Minggu, 08 Mei 2011

Rinai Kabut Singgalang Tampil Heboh dan Fenomenal


KOPI, PADANG PANJANG – Kota Padang Panjang yang sejuk, romantis dan menyenangkan, kembali melahirkan sastrawan pewaris kepujanggaan Prof. Dr. Hamka. Setelah dihebohkan novel Cinta di Kota Serambi (CDKS) karya Irzen Hawer, seorang warga Kelurahan Kampuang Manggih, kini Rinai Kabut Singgalang (RKS) tampil lebih heboh lagi. RKS yang membawa fenomena baru ke dalam sastra Indonesia, juga ditulis oleh seorang warga Padang Panjang. Namanya Muhammad Subhan. Dia adalah wartawan yang bermukim di Kelurahan Bukit Surungan.

Membaca RKS, seakan membawa kita ke zaman Minangkabau tempo doeloe yang banyak melahirkan sastrawan hebat sekaliber Hamka. Menggunakan tutur kata dan bahasa yang enak dibaca. Mengikuti alur cerita melalui kata demi kata yang dirangkai, seakan pembaca dibawa ke alam nyata. Sebab, semua latar cerita, tempatnya bisa dilacak langsung. Kampung-kampung yang disebutkan, keberadaannya hampir persis dengan yang dikisahkan.

“Rasa Minang hadir dalam kisah per kisah RKS. Pengarangnya mengingatkan kita pada Hamka yang populer dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Kisah yang mengharubirukan perasaan. Bahasanya halus. Pengarang berhasil mendeskripsikan perasaan yang mendalam para tokohnya, hingga tak dinyana pembaca bagai dihanyutkan oleh tragedi cinta yang amat sentimentil, tragis dan berurai air mata,” komentar novelis muda Padang Panjang, Irzen Hawer pada testimoninya.

Sang penulis RKS, Subhan, kepada Singgalang kemarin mengakui, novel yang ditulisnya benar-benar menguras air mata. Kisah yang disajikan bab per bab, semuanya penuh kesedihan dan duka lara. Hiba hati sepanjang cerita. Repotnya lagi, pembaca bisa terbawa emosi. Menangis tak berkesudahan. Novel berlatar Ranah Minang ini benar-benar menjadi koleksi kubangan penderitaan. Bukan sekedar rinai, tapi sudah hujan lebat bertabur badai!

Air mata mulai tertumpah di sebuah kota kecil di Aceh. Fikri, sang tokoh utama, membawanya ke Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat. Dari sini, duka dan air mata berputar ke Padang. Dari Padang, pembaca dibawa ke Banda Aceh, juga untuk menguraikan air mata. Duka berkepanjangan kembali ke Padang. Tak lama sesudah itu, melebar hingga ke Jakarta dan melibatkan tokoh utama lainnya, Rahima. Duka Jakarta pun berkembang hingga ke Bukittinggi.

Puaskah penulis mengisahkan nestapa luka sepasang anak manusia hingga di situ? Belum! Kedukaan kembali dibawa ke Padang untuk kemudian mampir di Kotobaru, Kecamatan X Koto, Tanah Datar. Kecelakaan pesawat saat akan mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), benar-benar memutuskan asa pembaca akan sebuah kisah yang berakhir ceria alias happy ending. Kedua tokoh utama meninggal saat pembaca benar-benar menanti hadirnya keajaiban.

Melihat demikian rapatnya dukalara mengikuti bab demi bab RKS, wajar seorang cerpenis dan esais nasional, Damhuri Muhammad, dalam prolognya menyingkap, RKS adalah sebuah prosa yang ditegakberdirikan di atas semesta luka, yang tak terpermanai sakit dan perihnya, yang tiada bersudah, semacam luka beranak luka. “Peristiwa luka yang dialami sang tokoh utama, Fikri, seperti menapktilasi kembali luka yang pernah dialami ibu bapaknya di masa lalu,” tulis Damhuri.

Satu hal yang menarik untuk dicermati, seperti dibeberkan Damhuri, kedalaman galian RKS sesungguhnya dapat ditandai dengan upaya Subhan dalam mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau yang belakangan mulai diabaikan. Nestapa cinta Fikri dan Rahima boleh jadi setali tiga uang dengan kisah kasih tak sampai Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Vijk karya Hamka.

“Tapi paling tidak, romantika semacam ini dapat mengingatkan kembali bahwa keistimewaan roman berlatar lokalitas Minangkabau memang dapat tertandai pada titik ini. Resistensi terhadap adat istiadat, ketersingkiran kaum lelaki lantaran kuatnya ‘tikaman’ garis ibu, dan konsep keterusiran yang dilemahlembutkan dengan terminologi ‘merantau’. Saya kira, Subhan sedang berusaha melakukan konservasi ingatan dan kenangan terhadap peristiwa penting yang terus bergolak di bawah permukaan,” tuturnya.

Subhan berdarah Minang-Aceh. Dia dilahirkan di Medan, menjalani usia remaja di Aceh Utara dan menikmati kedewasaannya di Padang, Bukittinggi, Padang Panjang dan Nagari Aie Angek, Tanah Datar. Bakat menulis wakil ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Padang Panjang Sumbar itu terus berkembang sejak tahun 2000, ketika dia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik.(MUSRIADI MUSANIF, Singgalang Daily Newspaper)


Tanggal pemuatan: Rabu, 26 Januari 2011 12:36

Gambar: website Pewarta Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar