Saya posisikan diri saya sebagai seorang perempuan, bukan laki-laki. Lalu orang bertanya, ikhlaskah saya bila suami saya menikah dengan perempuan lain? Bila pun bibir saya terkunci rapat saat itu, hati saya akan menjerit dan menjawab, “tidak!” Siapa yang tega, orang yang dicintai, membagi kasih sayangnya kepada perempuan lain? Benarlah, bila jujur mengatakannya, tidak ada perempuan yang sudi dimadu!
* * *
Mula membaca Novel Hatinya Tertinggal di Gaza (Grasindo, Jakarta, 2011) karya Uni Sastri Bakry ini, saya mengira ceritanya bertema poligami yang sudah umum diperbincangkan dalam novel-novel lainnya. Setelah saya teliti bab perbabnya, hingga semua kisahnya berakhir, ternyata bukan soal poligami. Sebab, tidak ada pernikahan di sana. Tokoh utama, Nadhifah, hingga akhir cerita, tetap dengan status kesendiriannya. Sementara, laki-laki masa lalunya yang meminta agar Nadhifah menikah dengannya, sebagaimana tiba-tiba datangnya, tiba-tiba pula perginya.
Begitupun, awal membaca judul novel ini, Hatinya Tertinggal di Gaza, saya mengira ceritanya berlatar bumi Palestina, atau membahas persoalan derita rakyat Gaza yang dikemas kisah cinta antar tokohnya. Tetapi nyatanya juga tidak. Hatinya Tertinggal di Gaza hanya satu judul bab di dalam novel ini. Derita rakyat Gaza digambarkan pengarangnya hanya dalam 22 paragraf, atau sekitar 5 halaman. Inti keseluruhan ceritanya sendiri tentang “kisah cinta segi tiga”, antara Nadhifah dengan bekas kekasih lamanya, Ofik, dan Nindi, istri Ofik.
Pengarang novel ini, Sastri Bakry, berhasil menciptakan rasa penasaran pembacanya untuk terus mengikuti alur setiap bab hingga titik terakhir buku ini. Kalimat pembuka ceritanya pun mengejutkan dan mengundang rasa penasaran pembaca tentang apa yang akan terjadi pada kisah berikutnya. Simaklah bagaimana piawainya pengarang menulis kalimat pembuka novelnya:
“Aku ingin menikah denganmu,” katanya tanpa ragu. Terdengar berat suaranya. Wajahnya tegang. Ucapannya tak sedikit pun mengandung keraguan. Wajahnya selama ini kelihatan santai, tapi tidak untuk malam ini. Matanya yang bulat memandang tajam ke arah Nadhifah. Ujung jarinya menyentuh ujung jari Nadhifah...
Paragraf pembuka ini sangat menarik. Siapa pun yang membaca ingin tahu bagaimana cerita selanjutnya. Apa yang terjadi pada diri Nadhifah sesudah kata-kata itu diucapkan oleh seorang laki-laki yang pernah hadir di bilik hatinya, walau saat ia berjumpa itu Ofik, lelaki itu, telah menjadi suami perempuan lain. Telah pula beranak cucu. Pembaca juga akan penasaran, akankah Ofik beristrikan Nadhifah yang sudah berkepala empat, tidak muda lagi, dan sejumlah keingintahuan lainnya. Walau sebenarnya tidak lumrah, sosok Nadhifah yang digambarkan pengarangnya seorang perempuan saleha, berjilbab, memakai gamis pula, bersentuhan tangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Tetapi di titik ini pengarang seolah ingin mengatakan bahwa (maaf) tidak semua perempuan berjilbab itu yang dapat menjaga pakaian muslimahnya secara baik. Pakaian cenderung sebagai simbol, tidak selalu mewakili hati dan tubuh si pemakainya. Bahkan banyak orang yang menutupi keburukannya dengan pakaian yang dipakainya. Dan, realita di alam nyata juga sering kita saksikan dengan mata kepala fenomena demikian. Apa yang difiksikan Sastri Bakry di dalam novelnya itu, tentu saja menjadi i’tibar bagi pembaca. Inilah salah satu pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Seperti yang sudah saya sebut di atas, di era emansipiasi wanita sekarang ini, mustahil rasanya bila ada perempuan yang suka dimadu. Apalagi madunya itu adalah perempuan bekas kekasih suaminya. Tetapi tidak dengan Nindi, istri Ofik yang dinikahinya secara sah, malah menganjurkan suaminya untuk menikahi Nadhifah. Dalam beberapa bagian Nindi berperan meyakinkan hati Ofik untuk menemani Nadhifah ketika ia datang ke Jakarta—yang sekali lagi Nadhifah bukan muhrim Ofik.
Ini juga tidak lumrah. Sebab tidak disebut alasan kuat mengapa Nindi yang juga digambarkan pengarang sebagai sosok istri setia, perhatian kepada suami dan anak-anak, serta menutup auratnya, malah berperan tunggal mendorong Ofik menikahi Nadhifah—meski pernikahan itu sendiri tidak pernah terjadi. Sebagai seorang istri, tidak disebut pula apa kekurangan Nindi sehingga Ofik dapat beralasan menikah lagi (misal, Nindi tidak dapat memberikan anak kepada Ofik, berpenyakitan, atau telah sangat uzur sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri). Ofik pun digambarkan sebagai lelaki sempurna di dalam rumah tangga Nindi, seperti disebutkan dalam paragraf berikut:
“.... Ofik adalah lelaki yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian sama istri dan anak-anak, kalau salah seorang dari kita ada yang sakit, biasanya Ofik lah yang paling sibuk mengurusi segala tetek bengeknya, mulai dari yang penting sampai gak terlalu penting. Mengingatkan minum obat; makan yang banyak...” (hal. 34)
Agaknya, hanya alasan Nindi punya “dosa masa lalu” terhadap laki-laki lain yang juga pacar masa remajanya saja sehingga suaminya, Ofik direlakan menikah dengan Nadhifah, bekas kekasih Ofik itu. Sementara Ofik sendiri agaknya tidak punya alasan kuat untuk menikah lagi, kecuali, semata soal “nafsu” belaka hendak mendapatkan kekasih lamanya kembali yang belum juga bersuami. Bayangkan, secara psikologis, seseorang yang pernah jatuh cinta di kala pertama mengenal seorang gadis, lalu berpisah sekian lama, tiba-tiba berjumpa di lain waktu, tentulah benih-benih kasih sayang itu akan membiak kembali.
Dalam membentuk tokoh, pengarang agaknya belum cukup kuat mencipta tokoh-tokoh yang berkarakter. Nadhifah, Ofik, Nindi, cenderung hadir dalam karakter yang dipaksakan. Nadhifah misalnya, tidak dijelaskan pengarang apa sebab pula ia belum juga berkeluarga hingga sampai di usi kepala empat. Bila Nadhifah seorang perempuan karir, sukses usahanya, dari keluarga baik-baik, aktivis perempuan yang tidak saja berskala lokal, nasional, namun juga internasional, cantik pula, sangatlah mustahil tidak ada laki-laki yang meliriknya. Terasa kurang logis bila sampai usia yang tidak muda lagi itu Nadhifah harus bertemu kembali dengan bekas kekasihnya yang sudah berstatus “kakek”.
Ofik yang sangat “bernafsu’ hendak mendapatkan Nadhifah, berupaya bermacam cara bisa dilakukannya. Dalam satu dialog Ofik mengatakan:
"Kamu lihat rumput ini? Mungkin kamu anggap tak penting karena hanya akan diinjak-injak orang. Tapi rumput ini bisa menghidupi banyak makhluk di bumi.” (hal. 41)
"Kamu dan Nindi seperti rumput bagiku dan anak-anakku. Awalnya yang menyediakan rumput bagi kami hanya Nindi, bayangkan apabila ada tambahan rumput lain di rumah kami. Rumput yang subur. Tidakkah kebahagiaan itu akan bertambah? Kamu mengerti, kan?” (hal. 42)
Tentu saja tidak lumrah memberi perumpaan hadirnya Nadhifah dalam kehidupan Ofik seandainya mereka menikah diibaratkan adanya tambahan rumput segar di rumah Ofik. Dalam kalimat itu pengarang menyebut kata “kami” yang berarti jamak, tidak hanya buat Ofik, tapi juga buat istri, anak, dan cucu Ofik. Tapi di sini pula kepiawaian si pengarang meracik konflik batin antar tokoh ceritanya, sehingga pembaca benar-benar penasaran untuk terus membaca.
Sayangnya, akhir cerita Novel Hatinya Tertinggal di Gaza ini tidak happy ending maupun tragedy ending. Terasa biasa saja. Nadhifah, yang sejak awal bab berperang batinnya antara menerima kehadiran Ofik kembali, di akhir cerita memutuskan untuk membiarkan Ofik pergi tanpa ada kata-kata perpisahan. Lihatlah di ujung bab terakhir ini:
“...Ofik semakin gencar mengajak Nadhifah, mendesak dan membujuk. Nadhifah berulang kali mengucapkan terima kasih dan menolak dengan halus. Mobil Ofik akhirnya bergerak menjauhi Nadhifah.” (hal. 199)
Saat ini ia telah ikhlas melepaskan Ofik dari gantungan hatinya. Hatinya tidak lagi sakit melihat kepergian Ofik. Tubuhnya juga terasa ringan. Ia mengalihkan pandangannya dari mobil Ofik ke ujung jembatan Banda Bekali... (hal. 199)
* * *
Sebagai pengarang perempuan asal Ranah Minang, eksistensi kepengarangan Sastri Bakry telah menjawab persoalan langkanya penulis perempuan di daerah ini. Selama ini penulis laki-laki mendominasi di ranah kesusasteraan Sumatera Barat. Bukan sekarang saja, tetapi sudah sejak dahulunya. Maka, munculnya novel-novel buah pena Sastri Bakry, diantaranya Novel Hatinya Tertinggal di Gaza ini perlu mendapat apresiasi positif berbagai pihak.
Upaya Sastri Bakry menulis novel diharapkan mencipta aura positif bagi kalangan pembaca generasi muda bahwa menulis itu benar-benar gampang. Seorang Sastri Bakry yang sepengetahuan saya sosok “super sibuk” lantaran aktivitasnya sebagai Sekretaris Dewan di DPRD Kota Padang, membuktikan bahwa sesibuk apapun rutinitas masih ada waktu untuk menulis. Siapa sangka, buah dari kesibukan itu melahirkan karya dahsyat ini, yang tentu saja cukup layak dibaca.
Padangpanjang, 8 Juni 2011
MUHAMMAD SUBHAN
Wartawan & Pengarang
Add facebook: rinaikabutsinggalang@yahoo.com
*) Esai ini disampaikan dalam acara Bedah Novel Hatinya Tertinggal di Gaza karya Sastri Bakry, Rabu 8 Juni 2011 di Kampus II STAIN Bukittinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar