Selasa, 10 Mei 2011

Gempa Literasi Mengguncang Sumatra


Oleh Gol A Gong

Minggu (27/4), aku meneruskan getaran “gempa literasi” ke ranah Minang. Pukul 15.00 WIB, dengan bus Family Raya, aku menuju Bukittinggi. Bus berhenti. Aku bertanya, ada apa? Supir menjawab, “Shalat Magrib dulu,” jawab si Supir. Aku kaget. Di Jawa, bus berhenti untuk makan. Ada yang mau shalat, silakan. Aku turun dan bus berhenti di depan Masjid Nurus Sholihin, Kelurahan Simpang, Sungai Rengas, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupten Batanghari. Sekitar pukul 22.00 WIB, bus berhenti di RM Sederhana, Tebo. Makan dan shalat Isya. Supir jadi imamku. Aku terkesan dengan supir bus ini. Saat shubuh, bus berhenti di masjid, Padang Luar. Usai shalat, penumpang diberi waktu ngeteh panas plus nasi ketan merah. Pukul 06.00 WIB, bus berhenti di simpang tiga. Aku turun. Bus meneruskan perjalanan ke Padang.

Aku injakkan kedua kakiku pada Senin 28 April 2011. Akan kucatat dalam sejarah hidupku. Inilah Bukit Tinggi. Kota tempat lahirnya orang-orang hebat. Bung Hatta, Agus salim, dan Taufiq Ismail. Aku check in di hotel Yogya. Usai mandi, langsung ke Jam Gadang di pusat kota, sekitar 200 meter dari hotelku. Aku berdiri memandangi Jam Gadang, landmark Bukittinggi yang melegenda itu. Aku teringat masa kecil dulu; saat (alm) Bapak menghadiahi post card Taj Mahal, Mount Everest, Eifel, Piramida, Jam Gadang, Borobudur, Big Ben. Satu-satu gambar di post card itu aku kunjungi. Kini tinggal Eifel dan Big Bend yang belum. Semoga Allah SWT memberiku kesempatan.

Di Bukittinggi aku ditemani Gus tf Sakai, sastrawan yang memilih bertani di Payakumbuh. Aku diajaknya ke rumah H. Agus Salim di Koto Gadang. H. Agus Salim adalah Menteri Luar Negeri RI di zaman kemerdekaan dan ayah Emil salim. Aku tercenung di rumahnya. Seorang mahasiswi yang menjagai rumah Agus Salim merasa bangga diberi kesempatan menjagai rumah orang hebat ini. Kemudian Gust tf mengajakku ke goa Jepang, benteng Fort de Kock, dan makan siang di dataran Lembah Sianok (lembah sunyi) . Luar biasa pemandangannya. Tenang, hening, dan tentu sejuk. Menu ikan asin balado tanpa santan membuat makan siangku bersemangat.

Di Bukittinggi hanya dua hari. Aku jalan-jalan menyusuri daerah Orhcid, Pecinan, kawasan turis seperti Jalan Jaksa. Hotel rata-rata berkisar Rp. 70.000 – 150.000,-/malam. Cocok buat kantong para backpacker.

PADANG PANJANG MEMBACA

Rabu (30/3), Muhammad Subhan, pengarang novel Rinai Kabut Singgalang, yang akan kubedah di Rumah Permata, Padang Panjang pada Minggu (3/4) giliran menemaniku. Kami singgah di rumah Bung Hatta, proklamator kita. Merinding tubuhku ketika memasuki bagian dalam rumahnya. Kamar di mana Bung Hatta dilahirkan dan ruang membacanya. Penjaganya seorang wanita tenaga honorer dari Disbudpar.

Usai itu, Muhammad Subhan membawaku ke “Rumah Puisi” milik penyair Taufiq Ismail, yang terletak di antara kota Bukittinggi – Padang Panjang. Mulutku ternganga, mataku terbelalak ketika melihat atmosphere “Rumah Puisi”, yang diapit gunung Singgalang dan Marapi. Ini luar biasa. Puisi-puisi Taufiq Ismail dipajang di setiap sudut. Ada arus yang menyedotku. Andai “Rumah Puisi” ini dibangun di setiap ibu kota provinsi. Ah, di kampungku, Banten, sudah 10 tahun berjalan, janji membangun gedung perpustakaan yang megah dan Taman Budaya Banten, tinggal janji.

Semalam saja aku di Rumah Puisi. Pada Kamis (31/3) aku ke Padang untuk menghadiri pertemuan dengan Minangkabau FC, peserta Liga Primer Indonesia. Juga bersilaturahmi dengan Yusrizal KW, sastrawan Padang yang juga redaktur budaya Padang Ekspres. Kami membincangkan tentang gerakan “gempa literasi” ini. “Sangat relevan,” kata Yusrizal. Pada 30 September 2009, gempa menghancurkan Padang. Terutama perpustakaannya. “Sekitar 700 ribu buku musnah,” Yusrizal menyesali nasib. “Pemprov belum memprioritaskan pembangunan perpustakaan,” sesalnya. Dia berharap, semoga “gempa literasi” ini bisa membangunkan kesdaran warga Padang, bahwa membangun perpustakaan itu sangat

Aku juga menyempatkan berkunjung ke rumah A.A. Navis, pengarang “Robohnya Surau Kami” yang kesohor itu di Jalan Veteran - Bengkuang, Padang. Aku bertemu putrinya, Ranti, dan istrinya. Aku diajak ke perpustakaan AA Navis. Kata Ranti, “Bapak berpikirnya panjang.” Aku terkenang omongan AA Navis, “Alam takambang jadi guru (alam luas adalah guru yang baik).” Aku pikir, para backpacker itu sekedar jalan-jalan menikmati keindahan alam, tapi juga harus berwisata rohani, yaitu dengan “ziarah” ke rumah orang-orang hebat jika mengunjungi sebuah kota.

Hari Sabtu (2/4) aku menonton pertandingan LPI antara Minangkabau FC versus PSM Makasar di Stadion Agus Salim. Sebelum pertandingan dimulai, selain menyebarkan informasi “gepa literasi”, aku juga memberi tips ringan kepada sekitar 10 penulis pemuda yang tergabung di Sanggar Baca Pelangi di tribun kehormatan. Mereka juga mengelola www.inioke.com. Perjalanan yang menyenangkan; menyebarkan virus gempa literasi sambil nonton bola. Aku selalu mendapatkan akses mudah jika menonton pertandingan bola di LPI, karena juru bicara LPI, Abi Hasantoso, adalah sahabat seperjuangan ketika masih di Majalah HAI (1990). Ini adalah yang kedua setelah aku menonton Bojonegoro FC versus Bali Devata di Bojonegoro pada Maret lalu. Skor akhir 1 – 0 untuk kemenangan Minangkabau FC.

Bubar pertandingan, memakai taksi, aku ke Padang Panjang. Sekitar pukul 19.00 taksi tiba di Padang Panjang. Panitia menyediakan fasilitas menginap di Pangeran Hotel. Rekan sekamarku adalah sastrawan dari Aceh, Arafat Nur, penulis FLP dari Lhoksemawe, yang baru saja memenangkan lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta (2010). “Judul novelku ‘Lampuki’, yaitu tentang kemarahan rakyat Aceh terhadap ketidakadilan militer,” terang Arafat. Merangkak ke malam Minggu, bersama Muhammad Subhan, Arafat, dan para seniman Padang Panjang, menikmati teh telor di pasar malam. Sesekali aku mendengarkan kegelisahan mereka sebagai penulis, yang tidak memilih berdomisili di Jakarta.

Minggu 3 April 2011, Padang Panjang Membaca pun digelar oleh Komunitas Rumah Permata, pimpinan Rahmi Alnadra, yang pernah belajar menulis di Taman Bacaan Masyarakat Rumah Dunia sekitar 2005-2006. Bertempat di Graha Serambi Mekkah, 100an peserta mengikuti acara “gempa literasi” ini. Kadis Dindik Padang Panjang membuka acara. Kemudian Muhammad Jujur, pemusik setempat menyanyikan lagu tema “Rinai Kabut Singgalang”, yang terinspirasi dari novel karya Muhammad Subhan, yang akan dibedah olehku dan Arafat Nur. Saat berlangsung acara, aku hanya bisa mengucap rasa syukur, karena “gempa literasi” mengguncang Sumatra juga. Terima kasih Forum Lingkar Pena, Forum Taman Bacaan Masyarakat, Antara, Kompas.com, Ira dan Siska di XL, Marvin Sitorus dengan www.hargahotel.com yang sudah memudahkan urusan penginapan, dan tentu para relawan Rumah Dunia. Hmm, dalam hati aku bergumam, “Mnggu depan “gempa literasi” akan mengguncang Bangka Belitung, Palembang, Lubuk Linggau, dan Bengkulu!” Tungguin, ya! (*)

Sumber: Majalah Story No. 21/Mei-Juni

Gambar: Web Rumah Dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar