Oleh Halim Mubary
Peran media cetak
seperti koran dan majalah yang terbit di Aceh, saya pikir memberikan sumbangan
yang cukup signifikan bagi perkembangan sastra di Aceh, khususnya prosa dan puisi.
Tak dapat dipungkiri, tanpa peran koran yang menyediakan halaman seni dan
budaya yang di dalamnya menyediakan rubrik cerpen, puisi, esai, dan resensi
buku, mustahil rasanya bisa menjaring banyak penulis muda berbakat. Pun
lahirnya sejumlah komunitas seni dan sekolah menulis, juga memberika andil
besar dalam mencetak penulis muda. Gemasastrin FKIP Unsyiah juga menjadi
miniatur tersendiri dalam menyumbangkan sumber daya sastra di Aceh dalam kurun
waktu satu dekade tarakhir.
Namun, perkembangan
sastra (prosa dan puisi) yang sempat menjadi booming ketika Aceh berada dalam
masa rahab-rekons—di mana sejumlah penulis berhasil mengikat diri dengan
sejumlah penerbit buku, sehingga para penulis tidak lagi menyimpan naskah
dokumennya hanya dalam flashdisk maupun computer. Kehadiran Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias yang lahir akibat bencana tsunami pada 2005, paling
tidak tercatat sebagai penyumbang terbanyak dalam menerbitkan sejumlah buku
penulis Aceh berupa novel, antologi puisi, dan cerpen.
Gelontoran dana yang besar dari donasi penjuru dunia, memang untuk menerbitkan belasan buku sastra bukanlah hal yang merisaukan jika, diukur dari sumbang sih lembaga setingkat kementerian itu dalam membangun sebuah karakter gemar menulis di kalangan pegiat seni sastra di Aceh. Dan atas dukungan BRR pula, pada 2006, lembaga pimpinan Kuntoro Mangkusubroto tersebut mensponsori pelaksanaan sastrawan masuk sekolah ke sejumlah kabupaten/kota di Aceh yang melibatkan puluhan sastrawan Aceh.
Ke mana sastra
Aceh sekarang?
Namun ‘bulan
madu’ dengan BRR telah berakhir, sekarang geliat sastra Aceh mulai stagnan
dalam jumlah penerbitannya. Para penulis Aceh tidak bisa lagi berharap dari
sebuah lembaga tunggal seperti BRR. Jalan satu-satunya sekarang adalah mencari
sendiri penerbitan. Namun, dalam mencari penerbit di luar Aceh bukan pekerjaan
gampang. Sebab, ada persyaratan tertentu dari penerbit, sebelum sebuah karya
sastra diterbitkan. Seperti kualitas sebuah karya yang layak terbit. Karena
persaingan yang ketat antar penulisnya, bahkan nama penulis terkadang juga
menjadi pertimbangan sebuah penerbitan.
Proses ini hampir
sama halnya ketika seorang penulis, mengirimkan karyanya ke sebuah harian media
cetak-di mana seleksi untuk meloloskan sebuah tulisan akan ditentukan oleh
redakturnya. Selera antara satu media dengan media lainnya juga akan berbeda
dalam menilai sebuah tulisan yang layak muat. Pernah ada pengalaman seorang
teman penulis, awalnya dia mengirimkan sebuah novel ke sebuah penerbit di luar
Aceh, namun novel tersebut ditolak. Namun begitu novel itu diikutkan dalam
sebuah sayembara menulis, malah meraih juara dan novelnya diterbitkan oleh
penerbit yang lebih punya nama.
Jadi, ukuran
dalam menakar sebuah tulisan baik prosa maupun puisi, sangat tergantung pada selera
editor dan penerbitnya. Selain itu, selera pasar terkadang juga menjadi
pertimbangan sebuah penerbit dalam mengkalkulasi sisi komersialnya, jika buku
itu nantinya dilempar ke pasaran. Terutama menyangkut tema sebuah novel
misalnya. Saya teringat ketika novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El
Shirazy meledak di pasaran, maka penulis ramai-ramai memilih tema religius. Dan
celakanya penerbit juga setali tiga uang, malah menyambut tema-tema serupa dan
menerbitkannya. Maka lahirlah banyak novel religius ikutan yang meramaikan toko-toko
buku saat itu.
Nah, dalam
situasi yang demikian ketat persaingannya, mau tidak mau, para penulis Aceh
mestilah lebih banyak berkreasi baik dalam soal tema maupun kualitas sebuah
tulisan. Sebab jika tidak, selepas BRR
di Aceh, semakin sedikit para penulis kita yang berhasil dalam
menerbitkan karya sastra dalam bentuk buku. Namun, satu yang perlu menjadi
catatan, jangan terlalu berharap pada sebuah penerbitan nirlaba seperti BRR. Mungkin
apa yang dilakukan oleh sejumlah penulis Aceh yang sampai saat ini masih eksis,
walaupun tanpa ada donasi dari lembaga tertentu, bahkan dari bantuan pemerintah
sekalipun, mereka tetap berhasil menerbitkan buku sastra.
Sebut saja
misalnya apa yang dilakukan Arafat Nur, Ayi Jufridar, Putra Gara, dan Muhammad Subhan. Mereka dalam kurun
waktu 2010-2011 ini telah berhasil menerbitkan novel, yang bahkan buku-buku
mereka dapat bersaing dan diterima secara nasional. Agaknya, tugas seorang
penulis bukan harus melulu menunggu adanya sebuah lembaga non komersial, lalu
baru berkarya. Namun yang lebih dikedepankan adalah bagaimana caranya agar
karya sastra itu sendiri yang dicari oleh penerbit!
* Penulis adalah
peminat sastra. Sekarang berdomisili di Jl TA Salam No16 Mns. Timu, Peusangan, Bireuen.
Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2011/08/28/sastra-untuk-siapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar