Senin, 22 Agustus 2011

Apa Kabar Sastra Indonesia?

Website Harian Haluan Padang

Oleh Fadlillah Malin Sutan

Apa Kabar?

Sebuah sapaan yang ramah, bersahabat dan umum, “Apa kabar sastra Indonesia?” Pada sisi lain, seakan sudah lama tidak berjumpa, atau sesaat, satu waktu kita bertemu, tidak lagi dekat, tidak lagi akrab, sehingga kita ingin tahu kabar beritanya. Seandainya sastra Indonesia itu adalah orang maka tentu ia akan menjawab; “Baik-baik saja” atau dia menjawab, “Waduh, aku sedang sakit perut”.

Tetapi, sastra Indo­nesia itu bukan orang, dia adalah karya manusia. Dengan demikian hal ini,  tentu, keinginan untuk mengetahui situasi, realitas dan gejala perkembangan sastra Indonesia hari ini. Kalau kita mena­nyakan bagaimana masa depan­nya, jawabannya; “kita tidak tahu dengan pasti”, (sebagai muslim “wallahu a’lam”. Namun, masa depan hanya dapat diprediksi (diperkirakan secara pengetahuan) dengan fakta  yang ada pada hari ini, dan tentu akan beragam (pro­ba­biltas).

Dari pertanyaan itu, sudah menyiratkan ada fakta di dalam­nya bahwa sastra Indonesia itu berkembang, tumbuh, dan bukanlah benda mati, yang hanya; “itu ke itu saja dari tahun ke tahun”. Salah satu yang dapat diperbincangkan, apakah per­kembangan, pertumbuhannya pesat, jalan di tempat, atau malah mundur ke belakang (di masa HB Jassin; diperbin­cangan sastra Indonesia dalam krisis, dan pada tahun 90-an sastra Indonesia dikatakan tidak melahirkan karya besar, maka ketika akhir 90-an, hadir novel Saman, maka disambut dengan begitu “sangat hebat” oleh sebagian kalangan).

Pada hakekatnya, tidak ada jawaban yang tunggal. Selayak­nya, tidak ada jawaban paling benar, relatif, yang ada hanya kemungkinan. Pada sisi lain ada kritikus mengatakan bahwa dunia sastra adalah dunia mungkin bukan dunia mutlak. Dunia mungkin merupakan dunia kreatif, sedangkan di dunia mutlak (dunia pasti – ilmu pasti misalnya, atau dogma agama) bukan dunia kreatif, sudah final, dan kaku seperti mesin atau robot.

Sesudah “Gempa dan Tsunami Sastra” Berlalu

Di setiap zaman lahir generasi, setiap generasi mem­bangun zamannya dengan tangannya sendiri. Begitulah zaman berganti, maka bagai­mana sastra Indonesia hari ini, ditentukan oleh generasi kema­ren, sedangkan bagaimana sastra Indonesia di masa depan ditentukan oleh generasi hari ini. Patah tumbuh hilang berganti, demikian bunyi pepatah Minang.

Takdir sastra Indonesia berada di tangan para sastrawan dan pencinta sastra Indonesia. Sebagaimana diketahui (Q.S.13:11), bahwa sesungguhnya Tuhan sendiri tidak merobah nasib sesuatu kaum sehingga mereka mero­bah keadaan diri mereka sendiri, atau sebab-sebab kemunduran mereka. Akan mereka bawa ke mana, tentu sesuai dengan ideologi, paham, pengetahuan dan kehendak masing-masing mereka yang sangat beragam, multikultur dan pluralis.

Apa lagi dalam dunia mul­tikultur dan plural, maka tidak jujur bila hanya menghadirkan nilai tunggal apalagi berkuasa dan memaksa. Bila ada sastra tidak diterima oleh satu kala­ngan karena disebabkan perbe­daan nilai maka adalah sesuatu yang wajar, yang tidak wajar adalah memaksakan nilai kepada satu kalangan atau semua kalangan.

Sebagaimana dalam satu dekade ini, seperti kasus Sastra Mazhab Selangkang (SMS), pada awalnya adalah gelom­bang Ayu Utami pada akhir 90-an, dan kedua awal tahun 2000-an gelombang Djenar Maesa Ayu dan Binhad Nur­roh­mat, setelah itu ketiga oleh gelombang Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin, sehingga Taufiq Ismail pun meradang dan menerjang. Taufiq Ismail sebagai sastrawan tidak berdaya apa-apa begitu juga NH. Dini (yang merasa tidak sanggup untuk membaca karya-karya itu), demikian pula Budi Darma yang begitu keheranan.

Banyak orang memperki­rakan masa depan sastra Indo­nesia berada di tangan ketiga gelombang itu. Namun ada fenomena yang menarik dari fenomena itu,  dapat diper­hatikan, bagaimana ketiga gelombang itu jadi sepi begitu saja oleh hadirnya hiruk pikuk gelombang Habiburrahman El Shirazy,  Andrea Hirata dan Es Ito. Hal ini membuktikan tidak ada yang pasti tidak ada fenomena yang tunggal. Di atas langit ada langit, di balik gunung ada gunung yang tinggi lagi, banyak hal yang tak terduga di rimba “persilatan” sastra.

Adapun kondisi sastra Indonesia pada waktu ini adalah dalam kondisi “gamang” dari benturan lempeng bumi sastra Indonesia yang menim­bulkan “gempa dan tsunami sastra”. Adapun yang dapat dicatat, bahwa sastra Indonesia yang multikultur dan plural itu hadir dalam lapisan-lapisan dan lempeng, semua bergerak, dan tidak dapat dihindari tentu akan ada pergeseran, benturan, bertemunya tekanan-tekanan. Bukan tidak mungkin ada lapisan  terhimpit, terbenam, ada yang bergerak ke atas dan ada yang bergerak ke bawah.

Dalam dua gelombang lempeng yang berbenturan itu, bukan berarti yang ada pada sastra Indonesia hanya itu, cukup banyak juga karya-karya yang bertumbuhan. Namun bagaimana mutu  karya sastra itu? Pertama persoalan ini dijawab oleh kritikus sastra dalam dekade ini, kedua diten­tukan kemampuan karya itu menembus zaman, yakni dibica­rakan atau ditelaah orang  di setiap zaman, ketiga karya itu menjadi inspirasi bagi banyak sastrawan untuk melahirkan karya sastra.

Dalam persoalan mutu atau kualitas dalam dunia sastra tidaklah tunggal, relatif dan beragam, bahkan aneh sekali ada penilaian tunggal dan mutlak, bahkan memaksakan penilaian. Di samping itu mungkin ada karya yang tidak dibicarakan orang, dianggap tidak hebat, setahun dua tahun bahkan lima tahun, tiba-tiba setelah sepuluh tahun baru orang ramai membicarakan bahwa karya itu bagus. Adapun salah satu barometer perkem­bangan sastra Indonesia hari ini adalah  koran, buku, komu­nitas dan dunia maya.

Di dunia akademis zaman keemasan teori sastra struktural sudah mulai berakhir, karena dia merupakan anak dari dunia ilmiah modern. Dalam sepuluh tahun ini dunia ilmiah modern sudah mulai digantikan oleh dunia ilmiah pos-modern, maka teori sastra struktural, herme­neutik, feminisme sudah mulai digantikan teori-teori pos-struktural seperti dekonstruksi, resepsi sastra, semiotik, inter­teks, pos-sosiologi sastra, dan chaos. Di samping dunia teori sastra yang bukan Eropa mulai menggeliat, hal itu dapat dite­mukan adanya teori sastra Afrika, teori sastra India, dan teori sastra Cina, hal ini dalam semangat teori pos-kolonial.

Teori sastra Eropa pada prinsipnya telah melakukan kolonisasi teori pada berbagai belahan dunia, termasuk Indo­nesia. Akibatnya banyak sastra yang tumbuh di berbagai bangsa bekas koloni Eropa adalah mimikri dari sastra Eropa. Seandainya karya sastra Indonesia dialihbahasakan kedalam bahasa Inggris, dan dibaca oleh orang  asing maka  bukan tidak mungkin ia menga­takan bahwa karya itu adalah karya Eropa. Novel Eropa yang kebetulan berbahasa Indonesia. Adapun gelombang Sastra Mazhab Selangkang (SMS), menurut Budi Darma (Tempo, Edisi. 44/XXXII/29 Desember – 04 Januari 2004) gejala ini terjadi di mana-mana, dan Indonesia hanyalah sebagian kecil dari “di mana-mana” itu. Di Inggris ada chick literature, di Beijing ada Jiu Dan, di Shanghai ada Wei Hui.

Seperti lagu pop Indonesia jika dialihbahasakan ke bahasa Inggris maka orang akan me­nga­takan bahwa itu adalah lagu Eropa. Mungkin dapat dika­takan lagu pop Indonesia hanyalah lagu Eropa yang berbahasa Indonesia. Berbeda dengan lagu dangdut, ketika dialihkan ke bahasa apa pun, maka orang tahu, karena ada sesuatu yang Indonesia di sana. Hal ini yang menyebabkan ada semangat kembali ke akar tradisi (kalau saya menyebut; kembali ke jatidiri, pada sisi lain saya kurang setuju dengan istilah kearifan lokal, sebaiknya diganti dengan istilah kearifan Indonesia) pada tahun 70-an. Ketika novel Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke bahasa apa pun, maka orang pun tahu bahwa “itu Indonesia”, begitu juga novel Bako, Tarian Bumi, Orang-orang Blanti, Tambo, dll.

Untuk perkembangan sastra generasi Minangkabau, pernah saya petakan (Padang Ekspress, 2 Januari 2011, hal 13), dalam hal ini saya belum sependapat menyebut istilah sastra kampus akan tetapi saya mengusulkan istilah;  sastra yang tumbuh di ranah Minang dan sastra yang tumbuh di ranah rantau. Mereka yang tumbuh di ranah Minangkabau dalam dasawarsa ini antara lain Sondri BS, Muhammad Isa Gautama, Iggoy el Fitra, Zelfeni Wimra, Ragdi F. Daye (Perempuan Bawang dan  Lelaki Kayu), Azwar Sutan Malaka, Esha Tegar Putra, Romi Zarman, Deddy Arsya, Pinto Anugrah, Anda S. C. H. Yurma. Ramoun Apta, Fariq Alfaruqi, Saiful A. Imam (Bidadari Padri), Muhammad Sholihin (Api Paderi), Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara), Roidah (Love Save Me, Don’t Touch Me!..), Ridjaluddin Shar (Maharaja Diraja Adityawarman Matahari dari Khatulistiwa), Agustar Idris SE (Cindurmato dari Minangkabau). Maya Lestari (Kutukan Pitopang), Ka’bati (Padusi), Muhammad Subhan (Rinai Kabut Singgalang), Sastry Bakri (Kekuatan Cinta, Hatinya Tertinggal Di Gaza), Irzen Hawer (Cinta di Kota Serambi), Elly Delfia (Musim Manggaro), Mahatma Muhammad dan Yori Kayama (Tempurung Teng­kurap), dll..

Kemudian mereka yang di ranah rantau adalah Dewi Sartika, ES Ito (Negara Kelima, Rahasia Meede), Riki Dham­paran Putra, Indrian Koto, Damhuri Muhammad, Raudal Tanjung Banua, dll. Mereka dari kedua ranah itu dapat dikatakan angkatan “generasi sesudah Gus tf Sakai”.

Ada tiga kota sastra di Minangkabau  pada waktu terakhir ini, yakni Padang,  Payakumbuh dan Padang Panjang. Padang dengan tokoh “kakek guru” Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi (almarhum, doa kita untuk beliau) dan  sastrawan Yusrizal KW. Paya­kumbuh dengan sastrawan Gus tf, Iyut Fitra, Adri Sandra. Padang Panjang dengan Taufiq Ismail. Di tiga kota itu hidup beberapa komunitas seperti komunitas Kandang Pedati, Ilalang Senja, komunitas Daun, FLP, juga ada komunitas sastra di Fakultas Sastra Unand, UBH, IAIN, UNP.

Demikianlah, dari fakta tersebut dapat dikatakan per­tum­buhan sastra Indonesia dan pertumbuhan sastrawan dari generasi Minangkabau sedang bertumbuh dengan baik. Me­reka tumbuh dengan swadaya, ibarat tumbuhan maka ia tumbuh bukan di ladang-ladang bangsawan pemerintah atau perkebunan keraton negara tetapi di ladang-ladang penduduk yang sunyi. Mereka tumbuh dengan perjuangan dan segala penderitaan, karena agaknya mungkin mereka yakin masa depan berada di tangan mereka. Barangkali mereka tahu bahwa mutiara, berlian atau emas menjadi berharga adalah melalui tem­paan yang berat. Begitulah, semoga akan menjadi masa depan yang cerah, amien.

Bakda Jumat, 19 Ramadan 1432

*) Makalah diskusi sastra pada Malam Tadarus Puisi 2011, HMJ Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Limau Manih, 19 Agustus 2011 – 20 Ramadhan 1432.

Dipublikasikan di Harian HALUAN Minggu, 21 Agustus 2011, Rubrik Kultur.

Versi Web: http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=7959:apa-kabar-sastra-indonesia&catid=41:kultur&Itemid=155

PESAN SEGERA NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG:
Caranya: Hubungi nomor 0819 9351 6937 atau 0813 7444 2075. Harga buku Rp 48.000/eks (ditambah ongkos kirim). Uang pembelian ditransfer ke rekening: BNI Cabang Bukittinggi No Rek. 0207005426, a.n. Fitri Kumala Sari. Add juga facebook Rinai Kabut Singgalang di rinaikabutsinggalang@yahoo.com atau rahimaintermedia@yahoo.com. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar