kritik terhadap karya (novel) selama ini, yaitu keberadaan tokoh atau pihak yang menyebabkan tokoh utama terluka dan menderita, yaitu tokoh antagonis. Peran tokoh antagonis tak pernah diperbincangkan secara objektif dan mendalam oleh para kritkus. Peran tokoh antagonis dalam cerita selalu menjadi pihak yang tersudutkan dengan image (citra) jahat. Karena tokoh antagonis telah membuat sengsara tokoh protagonis (tokoh utama). Pembaca ataupun kritikus cenderung berpihak pada tokoh protagonis sebagai “lakon” yang mesti dibela dan dianggap hero. Padahal kesuksesan tokoh protagonis sangat tergantung pada “peran jahat” tokoh antagonis. Penghinaan dan tekanan tokoh antagonis terhadap tokoh protagonis adalah kunci kesuksesan dan kepahlawanan tokoh protagonis.

Sigmund Freud, psikoanalisis (analisis kepribadian tokoh dalam karya sastra) Swiss menyebut jiwa manusia itu ibarat per semakin kuat ia ditekan semakin kuat pula daya juang untuk muncul ke permukaan (2010). Parkes (1965) dalam Minderop (2010) menyebut luka yang dialami Fikri dengan istilah chronic grief (kesedihan berkepanjangan dan berulang). Kesedihan yang Fikri menghantarkan ia menjadi seorang pemberontak kontemplasi sebagai terapi atas chronic grief-nya. Dalam hal ini, Tuhan tidak pernah membiarkan Fikri sendiri. Tuhan mengirimkan sahabat terbaik untuk Fikri, yaitu Yusuf yang selalu mengingatkan dan menyadarkannya untuk bangkit melawan luka. Selalu ada campur tangan sesuatu yang tak terlihat, yaitu Tuhan yang tidak membiarkan Fikri sendiri menghadapi kepedihan hidup. Kehadiran Yusuf sebagai tokoh deutragonis (pembela tokoh utama) selalu memberi kekuatan pada Fikri untuk sadar dan bangkit dari lukanya.  

Kemudian luka Fikri juga melahirkan enigma-enigma baru berkaitan dengan perilaku dan tindakan para tokoh dalam cerita. Enigma adalah sebuah kondisi yang menimbulkan teka-teki dan tanda tanya, yang oleh Roland Barthes digunakan untuk menjelaskan kode hermeneutik (penafsiran tanda) (Piliang, 2003:15). Enigma dalam Rinai Kabut Singgalang ditandai dengan beberapa peristiwa yang tak mampu ditafsirkan secara  terang atau menjadi teka-teki bagi pembaca, misalnya bagaimana Mak Safri yang terpasung bisa lepas dari pasungannya saat menolong Fikri ketika dikeroyok preman kampung. Enigma lainnya, yaitu tentang Rahmah, adik Fikri yang merantau ke Jawa dan tak jelas kabar beritanya. Sebenarnya tokoh Rahmah bisa mengubah jalan cerita atau memunculkan Rinai Kabut Singgalang Jilid II. Sebagai anak perempuan, Rahmah punya tanggung jawab besar dan peran penting atas keberadaan harato pusako milik ibunya di Kajai. Sebagai adik Fikri, Rahmah juga berhak atas royalti novel yang diterima oleh Fikri.

Namun kehadiran sebuah enigma terkadang menjadi penting dalam sebuah karya sebagai bumbu penyedap cerita. Semoga. []

Elly Delfia, Dosen Sastra Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. Catatannya ini sebagai makalah dalam acara Bedah Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang digelar Tabloid Kampus Idealita, Kampus STAIN Batusangkar, Tanahdatar, 12 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar