Sabtu, 16 Juli 2011

Kandungan Nilai Luhur dalam Novel Rinai Kabut Singgalang

Situs berita www.korandigital.com


Oleh Patriyeni*)

Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan saya nilai sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca penasaran menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang dilalui tokoh utama bernama Fikri. Mulanya saya mengira itu adalah realita, karena setiap orang pasti bisa menggalami peristiwa yang sama dengan Fikri.

Tutur kata Fikri, seorang anak muda yang baik, halus kepada siapa pun, itu sangatlah berbeda dengan kenyataan anak muda zaman sekarang. Kalaulah ada, mungkin bisa berbanding seratus. Anak jaman sekarang lebih suka bermanja-manja, minta sesuatu yang berlebihan kepada orangtua, tidak mau sekolah tinggi walaupun sudah dikasih biaya. Tapi ini tidak, RKS menawarkan hikmah perjuangan seseorang dalam menggapai masa depannya. Penuh onak dan duri, namun semua itu dilaluinya dengan sabar. RKS novel yang sangat bagus dibaca bagi kalangan muda mudi yang jiwanya masih labil, lebih banyak mengikuti nafsunya dan menuruti kawan-kawan yang telah jauh dari agama dan adat istiadat minangkabau.

Alur cerita RKS sangat menarik, mampu menggugah pembaca untuk insaf bagi yang terlena dengan indahnya kehidupan dunia—mereka tidak sadar bahwa semua itu kalau tidak cepat diatasi akan membawa kita ke lembah kebinasaan. Dan juga setiap peristiwa yang menimpa Fikri dilalui dengan hati yang tabah, sabar, bertawakal kepada Allah SWT, sungguh hati anak muda yang bersih dan kuat imannya. Kita lihat realita saat ini, ketika menghadapi masalah orang sering lari kepada benda-benda haram, seperti minuman-minuman yang memabukkan, narkoba, narkotika dan lain-lain.

Fikri yang sangat santun kepada ibu bapaknya, sangat akur dengan saudaranya walaupun adiknya dua orang tapi yang sering berkomunikasi itu hanya Annisa, karena Rahmah (kakak Annisa) tinggal jauh dan komunikasi terputus. Di kala itu alat komunikasi belum marak dan alamat surat Rahmah tidak dimiliki Fikri. Hal ini membuat saya sangat rindu kepada ibu bapak saya yang kebetulan juga tinggal jauh di kampung, dan saudara-saudara saya juga jauh dirantau orang. Saya sangat sedih ketika ayah dan ibu Fikri diceritakan meninggal dunia. Saya terbayang jika ini semua terjadi pada diri saya mungkin saya tidak akan sanggup hidup sebatang kara. Saya juga teringat selama ini saya tidak bisa mandiri, hidup sangat tergantung kepada orangtua, saya rasa saya sangat durhaka, menyiksa kedua orangtua dengan meminta uangnya, minta apa yang saya inginkan kepada mereka. Betapa berat pemikirannya terkuras bila tiap minggu saya pulang minta uang jajan, uang kost, buat beli ini-itu, dan lainnya. Uang yang diberi ibu bukanlah buat beli sesuatu yang bermanfaat, tapi saya tega menghambur-hamburkan uang demi keingginan yang saya beli. Belum lagi korupsi, minta uang lebih dibilang untuk buat tugas, beli buku, dll. Tapi itu semua hanya omong kosong, saya pergi buat beli barang-barang yang sebenarnya tidaklah saya butuhkan.

Setelah saya membaca novel yang sangat berharga dalam hidupku ini, membuat saya sadar ternyata saya sangat kejam dengan ibu dan ayah. Pagi-pagi saya buru-buru pulang minta maaf kepada beliau, saya benar-benar menyesal memperlakukan beliau seperti itu. Saya bertekad ingin seperti Fikri yang mampu hidup mandiri tanpa bantuan orangtuanya, hanya doa yang tak henti-hentinya buat anaknya hingga ajal menjemput mereka. Tapi Fikri bisa berhasil dengan jerih payahnya, ada niat dan tekadnya yang kuat ingin menjadi orang yang sukses dikemudian hari. Alhamdulillah, Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya. Fikri pandai bergaul dengan orang banyak, anak yang tidak sombong, baik budinya, sangat mencerminkan seorang hamba Allah yang benar-benar menganut ajaran Islam dengan baik.

Begitu juga bagaimana cintanya dengan Rahima yang sangat terjaga dan berlandaskan Islam yang kuat, tidak senonoh dengan perempuan, saya pikir itu juga sangat langka kita temukan pada jaman modern sekarang ini. Apalagi orang lebih banyak suka dengan kehidupan kebarat-baratan (westernisasi), pergaulan muda mudi sekarang bisa dikatakan sangat bebas, tidak bisa lagi menjaga silsilah minang adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Adat mamakai syara’ mangatokan. Saya sangat sedih dengan Rahima yang juga harus menderita atas perlakuan kakaknya Ningsih yang mengharuskan ia menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Dia juga ditinggal mati ibunya. Ayahnya juga sudah tidak ada. Anak seorang wanita yang berhati lembut seharusnya diperlakukan dengan lembut pula oleh kakaknya. Tetapi ini tidaklah demikian, kakaknya hanya melihat pangkat dari seseorang sebagai calon suami Rahima, Ningsih tidaklah sadar dia masukkan adiknya itu ke mulut harimau. Hingga adiknya menderita selama menikah dengan suami pilihan Ningsih, walaupun ibu Rahima tidaklah setuju jika Rahima harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Ini pelajaran bagi orangtua, kakak kepada adiknya atau seorang perempuan yang ingin mencari jodoh. Janganlah lihat seseorang dari tampangnya, tapi cinta itu di hati, maka lihatlah hatinya. Sang motivator Mario Teguh mengatakan, “tebarkanlah cinta Anda kepada semua orang, janganlah mencari kecocokan dulu baru cinta, tapi taburkanlah cinta dulu baru timbulnya rasa kecocokan antara kedua belah pihak”.

Kita lihat yang terjadi pada diri Rahima dan Fikri, mereka saling mencintai sampai ajal menjeput. Tapi sebagai salah seorang kakak tidaklah baik bersikap seperti itu kepada adiknya, memisahkan mereka, sampai ibu mereka ikut menjadi korban melihat tingkah laku anaknya, Ningsih. Jujur, saya mungkin tidaklah sanggup harus menghadapi realita demikian. Ini kisah yang sangat mengharubirukan perasaan. Saya hanyut dalam kisahnya, serasa saya benar-benar berada dalam cerita tersebut. Fikri adalah orang yang baik budinya, baik akhlaknya, hanya saja dia terlahir dari keluarga miskin dipandang sebelah mata sama orang banyak. Tapi Fikri tidak pernah putus asa dalam mengapai cita-citanya, dia terus berjuang, walaupun tanpa ada ayah dan ibu yang mendampinginya disaat dia wisuda. Sementara semua kawan-kawannya bahagia ada ayah dan ibu yang mendampinginya, ada sanak famili yang datang menghadiri keberhasilan anaknya. Tapi Fikri tidak, wisuda sarjana tanpa ada seorang pun sanak famili yang datang kecuali orangtua angkat yang dia miliki, Bu Rohana dan Pak Usman. Ini sangatlah membuat airmata saya jatuh, tanpa saya sadari. Saya dapat merasakan jika waktu wisuda nanti, saya juga tidak didampingi keluarga saya, betapa hancurnya dan sakitnya beban yang harus saya tanggung. Apalagi waktu menulis ini saya dengar kedua orangtua saya sedang sakit. Saya takut mereka juga meninggalkan saya nantinya, saya hanya bisa memohon kepada Allah panjangkan umur mereka. Saya ingin membalas jasa kedua orangtua dan abang saya yang juga ikut membantu saya sekolah. Dia rela berhenti sekolah demi saya dapat terus sekolah dan menggapai cita-cita. Dan juga mau jadi penulis seperti Fikri.

Saya sangat terkejut, dan bersyukur sekali ketika tulisan Fikri diterbitkan dan ia diminta ke Jakarta, ketika di sana Allah memberi kebahagiaan kepadanya. Sebanyak itu nasib yang harus ditanggungkannya mulai dari ayahnya meninggal, mencari mamaknya di Kampung Kajai, sampai di sana juga harus menanggung fitnah oleh pemuda kampung yang iri kepadanya dan hendak mencelakakan dirinya. Sejak itu dia putuskan hijrah ke Padang. Ketika baru sampai di Padang dia ditikam oleh pencopet ketika hendak menyelamatkan seorang gadis yang akan dicopet, tetapi dirinya yang ikut menjadi korban. Sampai dia harus dirawat di rumah sakit beberapa hari lamanya, ketika itulah Allah mempertemukannya lagi dengan Bu Aisyah yang bertemu sebelumnya ketika ia naik bus dari Aceh hendak ke Pasaman. Ternyata, yang ditolong Fikri adalah anak gadis Bu Aisyah yaitu Rahima.

Setelah tinggal di Padang, tak berapa lama dia dapat kabar dari adiknya Annisa di Aceh bahwa ibunya telah meninggal dunia. Ayahnya meninggal sebelum dia merantau. Sejak itulah Fikri menjadi anak yatim piatu, hanya adik yang dia punya jauh di kampungnya. Luka belum lagi sembuh, terdengar juga kabar bahwa terjadi tsunami di Aceh, adik yang ia sayangi tinggal di Aceh bersama suami dan anaknya. Keluarga adiknya itu turut disapu tsunami. Fikri hilang akalnya, hanya Yusuflah sahabat dekatnya waktu di Kajai menyusulnya ke Padang, yang selalu berada di sisi Fikri dan selalu menghibur dan memberi motivasi kepadanya saat dia lagi dirundung kesedihan yang silih berganti.

Dia  yang telah lama rindu kampung halamannya, ingin juga jadi relawan untuk pergi ke Aceh sekaligus ingin melihat keadaan adiknya apa masih hidup atau ikut jadi korban tsunami. Sudah lama mencari adiknya, suatu hari di sebuah posko mendengar ada yang nama Annisa ternyata benar, Annisa masih hidup tapi napasnya sudah tersenggal, tidaklah dapat dokter menolongnya karena Allah sudah berkehendak lain. Akhirnya Annisa meninggal dunia. Sejak itu Fikri shock dan tidak henti-hentinya panas badannya, semakin meninggu, menanggung derita yang tak berkesudahan. Ketika sampai di Padang, ternyata Rahima juga mau dijodohkan kakaknya dengan laki-laki berpangkat di Jakarta. Apalah daya seorang anak muda yang sudah sebatang kara, dia hanya bisa pasrah menerima takdir.

Di balik derita yang dia tanggung, ada  rahasia Allah yang sungguh merobah jalan hidupnya. Bakat menulisnya berkembang dan melahirkan banyak karangan. Novelnya diterbitkan. Dia diminta datang ke Jakarta untuk beberapa hari tinggal di hotel mewah, ada juga pendamping yang selalu menemaninya kemana pun dia pergi. Fikri terkejut ketika melihat chek yang ditandatangganinya senilai Rp30 juta, uang royalti bukunya. Sungguh gembiralah hati Fikri. Dalam pikirannya ternyata ada kesempatan bagi dia untuk bisa melanjutkan cita-citanya. Dia ingin kuliah. Tapi selama ini terkendala dengan dana buat kuliah. Dan akhirnya dia menjadi sarjana.

Dengan keberhasilannya itu dia pindah ke Bukittinggi di negeri yang dia sukai alamnya. Akhirnya dia minta izin kepada Bu Rohana dan Pak Usman yang menjadi orangtua angkatnya dan tempat dia tinggal selama ini bersama sahabatnya Yusuf. Dengan berat hati Bu Rohana dan Pak Usman melepaskannya. Fikri mencari rumah di Birugo, tempat dia mengembangkan hasil karyanya. Dia dapat telepon lagi dari penerbit karena novelnya mau difilmkan. Tersebarlah berita bahwa ada film baru yang akan ditayangkan dan kabar itu sampai ke telinga Rahima serta Ningsih. Walaupun Rahima kini telah jadi milik orang, tanpa sepengetahuan Fikri bahwa Rahima sebenarnya sudah menjanda karena suaminya telah mati di sel karena bunuh diri sebab melenyapkan uang perusahaan.

Waktu itulah Fikri melihat Rahima tapi Rahima hanya menunduk saja. Ningsih yang banyak berbicara dengannya. Semenjak pertemuan itu Fikri pulang ke Bukittingi, dia bersikap aneh membuat Yusuf bertanya-tanya apa yang sudah terjadi dengan sahabatnya. Fikri hanya banyak mengurung diri di kamarnya. Akhirnya setelah didesak Fikri kemudian bercerita juga. Besoknya ia dapat surat dari Ningsih yang menyatakan bahwa Rahima sedang sakit keras dan minta Fikri dapat menjenguknya ke Jakarta. Mendengar kabar itu Fikri langsung berangkat ke Jakarta menemui Rahima. Sesampai di sana Fikri melihat Rahima tidak lagi berdaya, kurus tubuhnya dan wajahnya semakin pucat. Dia juga terus mengigau memanggil nama Fikri. Ketika sadar Rahima melihat ada Fikri di sampingnya, membuat Rahima kembali pada dirinya.

Ningsih sudah insaf dan meminta maaf kepada Fikri. Dia ingin pulang ke Padang sekalian menziarahi kuburan ibunya, maka mereka berangkatlah ke Padang. Fikri, Rahima ikut serta. Malang yang tidak dapat dielakkan, terjadilah bencana, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Yusuf mendengar kabar itu langsung menuju ke bandara, dilihatnya di papan pengumuman bahwa ada nama Fikri dan Rahima mengalami luka parah sedangkan Ningsih dan suaminya meninggal dunia.

Sebelum berangkat ke Jakarta Fikri pernah berpesan kepada Yusuf agar mencari rumah di Koto Baru yang berada di kaki gunung Singgalang. Waktu terbaring di rumah sakit sempat Fikri menanyakan perihal rumah itu kepada Yusuf. Rumah yang diinginkan Fikri telah dapat, Rahima sudah sembuh sedangkan Fikri meminta pulang ke rumah barunya di Koto Baru. Dia berwasiat agar Yusuf mau menikah dengan Rahima, karena dia tidak akan lama lagi hidup. Rahima kini juga sudah sebatang kara, Fikri minta agar sahabatnya itu melindunginya sepeninggalnya nanti.  Di hari ajalnya masih sempatlah dia melihat sahabatnya Yusuf dan Rahima bersanding di depan penggulu. Ketika itulah rinai kabut Singgalang turun, hari yang sangat menyedihkan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.

Novel ini sarat nilai moral dan nasihat agama. Selayaknya novel ini menjadi bacaan wajib generasi muda hari ini di tengah semaraknya kehidupan hedonis yang nyaris tak lagi mempedulikan soal nilai dan etika. RKS memberi pencerahan kepada siapa saja yang membacanya, dan sangat layak difilmkan. Semoga. []

Penulis mahasiswi Universitas Muhammadiyah sumatera Barat (UMSB) Kauman Padangpanjang.

Dimuat di: http://korandigital.com/?pg=articles&article=15053

PESAN SEGERA NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG:
Caranya: Hubungi nomor 0819 9351 6937 atau 0813 7444 2075. Harga buku Rp 48.000/eks (ditambah ongkos kirim). Uang pembelian ditransfer ke rekening: BNI Cabang Bukittinggi No Rek. 0207005426, a.n. Fitri Kumala Sari. Add juga facebook Rinai Kabut Singgalang di rinaikabutsinggalang@yahoo.com atau rahimaintermedia@yahoo.com. Salam
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar