Oleh Arafat Nur
Ketika membaca Rinai Kabut Singgalang (Rahima Intermedia, Januari 2011) karya Muhammad Subhan, saya langsung teringat sinetron. Ini bahan baku yang bagus untuk membuat sinetron, karena sangat cocok dengan selera pemirsa televisi di negeri ini, mereka senang dengan kisah-kisah mengharu biru.
Demikianlah ungkap Gol A Gong, pengarang novel dan penulis scenario sinetron. Lelaki yang pernah bekerja sebagai creative di Indosiar (1995), dan RCTI (1996 – 2008) ini, mengungkapkan bahwa tema-tema seperti cinderella syndrome, cinta terlarang, odyphus complex, petualangan, konflik dua keluarga, persahabatan, dan perselingkuhan sangat digemari pemirsa sinetron di tanah air.
Rinai Kabut Singgalang (RKS) melemparkan pembaca ke masa lalu, saat Buya Hamka menjadi pelopor cerita romantis sejenis. Banyak para penulis Minangkabau kini enggan menulis hal ini, karena rata-rata sudah (merasa) melampaui itu. “Saya setuju dengan apa yang ditulis Damhuri Muhammad di kata pengantar buku ini, bahwa RKS sebagai bentuk mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau,” ujarnya dalam seminar bedah novel Minggu lalu di Gedung Serambi Mekkah, Padangpanjang, Sumatera Barat.
Harus tetap diingat, menulis karya (sastra) bukan untuk sesama penulis saja, tapi ada tujuan yang lebih besar, yaitu puluhan juta masyarakat yang belum membaca buku (sastra). Dengan cara memilah-milah pembaca buku (sastra), seperti halnya pemirsa di televisi yang dipilah berdasarkan peringkat penghasilan, RKS mencoba meraih pembaca di kelas sosial-ekonomi mahasiswi, ibu-ibu, dan pembantu. Dengan cara seperti ini, sastra (apapun genrenya) pada suatu saat kelak, tidak lagi berjarak dengan masyarakatnya.
Persoalannya di negeri ini tidak semua berpendidikan tinggi (pintar) dan gemar membaca buku (sastra). Ini memang harus tetap dipikirkan para penulis (sastra). Perihal sastra berjarak dengan masyarakat (pembaca)nya dibuktikan penelitian Taufiq Ismail sepanjang Juli-Oktober 1997 dengan cara mewawancarai pelajar tamatan SMA di 13 negara.
Pertanyaan yang diajukan adalah: berapa judul buku sastra wajib dibaca selama 3 tahun bersekolah? Rata-rata pelajar di luar Indonesia pembaca sastra, seperti di Thailand Selatan 5 judul, Malaysia dan Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Rusia 12 buku, Canada 13 buku, Jepang dan Swiss 15, Jerman Barat 22 judul, Perancis dan Belanda 30 judul, Amerika 32 buku, dan Hindia Belanda 25 buku. Sedangkan pelajar Indonesia “nol” membaca sastra sejak 1950 sampai 2011.
Taufiq Ismail membandingkan, kewajiban membaca buku siswa tamatan AMS (SMA) Hindia Belanda dulu sebanyak 25 buku dalam 3 tahun. Juga ada bimbingan mengarang seminggu sekali, berarti 36 pertemuan setahun. Itu sama saja setiap pelajar Hindia Belanda selama 3 bersekolah harus menulis 108 karangan. “Hasilnya luar biasa. Generasi Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Natsir, Syarifudin Prawiranegara,” cerita Taufiq Ismail. “Sekarang, para siswa mengarang ketika mau kenaikan kelas saja, sekali setahun mirip sholat Iedul Fitri,” tambahnya prihatin.
Itu tampak nyata di negeri ini dengan hanya diterbitkannya 10 ribu judul buku pertahun dan hanya diserap 1.000 judul oleh penduduk Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih itu. Berapa orang di Indonesia yang senang membaca buku? Buku Balada Si Roy (Gol A Gong) dicetak lebih dari 100 ribu eksemplar (1990), Hilman Hariwijaya dengan “Lupus” lebih dari 1 juta eksemplar (1990), begitu juga di era 2000 dengan “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) dan “Ayat-ayat Cinta” (Habiburrahman el-Shirazy) di atas 1 juta ekemplar (tapi tetap belum menembus 1,5 juta).
Bandingkan dengan jumlah penduduk di negeri ini. Jadi, jika sebuah judul buku bisa menembus angka keramat sebesar 2000 eksemplar, penerbit sudah bernafas lega. Padahal, andai 1% saja yang rajin membeli buku (berarti 2 juta eksemplar), penulis di Indonesia akan kaya dan tentu akan leluasa mengeksplorasi karyanya. Akan lahir karya-karya yang beragam dan antara penulis – pembaca – penerbit terjadi komunikasi harmonis.
Selain hal itu, sastra pada dasarnya menghibur, seperti halnya sinetron. Perbedaannya, sinetron di Indonesia hadir setiap hari tanpa memedulikan logika cerita sehingga bikin perut terasa mual, sedangkan sastra berada di ruang-ruang rahasia dan berjarak dengan masyarakat. Persoalannya itu tadi, masyarakat di negeri ini tidak semuanya senang membaca apalagi membeli bukunya.
Masyarakat yang intelektualnya tinggi lebih sedikit dibanding yang berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak tertarik pergi ke toko buku atau perpustakaan. Mereka merasa cepat pusing jika dihadapkan pada buku-buku sastra dengan penggarapan serius. Paling-paling mereka hanya membaca sebagai hiburan saja.
Gol A Gong mengaku merasa terhibur ketika membaca RKS, dia menikmati betul perjalanan tokoh Fikri sepanjang Serang-Palembang-Jambi-Tebo-Bukittinggi. Terutama penggambaran setting lokasi ranah Minangnya. “Saya merasa sedang dibawa berwisata oleh tokoh Fikri. Saya yakin RKS akan jadi semacam panduan pariwisata bagi para pelancong keluarga. Ini akan sesuai dengan kesepakatan para pengeola televisi,” dia meyakinkan.
Ternyata apa yang diungkapkan Gol A Gong itu bukan isapan jempol semata. Hanya berselang dua hari sesudahnya, sebuah rumah produksi film di Jakarta langsung menghubungi Muhammad Subhan dan menyatakan minatnya untuk mengangkat RKS menjadi sebuah film. Jarang ada novelis yang karya pertamanya langsung mendapatkan sambutan yang sedemikian meriah. []
Sumber: Koran Harian WASPADA Medan, edisi Minggu 10 April 2011
Gambar: Pengarang Novel Rinai Kabut Singgalang Muhammad Subhan ketika membubuhkan tandatangan pada buku karangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar