Senin, 23 Mei 2011

Menulis, Sebuah Proses: Menyelam Kata dan Menjaring Makna


Oleh Muhammad Subhan *)

Barangsiapa bergelut dengan pena, hidupnya akan berada di atas mimbar. Barangsiapa sibuk membaca buku-buku, orang-orang besar akan menghormatinya. (Syekh Dr Aidh al Qarni)

Saya mempunyai ibu yang—ketika itu—sangat pamberang. Beliau paling tidak suka mendengar suara ‘tak tik tuk' mesin tik tua saya ketika hasrat menulis saya tiba-tiba muncul. Kadang pula saya harus sembunyi-sembunyi di sudut rumah agar ibu tidak mengetahui atau mendengar saya lagi menulis, atau tepatnya mengetik tulisan.

Ya, begitulah ibu saya. Tapi dia adalah ibu yang baik dan sangat penyayang kepada anak-anaknya. Mungkin, ketika itu ibu belum tahu apa manfaat saya menulis—yang akhirnya sekarang setelah kebutuhan keluarga saya yang memenuhinya—ibu menikmati hasil jerih payah saya dari menulis. Alhamdulillah.

Saya menulis sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Hampir setiap hari saya iseng datang ke toko koran/majalah yang tak jauh jaraknya dari rumah saya hanya sekedar untuk membolak-balik isi koran/majalah terbaru yang saya lihat. Kadang pula saya dimarahi oleh si pemilik toko karena tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi keuntungan tokonya. Kalau sudah begitu, saya cuma bisa nyengir mencibir lalu kabur terbirit-birit. Saya tidak kapok, saya datang ke toko buku lainnya yang menjual majalah atau koran. Begitulah hari-hari yang saya jalani. Dua puluh tahun lalu.

Begitu pula ketika saya harus di'demo' kawan-kawan sekolah karena saya ketika itu menolak menjadi pengurus Majalah Dinding (Mading). Tapi karena diiming-imingi akan didukung menjadi ketua OSIS, akhirnya saya terima juga tawaran itu (he he he...).

Proses menulis saya, berawal ketika saya ikut merantau bersama kedua orangtua ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di Negeri Tanah Rencong itu saya selalu mencoba mengirimkan tulisan 'icak-icak' (asal-asalan) saya ke koran Harian Serambi Indonesia yang merupakan koran media group Kompas. Namun, setiap kali saya kirim setiap kali itu pula saya harus "berbangga" karena tulisan saya TIDAK PERNAH DIMUAT!.

Meski demikian, saya tidak menyerah. Saya terus berproses. Kalau tidak salah ingat, tulisan pertama saya hanya sebuah puisi satu bait berjudul Tua. Lalu saya coba menulis cerpen perdana berjudul Ketika Merpati Itu Pergi. Ya, maklumlah ketika itu saya masih ABG dan baru mengenal yang namanya “virus merah jambu”. Cerpen-cerpen saya selanjutnya mengisahkan tentang "aku, dia, dan kita", cerita ala kehidupan anak remaja yang baru mengenal dunia. Walah! (Tapi itu hanya berlangsung dikala saya masih sekolah, sesudah itu saya menulis cerpen-cerpen serius yang mengangkat tema-tema sosial dan dimuat banyak media).

Usai menulis puisi dan cerpen yang tak dimuat-muat, akhirnya saya coba menulis artikel yang kata orang susah menulisnya. Ketika itu saya tidak mengerti bagaimana menulis artikel. Ya, lalu saya coba menyadur sebuah cerita bergambar (cergam) berjudul "Dajjal", yang saya ubah judulnya menjadi "Menyingkap Makna Dajjal". Saya olah bahan tulisannya sedemikian rupa. Iseng lagi saya kirim ke Harian Serambi Indonesia yang berkantor di Banda Aceh. Eh, entah kebetulan entah tidak, artikel saya itu dimuat. Luar biasa!.

Tentu saja saya senang. Artikel itu saya kliping dan saya perlihatkan (tepatnya pamer) kepada siapa saja yang saya kenal. Ada yang memuji saya, ada pula yang cuma tersenyum. Katanya, "baru sekali saja tulisan dimuat senangnya seantero kampung," katanya. Belum tahu dia, saya akan menjadi penulis terkenal dunia masa depan. Hehehe…. Amin.

Setamat sekolah menengah, saya coba melamar kerja menjadi wartawan. Tidak diterima. Karena masih muda, kata pimpinan redaksi koran. Namun saya terus menulis. Awal tahun 2000 saya hijrah ke Padang, Sumatera Barat, gudangnya para penulis Nusantara. Di Ranah Minang ini saya banyak belajar dengan siapa saja. Dan, saya terus menulis di media-media massa terbitan Padang hingga sekarang.

Saya melamar lagi menjadi wartawan sambil mencoba menyelesaikan kuliah. Ada beberapa koran mingguan yang menerima saya. Tapi saya tidak betah. Ternyata jadi wartawan itu susah. Tapi saya tidak menyerah. Meski kadang makan kadang tidak, saya tetap jadi wartawan. Lalu, saya terus bermeditasi, merenungi mau jadi apa saya kelak. Tapi, hasil dari meditasi itu saya disuruh untuk tetap jadi penulis. (Mungkin sudah nasib saya). Ya, kalau begitu saya harus siap-siap lagi untuk tidak makan—walau sekarang makan saya paling banyak. Tapi, setelah menjadi wartawan benaran, saya merasakan indahnya dunia wartawan itu.

Saya tidak pernah membayangkan bisa menyinggahi kota-kota besar di Tanah Air—walau sekedar ditugaskan meliput bersama rombongan pejabat, khususnya wakil rakyat di DPRD yang suka kunker sana sini, yang katanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Wah, saya ikut kena juga tuh—dan saya merasakan pula banyak menemui hal-hal baru yang mungkin belum tentu saya dapatkan jika bekerja di profesi lainnya. Dan, semuanya saya nikmati, dalam proses menemukan jati diri.

Lalu, saya juga banyak belajar dengan berbagai narasumber yang saya temui. Dan yang terpenting, saya punya banyak kawan, banyak ilmu, dan juga, mudah-mudahan akan banyak uang. (Amin lagi...).

Di samping menjadi wartawan "kecil-kecilan" (yah, karena gaji saya memang kecil ketika itu), saya juga terus aktif menulis artikel, puisi dan cerpen yang saya kirim ke media-media di luar Sumatera Barat. Honornya lumayan walau hanya sekedar untuk bayar utang!

Ya, begitulah proses kreatif saya menulis yang saya akui sangat tinggi. Hasrat saya memang menggebu-gebu. Kadang saya harus nongkrong di depan komputer semalaman hanya untuk mengharapkan menemukan diksi-diksi yang pas untuk karya-karya saya. Semuanya benar-benar memuaskan dan tidak akan pernah saya dapatkan jika saya tidak menulis atau bekerja di bidang lain. Teman saya yang punya warung—mulai dari pagi buka warung lalu sore tutup warung—saya tidak bisa melakoni pekerjaan seperti dia. Yah, saya orang bebas, tidak suka diintervensi, apalagi dalam tulisan-tulisan saya. Saya mau tulisan-tulisan itu mengalir apa adanya, seperti air. Apakah orang menikmati atau tidak tulisan saya itu, saya tidak tahu. Dibilang buruk, buruklah. Saya akan tetap menulis,  sampai kapan pun!

Menulis, Belajar dari Alam

"Alam takambang jadi guru", demikian pepatah Minangkabau yang cukup populer. Artinya, alam memberikan banyak inspirasi kepada kita untuk belajar. Nabi Ibrahim a.s., ketika mencari Tuhan, ia melihat bulan purnama yang bersinar terang di malam hari. Ibrahim menganggap bulan adalah Tuhannya karena memberi penerang di tengah kegelapan. Namun ketika pagi datang kemudian matahari muncul dengan sinarnya yang lebih terang benderang, kesimpulan Ibrahim pada bulan berubah, kemudian menganggap mataharilah Tuhan yang maha besar itu.

Apa yang diharapkan Ibrahim pada matahari ternyata tidak memberi kepuasan batinnya tentang Tuhan. Sebab ketika senja datang menenggelamkan matahari ke peraduannya, Ibrahim pun berpikir mustahil Tuhan menghilang. Masa-masa pencarian Tuhan ini membawa Ibrahim pada pergulatan pemikiran yang sangat panjang dan melelahkan, sehingga sampai ia pada suatu kesimpulan bahwa apa yang dilihatnya itu adalah benda-benda yang memiliki Pencipta (Khalik) yang tak bisa dilihat, tak bisa digambarkan bentuknya, namun bisa dirasakan keberadaannya. Pencipta (Tuhan) inilah yang menjadi tujuan pencarian Ibrahim. Tuhanlah yang menciptakan alam yang luas dan indah ini.

Alam menyimpan banyak misteri yang belum mampu terungkap dan tertuliskan oleh pemikiran manusia yang terbatas. Gunung-gunung yang tinggi, samudera luas nan dalam, sungai yang panjang dan berliku-liku, hutan belantara lebat, adalah bagian dari alam yang sampai saat ini selalu menjadi inspirasi manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakannya. Belajar menulis dari alam adalah sarana efektif yang banyak mengantarkan penulis-penulis besar dunia pada puncak kesuksesan.

Penemu-penemu yang telah merobah dunia ini menjadi zaman baru bukanlah semua mereka yang menyandang gelar kesarjanaan di pundaknya. Tapi mereka yang berjuang keras menemukan sesuatu yang belum terpikirkan dan diproduksi sebelumnya oleh manusia lain di dunia ini. Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Issaac Newton, dan sederetan nama besar penemu lainnya adalah mereka yang telah mengukir sejarah kesuksesan dengan tinta emas.

Imam Al Ghazali dalam nasihatnya berkata, "Berjalanlah kamu di atas dunia ini, maka banyak yang akan kamu lihat". Artinya, semakin banyak yang dilihat akan banyak pula yang diketahui. Nasihat tokoh sufi Islam ini akan mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan bahwa semakin banyak yang kita ketahui semakin banyaklah yang akan kita tulis. Penasaran, rasa ingin tahu, adalah sifat positif yang dimiliki manusia. Jika sifat ini dipupuk dan dimenej sedemikian rupa akan mengantarkan kita pada suatu penemuan baru yang spektakuler dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sifat penasaran mengajak orang untuk berpikir ada apa dibalik keingintahuannya itu. Sehingga berproseslah manusia ke arah pencarian dan penemuan-penemuan yang membuahkan hasil memuaskan bagi kemashlahatan manusia.

Konsep "orang bisa kenapa kita tidak" memang harus ditanamkan pada setiap individu yang ingin maju. Orang gagal dalam kehidupannya sehari hanya membutuhkan waktu 24 jam. Demikian juga orang sukses dalam hidupnya sehari juga membutuhkan waktu 24 jam. Mana yang akan kita ambil dari dua pilihan itu? Jawabannya terpulang kepada diri kita masing-masing. Tabik! ***

(Tulisan ini bukan makalah, hanya seuntaian kalimat motivasi agar siswa suka menulis karangan dan membaca buku. Dibacakan saat Launching Komunitas Sastra Aie Ketek Bukittinggi, Selasa 24 Mei 2011 di Pondok Pesantren Parabek Bukittinggi)

*) Penulis pengarang Novel Rinai Kabut Singgalang

Gambar: Pengarang Novel Rinai Kabut Singgalang bersama tim produksi videoklip "Ode Rinai Kabut Singgalang" karya Muhammad Jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar