Jumat, 06 Mei 2011

Menimbang Rinai Kabut Singgalang

Oleh Arafat Nur

Membaca Rinai Kabut Singgalang(RKS)¸ kita menemukan kekentalan kisah yang mirip dengan laporan kejadian, yang memberitahukan bahwa Fikri harus berangkat ke Padang setelah ayahnya meninggal, lalu dia berada di dalam bus penumpang menuju Kajai untuk menemui Mak Safri, dan diikuti pula kisah panjang serta segala kejadian lain hingga pada akhirnya Fikri meninggal dunia.

Sejak awal kisah dalam novel ini memang penuh dengan rintihan dan iba, ada usaha menarik (secara memaksa) pembaca untuk ikut-ikutan bersedih. Sayangnya pembaca tidak dapat merasakan kesedihan, selain hanya sebatas mengetahui bahwa Fikri mengalami penderitaan berat. Sering pula digambarkan bagaimana rapuhnya tokoh Fikri dalam menghadapi persoalan-persoalan, yang berpuluhan kali terpakasa menitikkan air mata dan menangis.

Cerita sedih, yang diceritakan dengan sedih pula, tentu amat menguras perasaan, apalagi jika ceritanya cukup panjang. Hal ini bisa terjadi karena jarak antara pencerita dan perihal yang diceritakannya amat dekat, dan cerita-cerita seperti ini dianggap suatu kelemahan yang fatal.

Di dalam RKS kita melihat bahwa pencerita yang berada di luar, selalu turun tangan dan ikut campur dalam menuntun dan menasihati pembaca secara berlebihan. Lain halnya jika pencerita menunjukkan dirinya sebagai tokoh “aku” dalam cerita, dia dapat menguraikan langsung serta secara leluasa mengutarakan pendapat dan perasaan-perasaannya, dan hal semacam ini dapat diterima karena dia punya alasan, yaitu memiliki jalinan keterlibatan.

Selain itu, dalam sudut pandang penceritaan novel ini jelas sekali menimbulkan kebingungan, meskipun kita tahu yang menceritakan kisahnya adalah Yusuf. Tetapi mengapa Yusuf berada di luar cerita dan bertindak sebagai narotor tunggal yang tidak hendak melibatkan diri, tetapi pada kenyataannnya selalu ikut campur?

Dan hubungannya dalam cerita sangat tidak logis; kenapa Yusuf sampai bisa tahu segala ihwal dan tindakan para tokohnya yang berada jauh darinya, sampai ke hal-hal paling detail serta dialog-dialog panjang yang utuh? Semisal dia menceritakan Fikri ketika berada di Aceh, di sungai Kajai kala Fikri sendirian, dan juga di rumah Rahima.

Kedetailan-kedetailan semacam itu memang perlu, dan untuk itu dibutuhkan jalinan sebab-akibat sehingga Yusuf punya alasan menceritakan semuanya secara utuh, semisal dia mendengarkan pada orang lain, atau menanyakannya pada orang-orang yang pernah terlibat dengan Fikri, dan banyak cara lain yang menyebabkan tokoh pencerita menjadi tahu.

Ini jelas menyangkut ketelitian dan kecermatan penulis, memang tanpaknya seperti hal sepele, tetapi ini perkara besar yang tak boleh diabaikan, sebab sebuah cerita menuntut berbagai logika untuk meyakinkan pembaca. Tanpa logika yang benar, cerita terasa mengada-ngada, seperti dibuat-buat, meskipun ini adalah kisah fiksi.

Lepas dari semua perihal di atas yang tidak bermaksud mengecilkan hati penulis dan tidak bermaksud mengorek-ngorek kesalahan, saya mengagumi Subhan dalam RKS yang tergolong cakap merangkai kata. Tingkat ini saja sudah sangat sulit bagi orang lain menggapainya, butuh waktu bertahun-tahun untuk tekun terus-terusan belajar dan melatih menulis. Sebagai novel perdana, saya harus mengankat tabik, dan ada potensi besar dalam diri Subhan untuk menghasilkan karya lebih baik lagi.[]

Dimuat di Koran Harian Aceh edisi Minggu 29 Maret 2011

Gambar: Website Harian Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar