Oleh Ubaidilah
Muchtar
Hari ini sungguh menyenangkan. Sejak matahari belum benar
keluar dari tempatnya aku sudah memasuki palataran rumah ini. Ya, di rumah di
Jalan Patehan Wetan No. 3 Yogyakarta . Sebenarnya
harus kusampaikan bahwa kedatanganku sungguh terlambat. Namun kini aku ingin
membagi kisahku ini.
Sehari sebelum kedatanganku ke rumah ini aku masih berada di
ibu kota negara.
Hari kemarin hari Selasa. Hari Selasa tanggal 24 Mei 2011. Pagi ini aku harus
pergi ke Auditorium Ragunan. Ya, orang-orang akan menyebutnya Gelanggang Ragunan.
Hari ini kawanku Daurie Bintang punya acara. Acaranya dihadiri sekira tiga
ratusan mahasiswa calon guru dan mereka yang sudah menjadi guru.
Tiba di
Auditorium Ragunan tampak peserta berjubel di meja pendaftaran. Hari ini hari
kedua mereka mengikuti kegiatan Workshop Guru: Bangkit Guruku, Bangkit
Indonesiaku. Setelah kupijit
nomor telefon suara Mas Daurie memintaku untuk masuk. Di tangga itu Mas Daurie
sudah menunggu.
Di dalam acara
sudah berlangsung. Pemateri dari CCIT Universitas Indonesia sedang memberikan
materi. Aku masuk ruangan itu. Beberapa orang panitia yang masih berstatus
mahasiswa menyambut kami. Kusalami satu persatu. Yang kuingat dari sekian
banyak panitia itu ada Mbak Novi dan Mbak Shofa. Sementara dua pemuda yang
menjadi peserta kuingat bernama Bayu dan David. Juga ada Edward. Sebagian besar
peserta workshop hari ini merupakan mahasiswa dari sebuah universitas di daerah
Pasar Rebo.
Selang dua jam
dari sejak kehadiranku di tempat ini Mas Daurie memasuki pentas. Kini giliran
materi yang akan dia sampaikan. Pernahkah kawan membayangkan sebuah acara
workshop dengan pemateri berambut gondrong mengenakan celana jeans dan berkaus
oblong. Ini memang luar biasa. Dahsyat kukira. Dalam kepalaku pengisia acara
model begini berkemeja necis dan bercelana katun.
Namun tentu saja
akan menjadi salah jika menilai seseorang hanya dari cara berpakaian. Saat
memalukan sekali berpikir demikian. Maka aku tak ingin menilai. Seperti juga
yang diajarkan Mas Daurie kepada para peserta workshop.
Waktu menunjukan pukul
sebelas tepat ketika Mas Daurie memintaku ke depan. Sebelumnya aku duduk di
barisan belakang. Aku diperkenalkan sebagai guru dari pedalaman. Hari ini aku
diminta bercerita tentang aktivitasku sebagai guru. Selain itu tentu saja
aktivitasku di luar urusan mengajar di SMPN Satap 3 Sobang.
Ya, aku diminta
untuk bercerita tentang Taman Baca Multatuli dan kegiatan Reading Group Max
Havelaar. Taman baca yang tentu saja sebagai kawan pernah mendengar atau
membacanya. Taman Baca Multatuli yang berada di kampung yang hingga kini belum
teraliri listrik dan hanya dapat dijangkau dengan sepeda motor.
Di depan para
calon guru dan guru kusampaikan kisahku. Tentu saja seputar bagaimana mengelola
taman baca dan mengurusi Reading Group Max Havelaar. Sebelum memulai berkisah, Mas
Daurie memuta drama Saijah dan Adinda. Drama yang dipentaskan anak-anak Taman Baca Multatuli hari Jumat tanggal 13
Mei yang lalu. Drama dengan proferty kerbau sungguhan. Lalu ada beberapa foto
kegiatan juga ditampilkan.
Kini waktuku
berkisah. Aku berkisah seperti yang kusampaikan di atas. Aku mengawali menjadi
guru di pedalaman Lebak. Di Banten. Membawa beberapa buku dengan boks plastik 60
liter. Lalu menamai Taman Baca Multatuli. Lalu Reading Group Max Havelaar
selama sebelas bulan. Terhitung sejak 23 Maret 2010 hingga 21 Februari 2011. Juga
dilanjutkan dengan Reading Group Saijah dan Adinda berbahasa Sunda selama tiga
bulan (23 Februari 2011-12 April 2011).
Pukul setengah
satu aku selesai berkisah dan bertanya jawab. Para peserta istirahat. Makan dan
minum juga bertemu kekasihnya. Setengah dua Mas Daurie melanjutkan materi
workshop hingga pukul empat. Pukul empat aku berpamitan. Aku sampaikan
permohonan maafku sebab aku pulang lebih awal. Juga rasa terima kasihku sebab
aku bahagia bertemu dengan mereka calon guru dan para guru.
Terima kasihku
untuk Mas Daurie juga panitia. Kuarahkan sepeda motorku ke Terminal Lebak Bulus.
Dari Ragunan hingga ke Terminal Lebak Bulus tiga puluh menit lamanya. Aku
menuju loket nomor 24. Dengan bus Safari Dharma Raya aku menuju rumah ini.
Ya, pukul lima
sore busku meninggalkan Lebak Bulus. Menyusuri jalan tol Jakarta Cikampek yang padat. Keluar Cikampek dalam
hitunganku ada tiga jembatan yang sedang diperbaiki hingga Pamanukan. Pamanukan
kota kelahiranku. Di sana aku dibesarkan. Di rumah makan Taman Sari busku
berhenti. Menuku nasi putih, mi goreng dengan sayuran di dalamnya, sayur lodeh,
dan ayam bakar. Kuhabiskan santapan malamku.
Bus melaju
meninggalkan Pamanukan yang makin menggeliat. Aku tak dapat tidur maka kuputuskan membaca Anne
Frank. Di Brebes macet hebat menghadang laju kendaraan. Aku tak sempat
menghitung jumlah jembatan yang sedang diperbaiki. Juga jalan yang sedang
direnovasi. Namun pak sopir terus berbincang denganku. Aku keluar dari kursi
nomor tujuh tempatku. Kuisi kursi sang kernet yang terlelap di belakang. Di
kursi yang bersebelahan dengan sopir itu aku duduk dan berbincang. Pak sopir
berbahasa Jawa campur Indonesia. Sesekali ia menyodok memasuki jalur berlawanan.
Selepas Brebes
aku tak ingat lagi. Aku tertidur. Di pekalongan aku terbangun kembali dan
tertidur lagi. Pukul tiga tepat aku turun dari bus. Kulihat kami sudah tiba di
Gringsing. Gringsing jika tak salah nama tempatnya. Adanya di Temanggung. Setelah
cuci muka dan minum teh panas. Mobil melaju kembali. Subuh menggema saat bus
memasuki Magelang.
Pukul enam aku
tiba di Terminal Jombor. Melanjutkan perjalanan dengan Trans Jogja nomor 2A
hingga Malioboro. Di Malioboro aku sambung dengan 3A turun di depan SMA 7
Jogjakarta. Kukira Trans Jogja sungguh nyaman. Dengan sekali bayar tiba di
tujuan.
Kususuri jalan di
depan SMA 7 ini. Hingga di sebuah gang aku bertanya alamat rumah ini. Yang
ditanya memberiku petunjuk. Aku harus masuk nanti ketemu Patehan Kidul lalu
lurus saja hingga mentok. Nah, lalu belok kiri di sebelah kanan ada alamat ini.
Kumasuki
pekarangan rumah ini. Sebuah papan nama bertuliskan [I:BOEKOE] INDONESIA BUKU
dengan warna hijau menyambutku. Sebuah gerobak dengan penutup bertuliskan Balai Belajar Bersama Angkringan
Buku di sebalah kanan. Dan sebuah lagi di arah sebaliknya. Pemilik tempat, Mas
Muhidin M Dahlan menyambutku. Ada juga Mbak Diana Sasa di sana juga kawan-kawan
dari Surabaya. Mas Sigit Susanto, Mas Wawan, dan Mas Tommas sedang berjalan
kaki pagi hari. Semalam aku bertelefon dengan Mas Sigit.
Seharusnya aku
tiba di tempat ini pukul tujuh malam. Ya, sebab malam saat aku di bus di I:BOEKOE
sedang berlangsung acara PARADE OBROLAN KARYA, Diskusi 10 Buku dalam Semalam! Kesepuluh
karya yang dibedah malam itu di antaranya 2 novel, 2 kumcer, 1 esai, 3 kumpulan
puisi, dan 2 karya terjemahan.
Kesepuluh karya
tersebut secara berurutan, yaitu novel Rinai Kabut Singgalang, karya Muhamad Subhan dengan pembicara Aguk
Irawan; novel Sak Drajat Coro & Tikus, karya Rahmat Ali dengan pembicara
Yahya TP; kumpulan cerpen Mengawini Ibu, karya Khrisna Pabichara dengan
pembicara Vivi Diani Savitri; kumpulan cerpen Di Bawah Bayang-Bayang Bulan, karya
Gus Noy dengan pembicara Arie Saptajie; esai Asep Sambodja Menulis, karya Asep
Sambodja dengan pembicara Saut Situmorang; kumpulan puisi Festival Bulan
Purnama Trowulan 2010, karya Zawawi, Viddy, Niduparas, Budi, Bayu dkk. dengan
pembicara Saiful Amin Ghofur; kumpulan puisi Rembulan, Matahari dan Bayangan, karya
Urip H.K, Maureen. S dengan pembicara Totok Anindya Barata; kumpulan puisi
Halaman Rumah, karya Yayan Triyansyah dengan pembicara Y Thendra BP; terjemahan
Rahasia Hati Sang Nabi, karya Khalil Gibran, penerjemah Anton Kurnia dengan
pembicara Hamdi Salad; terjemahan The Ninth Anak Kesembilan, karya Verenc
Barnàs, penerjemah Vira Tanka dengan pembicara Wawan Eko Yulianto.
Semua buku yang dibedah
malam itu merupakan buku-buku karya penulis yang tergabung di milis Apresiasi-Sastra
(Apsas). Kegiatan malam ini merupakan kegiatan penutupan dari rangkaian
berbagai kegiatan yang dilaksanakan Apsas. Sebelumnya pada tanggal 13-15 Mei ada acara Sastra
Multatuli di Taman Baca Multatuli. Kemudian pada tanggal 17-23 Mei ada acara
Obrolan Sastra di Pondok Maos Guyub di Kendal. Dan di I:BOEKOE ini merupakan
acara penutupan.
Ah, sayang aku
datang ketika acara enam jam telah usai. Namun kebahagiaanku tentu saja masih
berlimpah. Setelah berbincang sebentar aku izin untuk ikut mandi. Kamar
mandinya bersih dengan bak besar. Di dindingnya terdapat stiker dengan tulisan
BERSIH LEBIH BERBUDAYA dengan ilustrasi seekor burung dengan kepakan sayap
sedang buang kotoran dalam tanda silang merah.
Rumah ini
didominasi dengan buku. Di setiap sudut ada buku. Ya, tentu saja namanya saja
Indonesia Buku. Rumah dengan ruang tengah yang luas dengan cat yang didominasi
warna merah, kuning, hijau, dan biru ini memang cocok dengan nama yang
disandangnya. Bahkan di beberapa kamar bejibun arsip dalam tatanan yang rapi
dan tentu saja membuat iri. Di salah satu bagian ada ruang radio. Ya, radio. Radio
online di Indonesia Buku.
Di salah satu
sudut kami berbincang. Ada aku, Mas Muhidin, dan Mbak Sasa. Empat kursi kayu, empat
kursi jok dengan batang besi tempat kami berbincang. Tak lama berselang Mas
Muhidin mengajak aku bercerita tentang Taman Baca Multatuli dan Reading Group
Max Havelaar di studio Radio Buku, tentu saja.
Pukul setengah
delapan Mas Sigit, Mas Wawan, Mas Tommas kembali sehabis jalan pagi. Kami
berbincang banyak hal. Mulai Multatuli hingga Tolstoy. Dari karya terjemahan
hingga sastrawan yang sungguh-sungguh dalam berkarya. Dari Lekra hingga
kesenian rakyat.
Pukul setengah
dua belas kami berempat pamitan kepada tuan rumah. Aku, Mas Sigit, Mas Wawan, dan
Mas Tommas berjalan menyusuri Patehan hingga Taman Sari. Ya, kami mampir dan
berkeliling keraton Taman Sari. Taman Sari tempat mandi puteri-puteri dan para perameswari. Kami memasuki
ruang demi ruang keraton ini. Menyusuri lekuk demi lekuk lorong denga pentilasi
udara yang baik. Hingga tiba di sebuah sumur selepas melalui lorong yang di
atasnya rumah-rumah warga.
Minum es pisang
ijo setelah keluar dari Taman Sari nikmat sekali. Terik matahari siang ini. Siang
di hari Rabu tanggal 25 Mei 2011 tak menyurutkan langkah kami. Hingga kami tiba
di keraton. Keraton tempat raja Jogjakarta tinggal. Setelah membeli karcis dan
tanda membawa kamera kami mendapatkan seorang abdi dalem yang akan menjadi
pemandu. Aku akan sebut dia Mbah. Mbak membawa kali ke berbagai sisi dari
keraton. Ke tempat-tempat
yang menyimpan berbagai barang milik raja. Juga berbagai pernik aktivitas raja.
Ada koleksi barang-barang Sri Sultan Hamengkubuwono IX hingga pakaian Sri
Sultan Hamengkubuwono X saat dilantik.
Mas Sigit sebab
semalam tak tidur permisi untuk istirahat di depan pendopo yang menyuguhkan
kesenian wayang golek. Kami bertiga berkeliling dengan Mbah sebagai pemandu. Serombongan
pelajar dari SMA 10 Tangerang padat mengisi tiap ruangan. Juga turis
mancanegara. Mbak bercerita. Ia telah tiga puluh tahun mengabdi. Jika di
pemerintahan pangkatnya setingkat bupati. Jika di kepolisian ia letnan kolonel.
Para abdi dalem keraton bekerja dengan penuh cinta meskipun ada yang digaji
hanya dua puluh lima ribu sebulan. Ya, dua puluh lima ribu rupiah saja. Namun
karena rasa cinta yang melekat maka pekerjaan itu menjadi menyenangkan.
Siapa pun dapat menjadi seorang abdi dalem. Mbah berbakaian
lengkap namun tanpa alas kaki. Memang
para abdi dalem saat bertugas tidak mengenakan alas kaki. Pelataran keraton
dilapisi pasir yang sengaja ditaburkan. Para pengunjung harus melepaskan
penutup kepala. Mas Wawan dua kali diingatkan sebab topi putihnya masih melekat
di kepala.
Puas berkeliling
kami menuju tempat Mas Sigit beristirahat. Menunggu sekira sepuluh menit hingga
Mas Sigit terbangun. Kami
menuju alun-alun utara. Semangkuk soto ayam menemani makan siang kami. Kecuali
Mas Wawan yang menikmati pecel.
Kami berpisah di
Malioboro. Mas Sigit dan Mas
Tommas menuju rumah Mas Puthut. Aku dan Mas Wawan melanjutkan berjalan di
trotoar Malioboro yang ramai. Selang dua puluh menit aku dan Mas Wawan berpisah.
Mas Wawan melanjutkan ke Stasiun Tugu yang akan membawanya dengan kereta ke
Malang. Sementara aku menaiki Trans Jogja kembali ke Indonesia Buku.
Ya, saat ini. Saat menulis catatan ini. Aku masih di
Indonesia Buku. Di tempat buku berada. Di tempat yang membuat siapa pun yang datang
akan terperangah dengan kegilaan pengelolanya. Kegilaannya terhadap buku. Aku
akan kembali saat malam menjelang nanti. Salam malam.
Patehan, 25 Mei 2011, Pukul 16.00
Sumber: http://indonesiabuku.com/?p=9594
Tidak ada komentar:
Posting Komentar