Senin, 09 Mei 2011

Rinai Kabut Singgalang, Perkawinan Hamka di Tahun 2011


Oleh Alizar Tanjung

Fikri seorang keturunan campuran Aceh dan Pasaman. Ibunya, Maimunah menikah lari bersama Munaf, ayah Fikri. Mereka kawin lari lantaran lamaran Munaf ditolak mamak Maimunah. Jalan satu-satunya agar bisa bersama mereka harus kawin lari. Semenjak itu Maimunah menjadi orang terbuang dari Kajai, kampungnya. Maimunah dan Munaf menetap di Aceh. Menyewa rumah apa adanya. Kemudian dari rahim Maimunah lahirlah Fikri, Rahmah, dan Annisa.

Rahmah dan Annisa setamat SMA langsung menikah. Rahmah dipobong suaminya ke Jawa Barat. Annisa menetap di Aceh bersama suaminya. Fikri sendiri ingin merantau setelah ayahnya meninggal. Ayahnya pernah berwasiat bahwa ia harus melanjutkan sekolahnya sampai perguruan tinggi.

Pergilah Fikri merantau. Ia berangkat ke kota Padang. Sesuai dengan amanah ibunya, hendaklah Fikri singgah dahulu di Kajai di kampung ibunya. Walau ia sudah lama menjadi orang buangan dari kampungnya, masih rindu Maimunah kepada kakaknya, Safri, mamaknya Fikri.

Dalam perjalanan dari Aceh, Fikri bertemu Bu Aisyah. Bu Aisyah ternyata juga orang Aceh yang sudah lama menetap di Padang. Banyaklah mereka saling bercengkrama sepanjang perjalanan. Sampai di Pasaman sesuai amanah Maimunah, Fikri singgah ke Kajai. Di Kajai ia temukanlah penderitaan mamaknya, Mak Safri. Mamaknya dipasung. Setelah pernikahan Maimunah dan Munaf, rupanya kedua orangtua Maimunah meninggal dunia karena sakit yang berkepanjangan. Safri tidak siap menerima ujian berat itu.

Fikri bertekad menjaga mamaknya itu. Tapi tak lama Safri rupanya dipanggil Tuhan. Safri berpulang setelah kekalahan dari perkelahian dalam sebuah upaya penganiayaan Fikri oleh para pemuda Kajai yang cemburu kepada Fikri. Semenjak itu Fikri bertekad melanjutkan perjalanan hidupnya. Sedangkan Kajai ia tinggalkan bersama Yusuf, abang kesayangannya selama di Kajai.

Sebelum berangkat Yusuf menghadiahi Fikri novel-novel Hamka; Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Fikri telah membaca buku-buku itu sewaktu SD. Ia sangat senang sekali dengan novel-novel Hamka. Maka berangkatlah ia ke kota Padang. Sebelum berangkat ke kota Padang ia berputar dulu ke Maninjau. Di Maninjau, Fikri berkunjung ke rumah Hamka. Terkagum-kagumlah Fikri dengan rumah Hamka. Kemudian Fikri juga singgah di Jam Gadang Bukittinggi, Ngarai Sianok, air mancur Lembah Anai.

Sampailah Fikri di Padang. Saat berjalan kaki seturun dari mobil Fikri melihat ada perampokan, Fikri hadang perampok itu. Fikri mendapat sabetan senjata tajam di perutnya. Ia langsung jatuh pingsan. Ia dirawat berhari-hari di rumah sakit. Saat terbangun ia kaget melihat ibu Aisyah ada di rumah sakit. Rupanya orang yang ia tolong dari pencuri adalah anaknya Bu Aisyah. Rahima namanya. Cantik nian anak itu. Rahima baru duduk di kelas 3. Sejak pandangan pertama berdeguplah hati kedua anak muda itu. Dari sinilah semuanya cinta bermula.

Bu Aisyah menawarkan Fikri tinggal di rumahnya, Fikri menolak dengan alasan canggung dilihat orang kalau anak muda tinggal bersama seseorang yang memiliki anak gadis cantik di rumahnya. Maka Tinggal Fikri bersama Pak Usman dan Bu Rohana, kenalan baik Bu Aisyah di Teluk Bayur. Fikri menjadi anak angkat Pak Usman dan Bu Rohana. Bu Aisyah dan Rahima sering berkunjung ke tempat Fikri.

Terjalinlah cinta antara Fikri dan Rahima. Cinta itu terkuak saat Rahima menuturkannya dalam surat pertama kepada Fikri. Gadis itu akan dijodohkan dengan orang Jakarta, teman kakaknya. Segala perjodohan telah diatur kakaknya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata barulah cinta akan mekar setelah ada ombak dan gelombang yang menghadang. Berkasih-kasihlah hati dua anak muda itu dalam sedih yang panjang.

Pada babak kisah yang lain, Yusuf hendak datang ke Padang. Rupanya orang kampung tidak senang dengan Yusuf setelah pelaku pembunuhan Safri terungkap. Yusuf divonis ikut dalam rencana penganiayaan Fikri yang berakibat kepada kematian Mak Safri. Tapi karena tidak cukup bukti Yusuf dibebaskan. Walaupun ia bebas masalah lain menimpanya, kekasihnya memutuskan hubungan pertunangan mereka.

Datanglah Yusuf ke Padang. Yusuf tinggal bersama Fikri. Yusuf menjadi guru penasehat Fikri, walaupun Yusuf menganggap Fikri lah yang gurunya. Karena itu Yusuf lebih senang memanggil “Guru” kepada Fikri. Yusuf yang menjadi guru penasehat cinta Fikri. Sebelum kedatangan Yusuf ke Padang, telah datang rupanya kabar buruk dari Annisa di Aceh. Telah meninggal Maimunah, ibunya Fikri. Bertambah-tambahlah perasaian hidup Fikri. Berhari-hari Fikri terbaring lemah memikirkan ibunya. Kemudian kabar yang lebih buruk datang lagi saat ia sudah mulai sembuh dari sakit yang panjang. Tsunami Aceh tahun 2004. Entah bagaimana nasib Annisa. Tidak ada lagi kabar dari Annisa. Pergilah ia ke Aceh sebagai tim relawan. Rupanya ia memang harus ditakdirkan sebatangkara. Annisa, suami dan anaknya meninggal dalam bencana. Meratap-rataplah Fikri.

Kembali ke Padang Fikri dihadapkan kepada ombak dan badai cintanya dengan Rahima. Ningsih telah datang dari Jakarta. Ia datang untuk menjemput Rahima. Fikri benar-benar dilanda cinta yang dalam. Harapannya hampir pupus dengan kedatangan Ningsih, kakak Rahima. Rahima dikurung berhari-hari di kamarnya. Ia tidak boleh menemui Fikri. Ulah Ningsih, Bu Aisyah sakit keras. Ajal tidak dapat ditolak. Bu Aisyah meninggal dunia.  Sedangkan Fikri dilanda krisis cinta amat memilukan, seperti Zainudin dilanda krisis cinta dalam “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Berhari-hari Fikri terbaring lemah. Badannya semakin kurus saja. Ia tidak lagi menyadari keberadaan dirinya sendiri.

Akhirnya pergilah Rahima ke Jakarta. Bertambahlah duka dalam hati Fikri. Sudah melekat benar rupanya cintanya kepada Rahima. Begitu juga cinta Rahima kepada dirinya. Tapi tiadalah daya pada diri mereka berdua. Semakin hari semakin gilalah Fikri dengan cintanya. Untung bersamanya ada Yusuf yang dengan sabar bersamanya, seorang sahabat yang amat dekat kepadanya. Seperti Zainudin yang memiliki seorang guru dari karibnya sendiri, seorang guru yang berhenti dari mabuk-mabukan.

Fikri sadar secara perlahan-lahan dengan dukungan Yusuf. Sebagaimana sadarnya Zainudin dari bencana cinta dengan kekasihnya. Fikri kemudian menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan. Yusuf menjadi penasehatnya. Yusuf menyarankan kenapa Fikri tidak menuliskan kisahnya dalam sebuah karangan? Seperti juga nasehat sahabat Zainudin kepada Zainudin untuk menuliskan kisah hidupnya dalam karangan-karangan.

Kemudian menjadi pengaranglah Fikri. Ia tuliskan kisah dirinya dalam novel. Novel itu berjudul “Merantau ke Padang”. Zainudin juga mengisahkan dirinya dalam karangan. Fikri dan Zainudin menjadi pengarang dalam novel yang berbeda. Yusuf dan gurunya Zainudin menjadi guru penasehat dalam novel yang berbeda.

Fikri mengarang di kota Padang. Ia kemudian mendapat surat dari penerbit. Bahwa novelnya telah terbit. Telah cetak. Pihak penerbit mengundang Fikri untuk menghadiri launching di Jakarta. Zainudin dalam Novel Hamka menjadi pengarang di Surabaya. Sebuah novel Fikri difilmkan. Semakin melonjaklah karir Fikri. Ia bolak-balik Jakarta. Jakarta rupanya mempertemukan ia kembali dengan Rahima. Mereka bertemu pada acara peluncuran filmnya novel Fikri. Sehabis pertemuan itulah nasib buruk menimpa Rahima. Sebelum Rahima bertemu Fikri, Rahima rupanya telah berpisah dengan suaminya. Suaminya seorang yang kasar, koruptor, ia ditangkap polisi. Sehabis pertemuan dengan Fikri, Rahima demam berat. Ia mengigau-ngigau memanggil Fikri. Hilang akal Ningsih dibuatnya. Insaflah perempuan itu rupanya. Kemudian mereka pertemukan kembali kedua anak muda itu. Seperti dalam dua novel “Rinai Kabut Singgalang” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, Fikri dan Zainudin mempunyai watak yang sama. Sama-sama pehiba hati. Sama-sama bersikap tegar. Keduanya sama-sama keras terhadap hatinya. Fikri bertekad datang ke Jakarta hanya sekedar untuk memberikan kesembuhan untuk Rahima. Zainudin juga tidak menerima cinta kekasihnya walaupun ia sebenarnya sangat mencintai kekasihnya itu.

Fikri pulang ke Padang bersama Rahima, Ningsih, suaminya Ningsih, anaknya Ningsih. Rupanya pesawat kecelakaan. Dalam RKS tokoh utamalah yang meninggal. Dalam Tenggelamnya Kapal Van Den Wijk pihak perempuanlah yang meninggal. Meninggalnya sama-sama kecelakaan. Satu kecelakaan kapal laut. Satu kecelakaan pesawat.

Muhammad Subhan menghadirkan novel RKS sangat sarat dengan novel Hamka; Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, khususnya dari segi bahasa. Muhammad Subhan memiliki kecendrungan bahasa yang dimiliki Hamka. Sehingga novel ini walaupun disajikan pada periode dimana negeri telah masuk peradaban modern tapi kekhasan nuansa lama tetap kental. Dari surat-surat dan gaya bercerita bahwa novel ini menjadi sebuah sajian baru dengan gaya lama untuk generasi pengarang-pengarang novel. Sajian Muhammad Subhan bercerita menjadi keunggulan sendiri dalam novel ini. Kehidupan mesti tetap dihadapi dengan kegigihan.

Pada sisi lain pengarang memiliki ketergantungan dengan Hamka. Pengarang mempunyai sentuhan karya dengan karya-karya Hamka. Hingga karya tidak bisa dilepaskan dari kepengarangan Hamka. Sehingga pada penggarapan ide masih memiliki pengaruh dari novel-novel Hamka. Kemudian kesedihan-kesedihan dan penderitaan dibangkitkan dalam RKS mempunnyai ikatan dengan novel Hamka.

Manariknya novel ini di tengah-tengah berkembangnya novel-novel populer, Muhammad Subhan menghadirkan novel yang lebih indentik dengan roman. Hingga novel ini menjadi sebuah bacaan yang baru di tengah novel-novel populer. Kemudian figur Hamka ditampilkan kembali pada tahun 2011 ini melalui novel “Rinai kabut Singgalang”. Novel ini mengkawinkan antara Hamka dan Muhammad Subhan dalam karya, “Di Bawah Naungan Kabah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Rinai Kabut Singgalang”. []

Terbit di HU Singgalang, 27 Maret 2011

Gambar: Pengarang Rinai Kabut Singgalang Muhammad Subhan usai acara bedah novel di SMA Negeri 1 Batipuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar