Tanahdatar, Singgalang – Roman-roman sastra era Balai Pustaka, kini bisa disebut langka dan sulit ditemukan di toko-toko buku. Kalaupun ada hanya dijumpai di rak-rak perpustakaan sekolah yang seringkali berdebu karena tidak dibaca. Siswa lebih suka membaca novel-novel populer yang merajai pasar novel Indonesia hari ini.
“Kebanyakan pecinta novel sekarang terbius oleh hegemoni karya-karya pop literature yang jalan ceritanya penuh intrik namun tidak berkesudahan hingga seri ke tujuh,” ujar Nurjanah, pengamat sastra dan guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, ketika membedah Novel Rinai Kabut Singgalang (RKS) karya Muhammad Subhan, belum lama ini, di Kubu Karambia.
Disebutkan, karya sastra klasik Indonesia kini dinomorduakan penikmat novel, lantaran novel klasik terlalu serius, tidak memiliki unsur humor dan kurang memberikan pengalaman serta tantangan baru.
“Sedangkan novel-novel pop saat ini muncul dengan squel-squel ataupun prequel yang membuat pembaca merasa tertantang untuk menamatkannya, meskipun ceritanya tidak terlalu istimewa,” katanya.
Menimbang RKS, Nurjanah berpendapat, novel ini berhasil mengangkat nuansa sastra era Balai Pustaka yang tenar dengan karya-karya semacam Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, dan lainnya yang akhir-akhir ini sudah ‘dipetimatikan’ oleh tuntutan pasar yang dikuasai oleh novel-novel pop literatur.
“Kesan retro pada RKS bisa dirasakan dari gaya penceritaan, alur, dan pemilihan kata disetiap bab dalam novel ini. RKS juga seolah membuka peti mati roman era Balai Pustaka yang makin terkubur,” tambahnya.
Pembedah lainnya, Irzen Hawer yang juga pengarang Novel Cinta di Kota Serambi (2010) memaparkan, RKS merupakan novel tentang kematian dan kemiskinan. Membaca judul novel ini saja, terlintas di pikiran pembaca bahwa novel ini sedih.
“Melihat sampulnya, ada gambar seorang gadis berwajah murung, langit berkabut mengandung rinai/hujan, menambah keyakinan pembaca bahwa novel ini berurai air mata,” ujar Irzen Hawer yang mengaku menamatkan RKS setebal 396 halaman selama 30 jam.
Menurut Irzen, kesedihan pertama dialami tokoh utama (Fikri) ketika ayahnya meninggal di Aceh, disusul mamaknya (Mak Safri) meninggal dalam suatu insiden pembunuhan di Kajai, Bu Aisyah ibu angkatnya juga meninggal karena tekanan perasaan di Padang. Begitupun adik Fikri Annisa bersama suami dan anaknya meninggal dilamun tsunami Aceh, hingga ending cerita Fikri dan kekasihnya Rahima juga ikut berhadapan dengan maut.
“Pengarang RKS mengajak kita menemui sang guru, yaitu maut. Banyak sekali nasihat tentang maut di dalam novel ini yang sungguh layak dibaca,” ujarnya.
Sejumlah kritikan diberikan Irzen, diantaranya bahwa di awal-awal kisah keberangkatan Fikri dari Aceh ke Padang deskripsinya terlalu detil sehingga terkesan agak menjenuhkan. Namun kejenuhan pembaca hilang bila konflik muncul. (006)
Sumber: Suratkabar Harian SINGGALANG, edisi Jumat 11 Februari 2011
Gambar: Website Koran SINGGALANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar