Selasa, 17 Mei 2011

Rinai dalam Pertaruhan Cinta


Oleh Dra. Lili Asnita

Maxwell Maltz mengatakan, “Seringkali beda antara orang sukses dan orang gagal bukan terletak pada kemampuan-kemampuan atau ide-ide yang lebih baik. Tapi pada keberanian mempertaruhkan idenya untuk mengambil resiko yang diperhitungkan dan untuk bertindak.”

Novel Rinai Kabut Singgalang (RKS) merupakan hasil kreatif Muhammad Subhan. Di dalam novel ini terdapat ide-ide si pengarang untuk menciptakan suasana sendu yang dibaca dalam bukan suasana rinai. Sebuah ide biasanya terinspirasi dari ‘sesuatu’ hal. Muhammad Subhan telah melakukannya.  

RKS sebuah perjalanan hidup pemuda minang berdarah Aceh (ayah) dan Pasaman (ibu). Fikri (tokoh utama) lahir di Aceh merantau ke Padang (Sumbar), setelah Aceh dilanda tsunami 2004. Setting cerita ini digambarkan sejak Fikri meninggalkan Aceh lalu mengajak kita untuk menyusuri liku-liku daerah Pasaman, Maninjau, Bukittinggi, Padang Panjang, Padang. Perjalanan Fikri diurut dengan memakai alur maju sehingga pembaca melihat sebuah kronologis dari sebuah peristiwa.

Fikri berangkat dengan perasaan getir setelah gempa dan tsumami Aceh 2004. Karakter tokoh  Fikri  sebagai ‘Tokoh Kita’ digambarkan oleh pengarang dengan point of view orang ketiga, beginilah si Fikri yang ingin merubah nasib dan melihat negeri asal ibunya.

Pengarang RKS sebagai penulis pemula mengangkat tema cerita yang membawa kesedihan setiap episeode RKS. Kisah ini dijadikan menarik karena dikemas dengan gaya penyampaian berbeda dengan pengarang lainnya. Muhammad Subhan memiliki latar belakang jurnalis telah melakukan peningkatan kreatifitas, yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Beberapa tahun yang lalu, ada kegelisahan dan pertanyaan, kapan lahir penulis/pengarang dari Sumatera Barat. Sekarang pertanyaan itu seakan terjawab, setelah lahirnya novel berlatar Ranah Minang Rinai Kabut Singgalang.

Masih ingat kita pada era Balai Pustaka bermunculan roman yang berlatar Ranah Minang seperti Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Sampai sekarang karya tersebut menjadi bacaan sastra untuk siswa di sekolah menengah. Bahkan menjadi pameo bagi kita apabila ada kisah kawin paksa atau kasih tak sampai, maka pikiran akan langsung pada roman-roman tersebut.

Pengarang menampilkan peran protagonis pada seorang pemuda, Fikri  yang santun dan taat beragama membuat orang sekeliling simpati padanya. Bahkan seorang ibu yang sama-sama duduk di dalam bus dengannya begitu memperhatikannya. Tidak itu saja, ada saja, di Teluk Bayur, ada orangtua angkatnya yang sangat menyayanginya.

Fikri ingin untuk menunjukkan tekadnya pada Rahima (kekasihnya), Ningsih (kakak Rahima yang menyepelekannya) dan pada orang-orang yang merendahkannya sebagai orang buangan, berhasil mengantarkan Fikri sebagai seorang pengarang terkenal. Selain itu Fikri seorang yang berjiwa besar. Dia serahkan Rahima pada sahabatnya (Yusuf) untuk dipersuntingkan karena Fikri sakit parah. Kejadian yang jarang terjadi dan sulit disampaikan dengan kata-kata. Bagaimana perasaan kita bila melihat orang yang dikasihi, menikah di hadapan kita. Rinai adalah (suasana sedih) dalam jiwa Fikri, begitulah yang ada dalam novel ini. Masalah klasik, ‘kasih tak sampai’.

Membaca Rinai Kabut Singgalang kita diajak kepada kisah romantika hidup bujang-gadis pada roman-roman karya Buya Hamka seperti halnya Tengelamnya Kapal Van Der Wijck. Mengapa demikian, karena tokoh cerita dalam RKS dan TKVDW sama-sama sebagai ‘orang datang’, sama-sama ditolak dari keluarga Minangkabau, dan sama-sama berprofesi sebagai  pengarang.

Perkembangan penerbitan novel sekarang cukup menggembirakan. Beberapa tahun belakangan ini kita disajikan novel Islami karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy). Sebelumnya ada novel absurd karya Putu Wijaya. Ada novel Teenlit. Bahkan yang fenomenal  novel intelektual karya Andrea Hirata.

Pada RKS sebagai novel perdana, masih banyak lagi yang perlu digali. RKS bisa saja dilanjutkan menjadi tetralogi. Namun hendaknya  ada hal yang bisa diambil pembaca sebagai hal yang ‘baru’ atau spesifik dari seorang pengarang. Berangkali, Muhammad Subhan masih mencari spesifik dari gaya penulisannya.

RKS hendaknya ada inovasi dari si pengarang yang disampaikan lewat tokoh. Hendaknya ada pendalaman materi,  misalnya kenapa bisa terjadi penyakit pada Fikri, apa nama penyakitnya? Sebaiknya ada penjelasan secara medis. Penulisan kata-kata dengan gaya melayu (apalah, pulalah, hendaklah, dll) mungkin bisa diperkecil.

Ending RKS dengan mengajak pembaca pada sebuah tempat dengan kisah ada sepasang merpati, melemahkan kisah ini. Seakan-akan kita diajak pada sebuah legenda (dongeng) Kurang relevan saja. Padahal  awal kisah ini ada terkait pada kejadian tsunami Aceh tahun 2004.

Pembaca yang ingin mengulang kembali membaca kisah lama yang diperbarui dapat menikmati Rinai Kabut Singalang. Memang beberapa tahun yang lalu, ada kegelisahan dari kapan lahir penulis dan pengarang dari Sumatera Barat. Sekarang pertanyaan itu seakan terjawab, setelah lahirnya novel antara lain Cinta di Kota Serambi (Irzen Hawer) atau Rinai Kabut Singgalang ini.

Kebangkitan karya sastra lama dan disajikan kembali dengan setting yang mirip dengan karya pengarang di atas, merupakan sebuah regenerasi dan produktifitas yang patut diacungkan jempol. Bravo!

Penulis adalah Guru SMA Negeri 4 Bukttinggi

Resensi ini dimuat di Koran Rakyat Sumbar Utara, Edisi Sabtu 12 Februari 2011

Gambar: Majalah SEMPATI SMA Negeri 4 Bukittinggi yang juga memuat tulisan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar