Sabtu, 24 Desember 2011

Sastra untuk Siapa?

-->
Oleh Halim Mubary

Peran media cetak seperti koran dan majalah yang terbit di Aceh, saya pikir memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi perkembangan sastra di Aceh, khususnya prosa dan puisi. Tak dapat dipungkiri, tanpa peran koran yang menyediakan halaman seni dan budaya yang di dalamnya menyediakan rubrik cerpen, puisi, esai, dan resensi buku, mustahil rasanya bisa menjaring banyak penulis muda berbakat. Pun lahirnya sejumlah komunitas seni dan sekolah menulis, juga memberika andil besar dalam mencetak penulis muda. Gemasastrin FKIP Unsyiah juga menjadi miniatur tersendiri dalam menyumbangkan sumber daya sastra di Aceh dalam kurun waktu satu dekade tarakhir.

Namun, perkembangan sastra (prosa dan puisi) yang sempat menjadi booming ketika Aceh berada dalam masa rahab-rekons—di mana sejumlah penulis berhasil mengikat diri dengan sejumlah penerbit buku, sehingga para penulis tidak lagi menyimpan naskah dokumennya hanya dalam flashdisk maupun computer. Kehadiran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang lahir akibat bencana tsunami pada 2005, paling tidak tercatat sebagai penyumbang terbanyak dalam menerbitkan sejumlah buku penulis Aceh berupa novel, antologi puisi, dan cerpen.  

Gelontoran dana yang besar dari donasi penjuru dunia, memang untuk menerbitkan belasan buku sastra bukanlah hal yang merisaukan jika, diukur dari sumbang sih lembaga setingkat kementerian itu dalam membangun sebuah karakter gemar menulis di kalangan pegiat seni sastra di Aceh. Dan atas dukungan BRR pula, pada 2006, lembaga pimpinan Kuntoro Mangkusubroto tersebut mensponsori pelaksanaan sastrawan masuk sekolah ke sejumlah kabupaten/kota di Aceh yang melibatkan puluhan sastrawan Aceh.

Ke mana sastra Aceh sekarang?
Namun ‘bulan madu’ dengan BRR telah berakhir, sekarang geliat sastra Aceh mulai stagnan dalam jumlah penerbitannya. Para penulis Aceh tidak bisa lagi berharap dari sebuah lembaga tunggal seperti BRR. Jalan satu-satunya sekarang adalah mencari sendiri penerbitan. Namun, dalam mencari penerbit di luar Aceh bukan pekerjaan gampang. Sebab, ada persyaratan tertentu dari penerbit, sebelum sebuah karya sastra diterbitkan. Seperti kualitas sebuah karya yang layak terbit. Karena persaingan yang ketat antar penulisnya, bahkan nama penulis terkadang juga menjadi pertimbangan sebuah penerbitan.

Proses ini hampir sama halnya ketika seorang penulis, mengirimkan karyanya ke sebuah harian media cetak-di mana seleksi untuk meloloskan sebuah tulisan akan ditentukan oleh redakturnya. Selera antara satu media dengan media lainnya juga akan berbeda dalam menilai sebuah tulisan yang layak muat. Pernah ada pengalaman seorang teman penulis, awalnya dia mengirimkan sebuah novel ke sebuah penerbit di luar Aceh, namun novel tersebut ditolak. Namun begitu novel itu diikutkan dalam sebuah sayembara menulis, malah meraih juara dan novelnya diterbitkan oleh penerbit yang lebih punya nama.

Jadi, ukuran dalam menakar sebuah tulisan baik prosa maupun puisi, sangat tergantung pada selera editor dan penerbitnya. Selain itu, selera pasar terkadang juga menjadi pertimbangan sebuah penerbit dalam mengkalkulasi sisi komersialnya, jika buku itu nantinya dilempar ke pasaran. Terutama menyangkut tema sebuah novel misalnya. Saya teringat ketika novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy meledak di pasaran, maka penulis ramai-ramai memilih tema religius. Dan celakanya penerbit juga setali tiga uang, malah menyambut tema-tema serupa dan menerbitkannya. Maka lahirlah banyak novel religius ikutan yang meramaikan toko-toko buku saat itu.

Nah, dalam situasi yang demikian ketat persaingannya, mau tidak mau, para penulis Aceh mestilah lebih banyak berkreasi baik dalam soal tema maupun kualitas sebuah tulisan. Sebab jika tidak, selepas BRR  di Aceh, semakin sedikit para penulis kita yang berhasil dalam menerbitkan karya sastra dalam bentuk buku. Namun, satu yang perlu menjadi catatan, jangan terlalu berharap pada sebuah penerbitan nirlaba seperti BRR. Mungkin apa yang dilakukan oleh sejumlah penulis Aceh yang sampai saat ini masih eksis, walaupun tanpa ada donasi dari lembaga tertentu, bahkan dari bantuan pemerintah sekalipun, mereka tetap berhasil menerbitkan buku sastra.

Sebut saja misalnya apa yang dilakukan Arafat Nur, Ayi Jufridar, Putra Gara, dan Muhammad Subhan. Mereka dalam kurun waktu 2010-2011 ini telah berhasil menerbitkan novel, yang bahkan buku-buku mereka dapat bersaing dan diterima secara nasional. Agaknya, tugas seorang penulis bukan harus melulu menunggu adanya sebuah lembaga non komersial, lalu baru berkarya. Namun yang lebih dikedepankan adalah bagaimana caranya agar karya sastra itu sendiri yang dicari oleh penerbit!

* Penulis adalah peminat sastra. Sekarang berdomisili di Jl TA Salam No16 Mns. Timu, Peusangan, Bireuen.

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2011/08/28/sastra-untuk-siapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar