Rabu, 17 Agustus 2011

“Kabut” dalam Rinai Kabut Singgalang

Oleh Halim Mubary

Hidup adalah perjalanan panjang yang akhirnya berhenti di sebuah terminal kehidupan. Dalam sebuah perjalanan yang panjang, biasanya seseorang sering menemukan sebuah nasib yang terkadang tidak sejalan dengan cita-cita dan keinginan. Banyak benturan yang mengiringi setiap langkah yang didapatkan pada setiap tikungan. Seperti halnya yang dialami Fikri, tokoh utama dalam Novel Rinai Kabut Singgalang (RKS). Bahwa Fikri harus berangkat ke Padang begitu menerima kabar ayahnya meninggal dunia.

Lalu, dengan menumpangi bus, Fikri memulai babak demi babak baru dalam kehidupannya. Meninggalkan sebuah kawasan pesisir Utara Aceh, tempat di mana dia dibesarkan, bermimpi, dan ingin membangun keluarganya seindah mungkin. Namun, kenyataan yang dihadapi Fikri malah sangat kontras dengan keinginannya.

Membaca novel ini, kita seakan diajak oleh penulisnya untuk terus berjalan di atas duka lara yang tak bertepi. Fikri dengan kebimbangannya dan setengah putus asa lantaran begitu banyak problem hidup yang mesti diurainya, benar-benar menghadapi ujian berat. Pembaca juga terkadang diajak untuk mendengarkan petuah-petuah yang terkadang terasa membosankan. Simak misalnya saat Fikri berada di rumah Mak Tuo dan Mak Bujang. “Lambat benar makanmu Fikri. Apa kurang sedap makanan Mak Tuo?” tanya perempuan tua itu membuyarkan lamunan Fikri. Sejak tadi dipandangnya anak muda yang duduk kurang bergairah di hadapannya. Tapi dia maklum tentang apa yang terjadi pada diri anak muda yang malang itu.

“Sangat enak masakan Mak Tuo, hanya saja kepala saya sedikit berat, mungkin terlalu lelah sejak di perjalanan kemarin,” ujar Fikri. Diusahakannya segera menghabiskan makanan di piringnya itu.

“Tambahlah, di kampung ini udara dingin, sering cepat lapar jika tidak makan banyak, kata Mak Bujang pula yang duduk disampingnya. Sesaat kemudian, diantara mereka tidak ada yang bersuara. Sibuk dengan pikiran dan makanan masing-masing. Hanya seekor cicak di sudut ruangan rumah gadang itu yang mengeluarkan suara khasnya. Sementara di luar rumah jangkrik malam terdengar berisik (hal: 68).

Betapa pembaca seolah-olah diajak untuk mengenal suasana malam kembali. Misalnya ada cicak di dinding dan suara jangkrik yang berisik. mestinya, penulis tidak perlu lagi menjelaskan hal-hal yang sudah klise dikenal pembaca seperti itu. Juga dengan petuah, kalau tak makan banyak, maka cepat lapar.

Hingga di sini, penulisnya seperti kurang memerhatikan dialog yang mestinya bisa lebih berkembang ke hal-hal yang bernas dan tidak menjemukan. Misalnya pada gerak tubuh Mak Tuo dan raut wajahnya. Biasanya, orang lebih suka terhipnotis dengan alur cerita yang berjenjang. Artinya, setiap sub judul mengalami kesinambungan cerita yang tidak perlu beralur. Karena, secara non verbal pun, kalau penceritanya piawai dalam melukiskan bahasa tubuh dan isyarat, maka akan memberikan efek dramatis yang tidak terlalu mengungkung alur cerita yang lebih banyak bercerita dengan dialog.

Kecuali itu, yang membuat cerita ini sedikit mengganggu ketika tokoh Yusuf yang tiba-tiba hadir dalam cerita. Dalam prolog, penulisnya sama sekali tidak memberitahukan kepada pembaca siapa si “aku” itu. Namun, dalam perjalanan cerita, tokoh Yusuf masuk dalam bagian-bagian cerita. Terkadang tokoh “aku” ini juga suka usil menasehati pembaca secara berlebihan. Lain soal, jika si “aku” memang tokoh utama cerita, mungkin akan lain halnya jika “aku” diberi peran lebih, karena dengan sendirinya dia akan terlibat langsung di dalam cerita.

Oke, katakanlah si “aku” Yusuf adalah representasi dari penulisnya sendiri, yang mungkin bisa menjadi “serba tahu” tentang hal-hal remeh temeh di dalam cerita. Namun celakanya, si “aku” malah bukan sekadar tahu, namun malah kerap hadir sebagai pengadil atau tukang ramal yang suka “usil” untuk memberitahukan pembaca. Baru di akhir cerita (epilog), penulis membuka siapa sebenarnya tokoh “aku” diawal cerita yang tak lain adalah Yusuf.

Namun, terlepas dari sejumlah kekurangan yang ada dalam novel karya perdana Muhammad Subhan ini, RKS layak untuk dibaca dan telah menambah deretan penulis Aceh. Muhammad Subhan juga secara berani telah mampu mengingatkan pembaca akan pentingnya arti sebuah uangkapan cinta, dan membuang jauh-jauh perasaan dendam di hati!

*) Dimuat di Tabloid Narit, Aceh, Edisi Juli 2011.

PESAN SEGERA NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG:
Caranya: Hubungi nomor 0819 9351 6937 atau 0813 7444 2075. Harga buku Rp 48.000/eks (ditambah ongkos kirim). Uang pembelian ditransfer ke rekening: BNI Cabang Bukittinggi No Rek. 0207005426, a.n. Fitri Kumala Sari. Add juga facebook Rinai Kabut Singgalang di rinaikabutsinggalang@yahoo.com atau rahimaintermedia@yahoo.com. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar