Minggu, 08 Mei 2011

Kalau Tak Jodoh dalam Rinai Kabut Singgalang


Oleh Hendri Nova, Wartawan HU Singgalang

Lika liku hidup Fikri bak sudah jatuh tertimpa tangga. Nasib buruk yang ia diterima, bak karma dari sikap orangtuanya di masa muda. Fikri lahir dari cinta tertentang dari keluarga ibunya orang Minang, dengan ayahnya asal Aceh.

Akibat terlalu cinta, buah dari pacaran di masa muda, mereka rela kawin lari dan akhirnya terdampar di Pesisir Aceh. Hidup orangtua Fikri serba dalam keterbatasan, dengan hanya mampu mengontrak sampai ajal menjemput ayahnya, Munaf.

Sepeninggal ayahnya, keinginan Fikri untuk menikam jejak ke Ranah Minang makin besar. Itupun setelah masa sewa kontrak rumah orangtuanya habis, dan ibunya ikut bersama sang adik yang sudah berumahtangga.

Dalam perjalanan menuju Padang, Fikri berkenalan dengan ibu Aisyah yang duduk di sebelahnya. Pertemuaan ini menjadi pembuka lembaran baru kisah cinta Fikri di Kota Padang.

Setelah menemui mamaknya di Pasaman dan mendapat beberapa kejutan hidup di sana, ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan niatnya menuntut ilmu di Padang. Tentu saja, hanya ibu Aisyah yang bisa dijadikannya tempat singgah pertama.

Fikri dengan kelakuan baiknya, menaut hati ibu Aisyah sehingga dianggap sebagai anak. Sikapnya ini juga mencuri hati anak ibu Aisyah, Rahima.

Fikri dalam perjalanan hidupnya ditakdirkan sendiri, setelah ibunya wafat karena penyakit tua. Deritanya makin lengkap, sewaktu tsunami meluluhlantakkan Aceh. Adiknya Annisa termasuk dalam daftar korban.

Sepulang dari Aceh, Fikri dihadapkan pula pada kehilangan orangtua angkatnya Aisyah. Deritanya makin lengkap, setelah Rahima dibawa kakaknya Ningsih ke Jakarta.

Rahima terpaksa ikut, karena tidak punya keluarga lagi di Padang. Namun celakanya, Rahima akan dijadikan tumbal hutang kakaknya pada rekanannya. Ia harus menikahi orang tersebut, dan itu berarti cintanya terputus dengan Fikri.

Menghadapi kenyataan ini, Fikri hampir lepas kendali. Jika tak ada Yusuf sahabatnya, mungkin ia sudah bunuh diri. Cintanya terlalu dalam, bak cinta Romeo kepada Juliet. Tak ada gadis lain yang bisa menggantikan posisi Rahima, sampai kesuksesan menyambangi Fikri.

Waktu itu, novel Fikri yang pernah diajukannya pada sebuah penerbitan booming di pasaran. Namanya mendadak tenar dan langsung dibuat sibuk oleh berbagai acara.

Kesibukannya sementara waktu mampu mengobati luka hatinya karena kehilangan kekasih hati, Rahima. Kesibukannya bolak balik Jakarta, tak sengaja merajut kembali hubungannya dengan Rahima. Ketenaran Fikri, rupanya sampai juga pada Ningsih, kakaknya Rahima, yang telah membuat keduanya bercerai kasih.

Setelah ditinggal mati sang suami yang bunuh diri, tanpa malu Ningsih meminta Fikri balik lagi pada adiknya. Selain motivasi harta Fikri, juga karena peluang untuk itu masih terbuka lebar.

Namun takdir berkata lain, karena rinai di Singgalang kini menjadi penghalang. Cinta mereka memang tak ditakdirkan bersatu di dunia ini, dan cinta suci Fikri hanya untuk seseorang di kehidupan abadi.

Novel berjudul Rinai Kabut Singgalang (RKS) ini, memang terkesan sinetronik. Alur ceritanya bermula dari luka dan berakhir luka pula. Ibarat kurva yang mulai dari bawah, maka kurva itu akan menurun lagi setelah sampai di puncak.

Penulis sepertinya tak ingin membuat dua kurva, sehingga kesannya terlalu mengikut roman-roman atau novel-novel klasik. Bagi mereka yang sudah bergelar kutu buku, dengan gampang mampu dengan cepat bisa menamatkan kisah buku ini, karena alur yang gampang untuk ditebak.

Bisa dikatakan, buku ini perpaduan kisah cinta novel klasik Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Rusli, Merantau ke Deli karya Buya Hamka, dan Tenggelamnya Kapal Van Der wijck yang juga dari Buya Hamka. Karenanya, gampang terbaca dari awal kisah.

Sayangnya, ada kisah yang tidak tuntas. Akhir hidup Rahmah adik Fikri tak disebutkan sampai akhir cerita. Potongan kisah ini amat diperlukan, karena harta warisan Fikri yang lumayan banyak, setidaknya ada hak adiknya itu didalamnya.

Sebagai novel yang berasal dari dan kisah yang berakhir di Serambi Mekkah, Padangpanjang, diharapkan novel ini dijadikan teladan dalam hal syariat. Sayang penulis mengabaikan atau memang lupa barangkali. Kenapa demikian, karena novel ini rentang waktunya sampai jaman modern, di saat kesadaran tentang pembagian harta warisan telah makin baik. Hal ini sangat diperlukan tentunya untuk edisi revisi.

Sebagai novel yang lahir dari masa miskinnya sastrawan baru dari Minangkabau, novel ini tentunya menjadi spirit bagi generasi muda Minang lainnya. Semoga terlahir generasi baru, dengan karya-karya luar biasa lainnya. Amin... []

Dimuat di HU Singgalang edisi Minggu

Gambar: Blog Hendri Nova

Tidak ada komentar:

Posting Komentar