Senin, 20 Juni 2011

Bedah Buku Hatinya Tertinggal di Gaza di STAIN Djamil Djambek Bukittinggi: “Tampilan Luar Bukan Jaminan”

Muhammad Subhan (kiri) dan Sastri Bakry (kanan)

Oleh Arbi Syafri Tanjung

Rabu (8/6), Gedung pertemuan rektorat kampus II STAIN Syekh M. Djamil Djambek, Kubang Putih, Bukittinggi tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pagi itu di depan pintu utama gedung rektorat tersebut diramaikan dengan pajangan buku yang disusun rapi di atas meja yang sengaja disediakan sebagai stand buku. Walaupun judul buku sama Hatinya Teringgal di Gaza, tetapi jumlahnya tak dapat dibilang sedikit. Perempuan-perempuan muda berjilbab dan berpakain santun lazimnya gadis minang terpelajar masa kini tampak mendominasi di sekitar gedung. Keramaian itu bukan tak beralasan, maklum saja pagi itu ada hajatan mulia dan sangat berbeda, yang sengaja disiapkan oleh mahasiswa STAIN Bukittinggi asal Pariaman yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Padang Pariaman (IMAPPAR).

Pariaman sebagai satu dari beberapa daerah di Sumatera Barat yang paling besar mengalami dampak peristiwa pahit G 30 S 2009 (meminjam istilah yang diungkapkan oleh ayahanda novelis muda Minang Mardhiyan Novita MZ saat menyampaikan sambutan pada acara peresmian Roemah Boedaja Fadli Zon 4 Juni 2011 lalu--red). Ini istilah untuk menyebut peristiwa Gempa 30 Setember 2009 di Sumatera Barat. Kehilangan harta, rumah, pekerjaan, bahkan nyawa sekalipun telah menempatkan posisi masyarakat Pariaman pada titik nadir yang mengharuskan mereka memulai untuk bangkit kembali dari tumpukkan kelemahan dan kekurangan serta keterbatasan yang dialami.

Acara yang dilangsungkan di lantai tiga rektorat STAIN Bukittinggi itu, seakan menjadi jawaban bahwa ini adalah satu dari banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengembalikan dan menormalkan semangat masyarakat Pariaman pada umumnya dan kalangan terpelajar asal daerah itu pada khususnya. Jatuh bukan untuk menyerah. Tapi, jatuh adalah untuk bangun kembali, berdiri dan selanjutnya lari mengejar ketertinggalan dari yang lain. Meskipun ada anggapan bahwa rang Pariaman lebih dikenal sebagai penggalas (pedagang) yang meramaikan sentra-sentra perdagangan di kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta-Bandung-Medan-Surabaya dan kota lainnya. Tapi acara kali ini memberi makna dan arti pengecualian dari anggapan itu. Sebab acara ini tidak menghadirkan penggalas ternama dan sukses, tapi mengundang Sastri Bakry rang minang, perempuan Pariaman yang saat ini telah menjadi satu ikon baru perempuan penulis dan penulis perempuan Indonesia. Beliau telah menunjukkan dan membuktikan kepada kita bahwa sastra dapat dipilih sebagai salah satu corong bagi setiap orang untuk menggugat dan berbagi, sekaligus mengubah keadaan yang sedang berlangsung. Meskipun kita tahu bahwa bukan beliau satu-satunya yang berbuat seperti yang dimaksud, tetapi beliau dapatlah menjadi satu contoh lokomotif yang mampu menggerakkan gerbong-gerbong generasi muda perempuan dan rang Piaman di masa berikutnya. Pariaman, terus bangkit dari dunia yang satu ini. Tahun 2011 telah terbit novel Penyair Merah Putih karya Mardhiyan Novita MZ, novelis muda yang juga asal Pariaman, yang baru saja lulus UN di MAN Koto Baru.   

Sebagai tamu khusus yang sengaja di undang Sastri Bakry sekretaris Dewan DPRD Kota Padang yang juga merupakan penulis novel Hatinya Tertinggal di Gaza (kemudian disingkat dengan HTDG) hadir dengan kapasitasnya sebagai penulis. Sebagai pembedah pada kesempatan itu dipercayakan kepada penulis muda asal Aceh-Minang, yang telah melahirkan novel Rinai Kabut Singgalang, novel yang akan cetak ulang. Beliau, Muhammad Subhan, yang kesehariannya bertugas di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Aie Angek, Tanah Datar. Selain untuk memenuhi undangan, Muhammad Subhan dan Sastri juga hadir untuk bicara sastra.

Sastranya Sastri adalah sastranya perempuan. Sebelum menunjukkan produktivitas menulisnya lewat HTDG perempuan setengah baya yang tampil menarik ini, telah menelurkan lima buku sastra yang juga bertema perempuan seperti: Perempuan Dalam Perempuan (1995), Sajak Berdua (1996), 26 Penyair Hawa (1997) dan Kekuatan Cinta (2009).

Dengan perempuan ia berkarya, dan dunia perempuan pula yang menjadi ladang perjuangannya. Tulisan dan goresan pena yang ia cipta berbanding lurus dengan sifat asli dan fitrah dari seorang  perempuan, yakni kelembutan dan keindahan. Minang sebagai daerah latar ceritanya, perempuan suku itu pula yang menjadi objek kisah novelnya. Sebenarnya judul novel Hatinya Tertingggal di Gaza adalah satu sub judul dari isi novel tersebut.

Sub judul ini bercerita tentang khayalan Nadhifah, salah satu tokoh dalam cerita, ia berkhayal menjadi seorang relawan ke daerah konflik Timur Tengah di Gaza. Lewat khayalnya ia mempersembahkan bakti tenaganya untuk para saudara sesama muslim yang menderita dan yang terpaksa menerima cerita pahit hidup yang berbalut manisnya sabar yang telah digariskan Tuhan untuk mereka. Hati, pikiran dan kenangan nyata hidupnya terus menyatu dengan kisah dalam khayalannya itu. Kisah khayalannya tak mampu ia singkirkan dari pikirannya, Ia selalu saja merasa seperti yang ada dalam dunia khayal itu.     

Dalam kasak-kusuknya kondisi masyarakat yang sedang berlangsung dan entah sampai kapan akan terus berlangsung. Sastri memberi “air’ penyejuk dahaga bagi Indonesia dan perempuan-perempuan yang menjadi bagiannya bahwa perempuanlah yang paling mengerti masalah perempuan itu sendiri. Perempuan ia urai, perempuan ia tutur, dan ia bentangkan masalah real perempuan lewat lukisan kata-kata indah nan puitis dalam bentuk sastra, dengan harapan semoga setiap yang membaca hasil goresan dan lukisan itu menambah perbendaharaan wawasan akan persoalan perempuan.Tapi, tetap saja akan bermuara pada tindakan bagaimana semestinya memperlakukan seorang perempuan.

Novel yang berjudul asli Gelombang Matahari itu, turut mengisyaratkan kepada setiap perempuan dan pembaca sekalian, bahwa pertimbangkanlah segala sesuatu secara bijak jika ingin mengambil sebuah keputusan, jangan sampai keputusan itu merusak kebahagian orang lain. Apakah hanya karena seseorang adalah ‘orang khusus’ kita dimasa lalu, kemudian kita merasa berhak mengambil kebahagian keluarga yang telah dibentuknya, dengan cara bersedia menikah dengannya karena permintaan dari pasangan resmi hidupnya, seperti yang dimohonkan Nindi Istri sah Ofhik kepada Nadhifah untuk mau menikah dengan Ofhik. Adalah sebagai sebuah kemuliaan bila kita mampu membahagiakan orang lain meski harus memepersembahkan sesuatu yang sangat kita cintai, dan mempercayai bahwa kebaikan dari yang Maha baik adalah hal terbaik.

Sebagai pembedah  novel HTGD Subhan menyatakan bahwa dengan jelas Sastri ‘menitipkan’ dan ‘menumpangkan’ pesan moral berharga bahwa tak selamanya tampilan luar dan style  baik itu, berbanding lurus dengan baiknya  mental dan spiritual seseorang. Ia mencontohkan bagaimana sikap Nadhifah ,salah satu tokoh dalam Novel itu, sosok yang digambarkan pengarangnya sebagai  seorang perempuan saleha, berjilbab, memakai gamis, bersentuhan tangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Dalam tulisan yang bertajuk Menimbang Novel Hatinya Tertinggal di Gaza pada acara tersebut, Subhan juga mengungkapkan bahwa “(maaf) tidak semua perempuan berjilbab itu yang dapat menjaga pakaian muslimahnya secara baik. Pakaian cenderung sebagai simbol, tidak selalu, mewakili hati dan tubuh si pemakainya. Bahkan banyak orang yang menutupi keburukannya dengan pakain yang dipakainya. Realita di alam nyata juga sering kita saksikan dengan mata kepala”.       

Bukankah contoh yang diurai diatas adalah contoh bagaimana lembut dan halusnya nasehat bila  diramu dan diracik lewat sastra baik dengan kata maupun kalimat-kalimatnya.Wajar dan benarlah kiranya ungkapan Arab yang bunyinya “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu karena sastra membuat hati lembut”. Sebab jika hati lembut, keinginan untuk berbagi selalu ada.

Novel HTGD dan penulisnya yang seorang perempuan telah memberi kabar atau mangabakan bahwa bacaan yang ber-tema-kan perempuan adalah sesuatu gudang makna hidup. Bacaan yang apapun bentuknya, apakah novel, roman, buku ilmiah, penelitian, majalah, surat kabar dan lain sebagainya. Bukan hanya terbatas diperuntukkan bagi perempuan saja. Laki-laki sebagai jender yang berada disebrangnya, tidaklah tertutup untuk ‘menimba’ dan ‘mengais’ makna dari bacaan-bacaan tentang dunia perempuan yang feminim.  

Dalam pribadi Sastri, sastra telah menjadi alat berbagi kepada sesama perempuan dan alat berbagi pula bagi setiap insan yang membaca karyanya.HTDGnya Sastri berbagi kepada kaum hawa, bahwa tak seorangpun istri  didunia ini yang rela suaminya menikah dengan perempuan lain. Cinta yang suci tak mungkin dapat di kotak-kotak dan dibuat bagian-bagiannya seperti membagi kue bolu. Selain itu Sastri juga berbagi kepada setiap laki-laki bahwa ‘izin’ boleh menikah lebih dari satu orang perempuan seperti yang telah dituliskan dalam kitab suci.Hendaknya janganlah dijadikan senjata pembenaran untuk berpoligami atau menikah lagi. Kalam Tuhan bersumber dari ke-Mahabijakan, maka ,ungakapanNYA dalam kitab suci itu merupakan Kebijakan yang tanpa cacat dan kekurangan. Penafsiran manusia saja yang merubah Kemahabijakan itu menjadi sangat dangkal, seperti dangkalnya keinginan manusia untuk terus bersandar dan mendekat pada jalanNYA.  Persoalan ‘izin’ diatas tidaklah sesederhana itu sebab kitab suci juga meneruskan dengan kalimat peringatannya, yaitu ‘jika kamu mampu berbuat adil kepada mereka’

Dengan membedah karya Sastri yang juga mantan Bendahara IMAPPAR Padang semasa beliau kuliah, secara tidak langsung kegiatan bedah buku ini juga membedah bagaimana proses kreatif yang dilakoninya. Ia yang dapat disebut sebagai perempuan-ibu dan sekretaris yang super sibuk. Mampu dan terus saja berkarya, menulis. Menulis persoalan zaman, menulis persoalan kaumnya , sekaligus menuliskan pengalaman bathin para perempuan-perempuan daerah yang dilihat dan diperhatikannya. Bagaimana mungkin ia yang super sibuk bisa menulis dengan status dan peran yang melekat pada dirinya?. Paparan singkatnya tentang ini, ia sampaikan bahwa “modal menulis adalah mau”. Mau menulis apa saja yang berkesan dan terpsikir dalam kesehariannya,baik ketika sidang,ketika di pesawat,ketika ngobrol, atau dalam kondisi lainnya. Pokoknya selalu sediakan media tulis dalam bentuk apapun yang dimiliki dan di pegang saat akan menulis itu”. []

Tulisan ini dimuat di Koran Sekolah Suratkabar Harian RAKYAT SUMBAR UTARA, edisi Sabtu, 18 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar