Padang Panjang (Singgalang) - Tahun 2011
menjadi masa yang paling menyibukkan bagi Muhammad Subhan. Hari ini saja, Sabtu
(3/12/2011), dia sedang berada di Malaysia bersama para pemenang
Lomba Cipta Puisi Padang 2011. Sudah tiga hari dia berada di negeri jiran itu. Subhan
bukan pemenang, dia adalah salah seorang dewan juri pada lomba yang
diselenggarakan Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang.
Kendati sebelumnya juga kerap jadi narasumber pada berbagai
pelatihan jurnalistik, ditambah aktivitas menulis essai, puisi dan karya sastra
lainnya, maka sejak novel perdana yang ditulisnya, Rinai Kabut Singgalang (RKS) beredar di pasaran mulai Januari 2011,
permintaan untuk tampil di berbagai iven kepenulisan dan kesusastraan pun
meluncur deras. Sementara aktivitas rutinnya, sebagai salah seorang pengelola
Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, tetap
harus dijalani setiap hari.
Bila Anda telah membaca hingga tamat novel Rinai Kabut Singgalang yang membawa gaya penulisan sastrawan
besar Prof. Dr. Hamka, emosi Anda pasti turun naik. Terkadang Anda akan haru, hanyut
dalam penderitaan lakon dalam kisah itu. Tapi di saat lain, Anda akan iba, marah,
dan tersenyum. Itulah kisah perjalanan hidup seorang anak manusia yang dikemas
dengan bahasa khas Muhammad Subhan.
“Saya penggemar tulisan Hamka. Buku-buku karya beliau saya
baca, dalami dan koleksi. Bahasa Hamka itu indah. Saya tak ingin larut dalam
gaya berbahasa anak zaman sekarang yang justru banyak merusak Bahasa Indonesia
itu sendiri,” tutur Subhan yang kini menjabat Sekretaris Umum Persatuan Pewarta
Warga Indonesia (PPWI) Cabang Kota Padang Panjang itu, dalam suatu percakapan
dengan Singgalang dan pewarta-indonesia.com di Padang Panjang.
Nah, habis membaca novel Rinai
Kabut Singgalang, silakan pula Anda baca riwayat hidup Subhan. Ada banyak sisi persamaan.
Sebagian besar kisah dalam novel itu, sesungguhnya adalah perjalanan hidup sang
penulis yang diaplikasikannya dalam karya sastra berbentuk novel.
Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah
sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia jurnalistik. Kendati
sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang jurnalis tidak akan mampu membuat
dia jadi kaya dari kaca mata kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu
media ke media lain. Lebih delapan tahun dia melanglangbuana di dunia
jurnalistik, hidupnya memang biasa-biasa saja dan ‘tetap miskin.’
“Empat tahun lamanya saya berjalan kaki memburu berita. Tak
punya sepeda motor, alat komunikasi, apalagi komputer. Gaji yang diterima hanya
pas-pasan. Empat tahun kemudian barulah kehidupan yang dijalani sedikit membaik,”
tuturnya.
Menjadi penulis, sebenarnya telah dilakoni lelaki kelahiran Medan, 3 Desember 1980
blasteran Minang-Aceh itu. Ketika masih Kelas II SMP, dia sudah memprakarsai
sekaligus mengelola majalah dinding (mading) sekolahnya. Begitu juga ketika dia
menanjak ke bangku SMA di Aceh Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai
‘petualangan’ di Kota Padang.
Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan
hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang pekerja
kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke
rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya cukup untuk sehari makan dan
menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kendati agak mendingan, namun
Subhan mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri. Maklum,
para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan yang layak, baik
dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.
Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke
dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin musala, mengajar
di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis dan menyandang
‘status’ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM) Gelora terbitan Padang.
Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM Gelora
ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang
dan beberapa SKM lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar
Harian (SKH) Mimbar Minang. Dua tahun
kemudian, Subhan harus berpindah ke media lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan sekarang sudah
tidak terbit lagi.
Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat melanglangbuana pula di dunia jurnalisme
radio. Dia menjadi penyiar di beberapa radio swasta di Padang
sekaligus koresponden Radio El Shinta,
Jakarta.
Pengakuan Subhan, Selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistiknya terasah.
Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa
kali kunjungan presiden dan wakil presiden serta menteri-menteri ke Sumatera
Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi
menghantarkannya menjadi fotografer Haluan
selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat
berbagai persoalaan human interest
masyarakat kelas grassroot membuat
namanya cepat dikenal.
Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan Ia ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan
diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda) Haluan
di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di kota itu pulalah ia
mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui
internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia.
Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan Ia dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) yang
berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga
sempat menerima penghargaan sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI.
Hingga sekarang, tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online
milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu.
Memang, Subhan bukan siapa-siapa. Dia hanya wartawan muda
biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi
wartawan sejati seumur hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia
panjangkan "Wakil Rakyat Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk
menyuarakan kepentingan orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh
keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa.
Hidup terus berputar, kata orang bijak. Begitulah yang juga
dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen,
essai dan artikel yang tersebar di sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan
hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya
menjadi motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya
tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.
Rinai Kabut Singgalang
merupakan novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak
sedikit suka dan duka yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk
mendapatkan penerbit saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan
tekadnya yang kuat, ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel
setebal 396 halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan
oleh Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta.
[]
(MUSRIADI MUSANIF, Harian Umum Singgalang Padang, Sabtu 3 Desember 2011
dibawah judul “Subhan, Obsesi Menjelajah Dunia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar