Senin, 30 Mei 2011

Uneg-Uneg Seorang Pembaca Novel Rinai Kabut Singgalang Via Facebook


Namanya Indy, seorang mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Begini ia menulis:

Alur Novel Rinai Kabut Singgalang mudah ditebak, Kak. Dan, sebenarnya ada satu lagi kunci menebak alur itu, yaitu pada halaman terakhirnya. Jika pembaca yang suka bosan, pasti dia memilih untuk membaca halaman terakhir saja. Nah, pada halaman terakhir itu, bisa ditebak langsung akhirnya seperti apa.

Satu lagi, mungkin Kakak harus lebih memperlihatkan kekhasan gaya bahasa Kakak, karena dalam sebuah buku teori sastra yang Indy baca, judulnya "Pengarang: Manusia Super", pengarang yang hebat adalah pengarang yang bisa memainkan kata-kata dan bisa memperlihatkan kekhasan gaya bahasanya. Boleh-boleh saja menggunakan gaya bahasa yang mirip Hamka, tetapi sepertinya kakak masih belum bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Hamka, sehingga kekhasan gaya bahasa dari pengarang itu sendiri menjadi tidak tampak.

Ada lagi tambahan, kenapa masih menggunakan gaya bahasa surat? Runtutan peristiwa mulai dari merantau hingga terjadi tsunami terlalu melompat jauh menurut Indy, sehingga alur tersebut masih belum kuat! Demikian hanya sebatas masukan.

Indy

 Pembaca Rinai Kabut Singgalang di Langsa, Aceh Timur

Alhamdulillah, kebahagiaan seorang pengarang adalah ketika karyanya mendapat apresiasi dari pembaca. Dan, saya tidak akan menutup segala saran, masukan, dan kritikan yang diberikan itu, sebab itulah anugerah terindah bagi seorang pengarang untuk perbaikan karyanya di masa-masa mendatang. Inilah jawaban saya:

Indy yang baik. Sip sekali masukannya. Ini baru anak sastra namanya. Kritis. Semoga memperkaya bahan Skripsinya nanti ya.

Begini. Menurut hemat kakak, tugas seorang pengarang itu hanya mengarang. Di jaman apapun dia hidup. Setelah karyanya terbit, beredar luas di tengah masyarakat, maka pembacanya itulah yang akan menjadi “hakim” bagi karyanya. Indy, salah seorang pembaca novel kakak, adalah hakim juga bagi karya kakak. Silakan hakimi, dan karya pengarang adalah “pesakitan”. Seorang pengarang tidak berhak melakukan pembelaan sejauh khalayak menilai karyanya. Segala kritik, saran dan masukan, akan ia tampung, menjadi bahan berharga untuk perbaikan karyanya di masa-masa mendatang.

Indy mengatakan, “sebenarnya ada satu lagi kunci menebak alur, yaitu pada halaman terakhir…”. Kakak sarankan, dalam membaca buku apa saja, sebaiknya tutup halaman akhir. Sebab, kalau sudah terbaca halaman akhir itu, terkuaklah endingnya. Tahu orang jalan ceritanya. Kesalahan kakak dalam Rinai Kabut Singgalang, Prolog yang ditulis Bang Damhuri Muhammad, menyimpulkan keseluruhan isi, dengan ulasan yang sangat kritis, sehingga pembaca yang membaca Prolog, tahulah dia jalan cerita dan endingnya. Tapi tentu saja kakak berterima kasih kepada Bang Damhuri yang sudah berkenan memberikan tulisannya mengantar RKS ke tengah khalayak pembaca, khususnya di Ranah Minang.

“Kakak belum bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Hamka?” Hmm, menarik sekali kalimat itu. Kakak memang membaca semua buku yang ditulis oleh Buya Hamka, mulai dari roman-romannya; Dibawah Lindungan Ka’bah, Si Sabariah, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Juga Tafsir Al Azhar, Tasawuf Modern, Suluh Hidup, Ayahku, Kenang-kenangan Hidup (4 jilid) dan masih banyak lainnya. Tapi bacaan kakak bukan hanya Hamka saja. Kakak juga membaca hampir semua roman-roman terbitan Balai Pustaka yang sebagian besar pengarangnya orang Minang, mulai dari: Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Kalau Tak Untung, Salah Pilih, Neraka Dunia, Karena Anak Kandung, Perawan di Sarang Penyamun, Tak Putus Dirundung Malang, Pertemuan Jodoh, Robohnya Surau Kami, dan lain-lain. Jadi tidak hanya Hamka saja. Dan, hampir semua pengarang era Balai Pustaka itu bergaya bahasa demikian.

Nah, soal gaya bahasa kakak begitu, itu soal rasa, bukan mengikuti Hamka atau pengarang-pengarang lainnya. Kakak lebih merasa nikmat bergaya bahasa seperti yang kakak pakai dalam RKS, lebih indah, lebih dalam maknanya, dan lebih mudah memberi sentuhan kepada pembacanya. Kalaupun pembaca novel kakak ada yang tidak suka, tidak tersentuh, tidak merasakan apa-apa, maka itu juga kembali soal rasa yang mereka punya. Masing-masing kita dianugerahi rasa oleh Tuhan. Dan, kalau seandainya pula karya itu baik, bermanfaat bagi banyak orang, karya itu akan mengalami cetak ulang berkali-kali, dibedah di ruang-ruang kelas dan kampus-kampus, jadi perbincangan di sana-sini, diulas orang di berbagai media massa atau bahkan dilayarlebarkan. Tapi kalau karya itu tidak bermanfaat, terbitnya adalah awal kematiannya. Orang hanya sesaat mengenangnya, lalu melupakannya sama sekali. Tidak membekas. Tidak berjejak.

“Kenapa masih menggunakan gaya bahasa surat?” Sebagian peserta yang mengikuti bedah novel kakak di beberapa kota, juga menanyakan hal demikian. Khusus bagi Indy dan remaja-remaja seusia Indy, mungkin tidak lagi menemukan masa-masa indahnya bersurat-suratan itu. Ini jaman orang ber-hape. Pesan cukup dikirim lewat SMS atau langsung telepon. Mudah. Tapi di jaman kakak remaja dahulu, suasana bersurat-suratan itu masih ada. Sangat semarak sekali. Kantor pos tak pernah sepi sebagaimana terlihat sekarang. Bahkan, hingga tahun 2004, kakak masih berkirim surat kepada orangtua di kampung. Kenapa RKS kakak berbahasa surat? Karena ia mewakili jamannya. Mungkin, RKS adalah karya sastra terakhir yang memakai bahasa surat. Tapi, novel Pak Irzen Hawer (Padangpanjang) berjudul Cinta di Kota Serambi (terbit 2010) dan Prosa Cinta di Kota Serambi (terbit 2011) masih memakai surat menyurat di dalam beberapa bagian babnya. Kakak tidak tahu apakah ada novelis lainnya yang melakukan hal yang sama.


Workshop Dahsyatnya Menulis di DPRD Painan, Pesisir Selatan

Terakhir, “soal runtutan peristiwa mulai dari merantau hingga terjadi tsunami terlalu melompat jauh sehingga menurut Indy alur masih belum kuat”, itulah penilaian Indy sebagai seorang pembaca. Kakak berterima kasih sekali. Masing-masing pembaca punya penilaian sendiri. Kakak hargai penilaian Indy itu. Kekuatan karya seorang pengarang novel, kata Dianing Widya Yudhistira salah seorang novelis nasional, adalah kemampuan seorang pengarang mendramatisir setiap konflik yang terjadi di dalam karangan-karangannya. Sejujurnya kakak masih belajar soal itu, dan RKS adalah karya pertama kakak yang tentu saja sangat banyak kelemahan dan kekurangannya di sana sini. Tapi kakak mengungkap semua itu apa adanya, sesuai logika dan tidak hendak membuat-buat peristiwa. Semua seting tempat di dalam cerita bisa ditelusuri jejaknya (bahkan Indy sudah sampai ke rumah Buya Hamka di Maninjau yang menurut Indy penasaran setelah membaca RKS ;). Hanya saja kisah perkisahnya didramatisir, sebab bukanlah konflik yang terjadi dalam diri kakak sebenarnya. Soal tsunami di dalam RKS, itu benar adanya. Desember 2004 silam Aceh dilanda gempa dan tsunami dahsyat. Dua bulan sesudah peristiwa itu, kakak memang ke Aceh, ikut menjadi relawan, tapi tidak mengevakuasi jenazah. Hanya menyalurkan bantuan. Kakak dapat melukiskan peristiwa itu lewat kata-kata di dalam RKS memang kakak merasakan dan mengalaminya langsung, bukan hanya sekedar riset dari bacaan belaka.

Proses menulis RKS kakak kerjakan selama 3 bulan. Tapi proses kreatifnya lebih 12 tahun. Selama 12 tahun itulah kakak menikmati setiap rasa yang pernah kakak lewati, kakak alami, mulai dari Aceh hingga sejumlah daerah seperti tersurat dalam RKS. Akan sangat tidak mungkin kakak dapat menceritakan seluk beluk kampung Kajai di Pasaman Barat sedetail-detailnya kalau kakak tidak pernah ke sana, demikian juga Rumah Buya Hamka, Maninjau, Bukittinggi, Rumah Puisi di kaki Singgalang, hingga suasana Padang khususnya di kampung dekat Muaro dan Teluk Bayur. Semua itu kakak rekam dalam ingatan kakak selama melakukan perjalanan 12 tahun itu, terutama disaat kakak masih aktif menjadi wartawan. Kalaupun terjadi lompatan yang terlalu jauh, dalam beberapa kalimat kakak tuliskan kata “beberapa tahun kemudian…”, lalu masuk pada adegan-adegan yang mungkin menurut Indy melompat jauh itu.

Jadi, menurut kakak, seorang pengarang perlu "merasakan sesuatu" agar ia dapat "menulis sesuatu" itu dengan baik, bisa merasakan langsung, ataupun dengan melakukan riset baik melalui bacaan atau perjalanan. Sederhananya, kalau Indy tinggal di tepi pantai, tidak pernah kemana-mana, maka Indy tidak dapat melukiskan indahnya rinai yang jatuh bersama kabut menyelimut lembut di pinggang gunung yang menjulang di kala pagi dan petang datang. Tak pula dapat melihat rancaknya sawah yang bersusun-susun, berundak-undak, perbukitan yang hijau dengan suara insekta margasatwa, angin gunung dan aroma hutan. Begitupun, bila kita tinggal di kaki gunung tidak pernah pergi kemana-mana, alamat tidak dapatlah kita melukiskan indahnya suara debur ombak di tepi pantai yang menjilat kaki sepasang remaja yang berlarian di kala matahari hendak terbenam. Tak dapat pula melihat tarian nyiur yang melambai ditiup semilir angin laut, biduk-biduk nelayan yang mengapung tenang di tengah luasnya samudera, melempar sauh dan jala menangkap ikan untuk dihidangkan di atas meja makan. Sungguh, semua itu tidak dapat kita menuliskannya bila kita tidak melihat atau merasakannya.

Demikianlah Indy. Ini bukanlah pembelaan kakak atas karya kakak yang masih banyak kelemahannya itu. Ini hanya bertukar pikiran saja. Dan latar pendidikan kakak bukanlah dari Fakultas Sastra layaknya Indy, kakak dari Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Semoga jawaban kakak ini memuaskan Indy, dan dapat menambah bahan tulisan Indy untuk tugas akhir kuliah Indy nanti (terima kasih sudah menjadikan RKS sebagai bahan Skripsinya).

Sekali lagi terima kasih banyak, ya. Buatlah kritik sastra di media massa, agar semakin banyak kawan-kawan yang menanggapinya, sehingga semakin semarak dunia sastra di Ranah Minang yang kita cintai ini.

Salam kreatif selalu.

Muhammad Subhan



Gambar:
1.   Novel Rinai Kabut Singgalang berada di antara 10 buku yang dibedah dalam acara “Obrolan Karya dalam Semalam 10 Buku’ di Jogja, Selasa 24 Mei 2011 lalu.
2.      Inbox Facebook yang memuat pesan masuk dari Indy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar