Kamis, 08 Desember 2011

Ketika Kota Padang Terlukis dalam Puisi, Catatan Lomba Cipta Puisi Padang 2011

Dewan Juri dan para pemenang 
Lomba Cipta Puisi Padang saat berkunjung 
ke museum sastra di Melaka, Malaysia.

 Oleh Kurnia Hadinata

dulu sekali, waktu jalan belakang rumah masih belum beraspal
ayah melewati parak rumbio di Taluak Nibuang
melintasi Padang yang penuh Nipah di belakang rumah

Itulah petikan puisi  karya Dodi Prananda dengan judul Menulis Kangen: Padang  yang merupakan salah satu puisi kategori terpuji dalam iven Lomba Cipta Puisi Padang 2011.  Ajang ini diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang dan telah dihelat semenjak Agustus-September 2011.  Antusias terhadap lomba tersebut ternyata  luar biasa, tidak tanggung-tanggung, sebanyak 511 naskah puisi masuk ke kotak panitia dari penyair-penyair yang tersebar di seluruh Nusantara bahkan ada peserta dari Hongkong, dan negara tetangga Malaysia. Dari jumlah naskah yang masuk tersebut dewan juri terlebih dahulu menyeleksi naskah menjadi 150 naskah dan pada selanjutnya disaring lagi menjadi 70 naskah nominasi dan pada penjurian final terpilihlah sebanyak 3 (tiga) naskah pemenang dan 7 (tujuh) naskah dengan predikat puisi terpuji.   Sebagaimana yang ditetapkan panitia bahwa  puisi yang diajukan dalam lomba tersebut harus bercerita tentang kota Padang dengan segala aspeknya yang dibingkai dengan tema Kado untuk Kota Padangku Tercinta, maka secara langsung puisi-puisi yang muncul dalam lomba tersebut tentu bertema seragam yakni tentang kota Padang.

Jatuh Bangun di Dunia Jurnalistik, Lahirkan Rinai Kabut Singgalang


Padang Panjang (Singgalang) - Tahun 2011 menjadi masa yang paling menyibukkan bagi Muhammad Subhan. Hari ini saja, Sabtu (3/12/2011), dia sedang berada di Malaysia bersama para pemenang Lomba Cipta Puisi Padang 2011. Sudah tiga hari dia berada di negeri jiran itu. Subhan bukan pemenang, dia adalah salah seorang dewan juri pada lomba yang diselenggarakan Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang.

Kendati sebelumnya juga kerap jadi narasumber pada berbagai pelatihan jurnalistik, ditambah aktivitas menulis essai, puisi dan karya sastra lainnya, maka sejak novel perdana yang ditulisnya, Rinai Kabut Singgalang (RKS) beredar di pasaran mulai Januari 2011, permintaan untuk tampil di berbagai iven kepenulisan dan kesusastraan pun meluncur deras. Sementara aktivitas rutinnya, sebagai salah seorang pengelola Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar, tetap harus dijalani setiap hari.

Senin, 22 Agustus 2011

Apa Kabar Sastra Indonesia?

Website Harian Haluan Padang

Oleh Fadlillah Malin Sutan

Apa Kabar?

Sebuah sapaan yang ramah, bersahabat dan umum, “Apa kabar sastra Indonesia?” Pada sisi lain, seakan sudah lama tidak berjumpa, atau sesaat, satu waktu kita bertemu, tidak lagi dekat, tidak lagi akrab, sehingga kita ingin tahu kabar beritanya. Seandainya sastra Indonesia itu adalah orang maka tentu ia akan menjawab; “Baik-baik saja” atau dia menjawab, “Waduh, aku sedang sakit perut”.

Tetapi, sastra Indo­nesia itu bukan orang, dia adalah karya manusia. Dengan demikian hal ini,  tentu, keinginan untuk mengetahui situasi, realitas dan gejala perkembangan sastra Indonesia hari ini. Kalau kita mena­nyakan bagaimana masa depan­nya, jawabannya; “kita tidak tahu dengan pasti”, (sebagai muslim “wallahu a’lam”. Namun, masa depan hanya dapat diprediksi (diperkirakan secara pengetahuan) dengan fakta  yang ada pada hari ini, dan tentu akan beragam (pro­ba­biltas).

Kamis, 18 Agustus 2011

Seorang Santri Menyebut Rinai Kabut Singgalang dalam Blognya


Oleh Ikrima*)

Setelah mengikuti perkumpulan Komunitas GUNA Aia Ketek di Rumah Puisi Taufiq Ismail kemaren, bertemu sahabat menulisku dari berbagai tingkat pendidikan. Tsanawiyah dan Aliyah bukanlah bahan pertimbangan untuk komunitas ini. Kami semua sama. Sama-sama ingin berkreativitas melalui hal yang jarang dilakukan orang saat ini, menulis dan membaca. Ya, inilah bukti awal anak bangsa.

Aku merasa dua hal yang setidaknya kuperoleh, pertama, ini adalah ajang berkumpul bersama sahabat penaku yang lain, walaupun di sekolah kami dipisahkan oleh jarak dan ruangan lokal yang bermacam-macam. Kukira kali ini aku dekat dengan mereka. Yang memiliki tujuan sama denganku. Indah bukan. Suasana Rumah Puisi itu pun sangat eksotik, menarik perhatian orang yang mengunjunginya.

Keindahan Rinai Kabut Singgalang Disebut dalam Blog Dunia Juwita


Yach, sebelum kepergianku ke kota Jakarta, alhamdulillah aku diberikan kesempatan oleh Allah untuk menginjakkan kaki di Rumah Puisi Aie Angek. Rumah Puisi yang berlokasi antara dua gunung Merapi dan Singgalang ini memang sangat indah seperti novelnya Muhammad Subhan “Rinai Kabut Singgalang”.

Benar di sini setiap saat kita bisa menikmati pemandangan Rinai Kabut Singgalang. Udara dingin disertai rinai telah mengundang kabut datang menutupi Gunung Singgalang dan benar setelah merasakan sendiri kedahsyatannya aku juga jatuh cinta pada Rinai Kabut Singgalang. Barangkali setiap orang yang menginjakkan kaki di sana juga akan merasakan hal yang sama. Mungkin saja.

Aku semakin jatuh cinta dengan negeri Minangku. Aku jatuh cinta pada Gunung Singgalang seperti aku pernah jatuh cinta pada Gunung Merapi.

Novel Rinai Kabut Singgalang di Merangin Ekspres Jambi


Mahasiswa Jadi Termotivasi untuk Buat Novel

*) Melihat Sisi Lain Bedah Novel Sastra Di STKIP Bangko

Mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia STKIP Bangko mendapatkan ilmu dan pengalaman baru. Penulis dan juga kurator sastra, membedah Novel karya Muhammad Subhan, yang dilahirkan di Aceh, dengan judul Rinai Kabut Singgalang (RKS). Selain membedah buku penulis juga memberikan trik-trik bagaimana menulis novel, banyak mahasiswa yang antusias dalam Bedah Novel sastra tersebut, berikut liputanya.

***

Novel Rinai Kabut Singgalang (RKS) dengan tebal lebih dari tiga ratus halaman, terlihat tebal di tangan pembaca. Sebab dari novel sastra yang dibuat oleh penulis Muhammad Subhan, terlahir dari pemikiran dan juga peristiwa yang dibangun dari pengalaman diri penulisnya. Selain itu penulis juga merebut ide dengan cara menguping, mengintip, dan juga merasakan, sehingga melahirkan realitias sosial dan realitas sastra.

Rabu, 17 Agustus 2011

“Kabut” dalam Rinai Kabut Singgalang

Oleh Halim Mubary

Hidup adalah perjalanan panjang yang akhirnya berhenti di sebuah terminal kehidupan. Dalam sebuah perjalanan yang panjang, biasanya seseorang sering menemukan sebuah nasib yang terkadang tidak sejalan dengan cita-cita dan keinginan. Banyak benturan yang mengiringi setiap langkah yang didapatkan pada setiap tikungan. Seperti halnya yang dialami Fikri, tokoh utama dalam Novel Rinai Kabut Singgalang (RKS). Bahwa Fikri harus berangkat ke Padang begitu menerima kabar ayahnya meninggal dunia.

Lalu, dengan menumpangi bus, Fikri memulai babak demi babak baru dalam kehidupannya. Meninggalkan sebuah kawasan pesisir Utara Aceh, tempat di mana dia dibesarkan, bermimpi, dan ingin membangun keluarganya seindah mungkin. Namun, kenyataan yang dihadapi Fikri malah sangat kontras dengan keinginannya.

Sabtu, 16 Juli 2011

Kandungan Nilai Luhur dalam Novel Rinai Kabut Singgalang

Situs berita www.korandigital.com


Oleh Patriyeni*)

Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan saya nilai sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca penasaran menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang dilalui tokoh utama bernama Fikri. Mulanya saya mengira itu adalah realita, karena setiap orang pasti bisa menggalami peristiwa yang sama dengan Fikri.

Tutur kata Fikri, seorang anak muda yang baik, halus kepada siapa pun, itu sangatlah berbeda dengan kenyataan anak muda zaman sekarang. Kalaulah ada, mungkin bisa berbanding seratus. Anak jaman sekarang lebih suka bermanja-manja, minta sesuatu yang berlebihan kepada orangtua, tidak mau sekolah tinggi walaupun sudah dikasih biaya. Tapi ini tidak, RKS menawarkan hikmah perjuangan seseorang dalam menggapai masa depannya. Penuh onak dan duri, namun semua itu dilaluinya dengan sabar. RKS novel yang sangat bagus dibaca bagi kalangan muda mudi yang jiwanya masih labil, lebih banyak mengikuti nafsunya dan menuruti kawan-kawan yang telah jauh dari agama dan adat istiadat minangkabau.

Alur cerita RKS sangat menarik, mampu menggugah pembaca untuk insaf bagi yang terlena dengan indahnya kehidupan dunia—mereka tidak sadar bahwa semua itu kalau tidak cepat diatasi akan membawa kita ke lembah kebinasaan. Dan juga setiap peristiwa yang menimpa Fikri dilalui dengan hati yang tabah, sabar, bertawakal kepada Allah SWT, sungguh hati anak muda yang bersih dan kuat imannya. Kita lihat realita saat ini, ketika menghadapi masalah orang sering lari kepada benda-benda haram, seperti minuman-minuman yang memabukkan, narkoba, narkotika dan lain-lain.

Fikri yang sangat santun kepada ibu bapaknya, sangat akur dengan saudaranya walaupun adiknya dua orang tapi yang sering berkomunikasi itu hanya Annisa, karena Rahmah (kakak Annisa) tinggal jauh dan komunikasi terputus. Di kala itu alat komunikasi belum marak dan alamat surat Rahmah tidak dimiliki Fikri. Hal ini membuat saya sangat rindu kepada ibu bapak saya yang kebetulan juga tinggal jauh di kampung, dan saudara-saudara saya juga jauh dirantau orang. Saya sangat sedih ketika ayah dan ibu Fikri diceritakan meninggal dunia. Saya terbayang jika ini semua terjadi pada diri saya mungkin saya tidak akan sanggup hidup sebatang kara. Saya juga teringat selama ini saya tidak bisa mandiri, hidup sangat tergantung kepada orangtua, saya rasa saya sangat durhaka, menyiksa kedua orangtua dengan meminta uangnya, minta apa yang saya inginkan kepada mereka. Betapa berat pemikirannya terkuras bila tiap minggu saya pulang minta uang jajan, uang kost, buat beli ini-itu, dan lainnya. Uang yang diberi ibu bukanlah buat beli sesuatu yang bermanfaat, tapi saya tega menghambur-hamburkan uang demi keingginan yang saya beli. Belum lagi korupsi, minta uang lebih dibilang untuk buat tugas, beli buku, dll. Tapi itu semua hanya omong kosong, saya pergi buat beli barang-barang yang sebenarnya tidaklah saya butuhkan.

Setelah saya membaca novel yang sangat berharga dalam hidupku ini, membuat saya sadar ternyata saya sangat kejam dengan ibu dan ayah. Pagi-pagi saya buru-buru pulang minta maaf kepada beliau, saya benar-benar menyesal memperlakukan beliau seperti itu. Saya bertekad ingin seperti Fikri yang mampu hidup mandiri tanpa bantuan orangtuanya, hanya doa yang tak henti-hentinya buat anaknya hingga ajal menjemput mereka. Tapi Fikri bisa berhasil dengan jerih payahnya, ada niat dan tekadnya yang kuat ingin menjadi orang yang sukses dikemudian hari. Alhamdulillah, Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya. Fikri pandai bergaul dengan orang banyak, anak yang tidak sombong, baik budinya, sangat mencerminkan seorang hamba Allah yang benar-benar menganut ajaran Islam dengan baik.

Begitu juga bagaimana cintanya dengan Rahima yang sangat terjaga dan berlandaskan Islam yang kuat, tidak senonoh dengan perempuan, saya pikir itu juga sangat langka kita temukan pada jaman modern sekarang ini. Apalagi orang lebih banyak suka dengan kehidupan kebarat-baratan (westernisasi), pergaulan muda mudi sekarang bisa dikatakan sangat bebas, tidak bisa lagi menjaga silsilah minang adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Adat mamakai syara’ mangatokan. Saya sangat sedih dengan Rahima yang juga harus menderita atas perlakuan kakaknya Ningsih yang mengharuskan ia menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Dia juga ditinggal mati ibunya. Ayahnya juga sudah tidak ada. Anak seorang wanita yang berhati lembut seharusnya diperlakukan dengan lembut pula oleh kakaknya. Tetapi ini tidaklah demikian, kakaknya hanya melihat pangkat dari seseorang sebagai calon suami Rahima, Ningsih tidaklah sadar dia masukkan adiknya itu ke mulut harimau. Hingga adiknya menderita selama menikah dengan suami pilihan Ningsih, walaupun ibu Rahima tidaklah setuju jika Rahima harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Ini pelajaran bagi orangtua, kakak kepada adiknya atau seorang perempuan yang ingin mencari jodoh. Janganlah lihat seseorang dari tampangnya, tapi cinta itu di hati, maka lihatlah hatinya. Sang motivator Mario Teguh mengatakan, “tebarkanlah cinta Anda kepada semua orang, janganlah mencari kecocokan dulu baru cinta, tapi taburkanlah cinta dulu baru timbulnya rasa kecocokan antara kedua belah pihak”.

Kita lihat yang terjadi pada diri Rahima dan Fikri, mereka saling mencintai sampai ajal menjeput. Tapi sebagai salah seorang kakak tidaklah baik bersikap seperti itu kepada adiknya, memisahkan mereka, sampai ibu mereka ikut menjadi korban melihat tingkah laku anaknya, Ningsih. Jujur, saya mungkin tidaklah sanggup harus menghadapi realita demikian. Ini kisah yang sangat mengharubirukan perasaan. Saya hanyut dalam kisahnya, serasa saya benar-benar berada dalam cerita tersebut. Fikri adalah orang yang baik budinya, baik akhlaknya, hanya saja dia terlahir dari keluarga miskin dipandang sebelah mata sama orang banyak. Tapi Fikri tidak pernah putus asa dalam mengapai cita-citanya, dia terus berjuang, walaupun tanpa ada ayah dan ibu yang mendampinginya disaat dia wisuda. Sementara semua kawan-kawannya bahagia ada ayah dan ibu yang mendampinginya, ada sanak famili yang datang menghadiri keberhasilan anaknya. Tapi Fikri tidak, wisuda sarjana tanpa ada seorang pun sanak famili yang datang kecuali orangtua angkat yang dia miliki, Bu Rohana dan Pak Usman. Ini sangatlah membuat airmata saya jatuh, tanpa saya sadari. Saya dapat merasakan jika waktu wisuda nanti, saya juga tidak didampingi keluarga saya, betapa hancurnya dan sakitnya beban yang harus saya tanggung. Apalagi waktu menulis ini saya dengar kedua orangtua saya sedang sakit. Saya takut mereka juga meninggalkan saya nantinya, saya hanya bisa memohon kepada Allah panjangkan umur mereka. Saya ingin membalas jasa kedua orangtua dan abang saya yang juga ikut membantu saya sekolah. Dia rela berhenti sekolah demi saya dapat terus sekolah dan menggapai cita-cita. Dan juga mau jadi penulis seperti Fikri.

Saya sangat terkejut, dan bersyukur sekali ketika tulisan Fikri diterbitkan dan ia diminta ke Jakarta, ketika di sana Allah memberi kebahagiaan kepadanya. Sebanyak itu nasib yang harus ditanggungkannya mulai dari ayahnya meninggal, mencari mamaknya di Kampung Kajai, sampai di sana juga harus menanggung fitnah oleh pemuda kampung yang iri kepadanya dan hendak mencelakakan dirinya. Sejak itu dia putuskan hijrah ke Padang. Ketika baru sampai di Padang dia ditikam oleh pencopet ketika hendak menyelamatkan seorang gadis yang akan dicopet, tetapi dirinya yang ikut menjadi korban. Sampai dia harus dirawat di rumah sakit beberapa hari lamanya, ketika itulah Allah mempertemukannya lagi dengan Bu Aisyah yang bertemu sebelumnya ketika ia naik bus dari Aceh hendak ke Pasaman. Ternyata, yang ditolong Fikri adalah anak gadis Bu Aisyah yaitu Rahima.

Setelah tinggal di Padang, tak berapa lama dia dapat kabar dari adiknya Annisa di Aceh bahwa ibunya telah meninggal dunia. Ayahnya meninggal sebelum dia merantau. Sejak itulah Fikri menjadi anak yatim piatu, hanya adik yang dia punya jauh di kampungnya. Luka belum lagi sembuh, terdengar juga kabar bahwa terjadi tsunami di Aceh, adik yang ia sayangi tinggal di Aceh bersama suami dan anaknya. Keluarga adiknya itu turut disapu tsunami. Fikri hilang akalnya, hanya Yusuflah sahabat dekatnya waktu di Kajai menyusulnya ke Padang, yang selalu berada di sisi Fikri dan selalu menghibur dan memberi motivasi kepadanya saat dia lagi dirundung kesedihan yang silih berganti.

Dia  yang telah lama rindu kampung halamannya, ingin juga jadi relawan untuk pergi ke Aceh sekaligus ingin melihat keadaan adiknya apa masih hidup atau ikut jadi korban tsunami. Sudah lama mencari adiknya, suatu hari di sebuah posko mendengar ada yang nama Annisa ternyata benar, Annisa masih hidup tapi napasnya sudah tersenggal, tidaklah dapat dokter menolongnya karena Allah sudah berkehendak lain. Akhirnya Annisa meninggal dunia. Sejak itu Fikri shock dan tidak henti-hentinya panas badannya, semakin meninggu, menanggung derita yang tak berkesudahan. Ketika sampai di Padang, ternyata Rahima juga mau dijodohkan kakaknya dengan laki-laki berpangkat di Jakarta. Apalah daya seorang anak muda yang sudah sebatang kara, dia hanya bisa pasrah menerima takdir.

Di balik derita yang dia tanggung, ada  rahasia Allah yang sungguh merobah jalan hidupnya. Bakat menulisnya berkembang dan melahirkan banyak karangan. Novelnya diterbitkan. Dia diminta datang ke Jakarta untuk beberapa hari tinggal di hotel mewah, ada juga pendamping yang selalu menemaninya kemana pun dia pergi. Fikri terkejut ketika melihat chek yang ditandatangganinya senilai Rp30 juta, uang royalti bukunya. Sungguh gembiralah hati Fikri. Dalam pikirannya ternyata ada kesempatan bagi dia untuk bisa melanjutkan cita-citanya. Dia ingin kuliah. Tapi selama ini terkendala dengan dana buat kuliah. Dan akhirnya dia menjadi sarjana.

Dengan keberhasilannya itu dia pindah ke Bukittinggi di negeri yang dia sukai alamnya. Akhirnya dia minta izin kepada Bu Rohana dan Pak Usman yang menjadi orangtua angkatnya dan tempat dia tinggal selama ini bersama sahabatnya Yusuf. Dengan berat hati Bu Rohana dan Pak Usman melepaskannya. Fikri mencari rumah di Birugo, tempat dia mengembangkan hasil karyanya. Dia dapat telepon lagi dari penerbit karena novelnya mau difilmkan. Tersebarlah berita bahwa ada film baru yang akan ditayangkan dan kabar itu sampai ke telinga Rahima serta Ningsih. Walaupun Rahima kini telah jadi milik orang, tanpa sepengetahuan Fikri bahwa Rahima sebenarnya sudah menjanda karena suaminya telah mati di sel karena bunuh diri sebab melenyapkan uang perusahaan.

Waktu itulah Fikri melihat Rahima tapi Rahima hanya menunduk saja. Ningsih yang banyak berbicara dengannya. Semenjak pertemuan itu Fikri pulang ke Bukittingi, dia bersikap aneh membuat Yusuf bertanya-tanya apa yang sudah terjadi dengan sahabatnya. Fikri hanya banyak mengurung diri di kamarnya. Akhirnya setelah didesak Fikri kemudian bercerita juga. Besoknya ia dapat surat dari Ningsih yang menyatakan bahwa Rahima sedang sakit keras dan minta Fikri dapat menjenguknya ke Jakarta. Mendengar kabar itu Fikri langsung berangkat ke Jakarta menemui Rahima. Sesampai di sana Fikri melihat Rahima tidak lagi berdaya, kurus tubuhnya dan wajahnya semakin pucat. Dia juga terus mengigau memanggil nama Fikri. Ketika sadar Rahima melihat ada Fikri di sampingnya, membuat Rahima kembali pada dirinya.

Ningsih sudah insaf dan meminta maaf kepada Fikri. Dia ingin pulang ke Padang sekalian menziarahi kuburan ibunya, maka mereka berangkatlah ke Padang. Fikri, Rahima ikut serta. Malang yang tidak dapat dielakkan, terjadilah bencana, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Yusuf mendengar kabar itu langsung menuju ke bandara, dilihatnya di papan pengumuman bahwa ada nama Fikri dan Rahima mengalami luka parah sedangkan Ningsih dan suaminya meninggal dunia.

Sebelum berangkat ke Jakarta Fikri pernah berpesan kepada Yusuf agar mencari rumah di Koto Baru yang berada di kaki gunung Singgalang. Waktu terbaring di rumah sakit sempat Fikri menanyakan perihal rumah itu kepada Yusuf. Rumah yang diinginkan Fikri telah dapat, Rahima sudah sembuh sedangkan Fikri meminta pulang ke rumah barunya di Koto Baru. Dia berwasiat agar Yusuf mau menikah dengan Rahima, karena dia tidak akan lama lagi hidup. Rahima kini juga sudah sebatang kara, Fikri minta agar sahabatnya itu melindunginya sepeninggalnya nanti.  Di hari ajalnya masih sempatlah dia melihat sahabatnya Yusuf dan Rahima bersanding di depan penggulu. Ketika itulah rinai kabut Singgalang turun, hari yang sangat menyedihkan bagi orang-orang yang ditinggalkannya.

Novel ini sarat nilai moral dan nasihat agama. Selayaknya novel ini menjadi bacaan wajib generasi muda hari ini di tengah semaraknya kehidupan hedonis yang nyaris tak lagi mempedulikan soal nilai dan etika. RKS memberi pencerahan kepada siapa saja yang membacanya, dan sangat layak difilmkan. Semoga. []

Penulis mahasiswi Universitas Muhammadiyah sumatera Barat (UMSB) Kauman Padangpanjang.

Dimuat di: http://korandigital.com/?pg=articles&article=15053

PESAN SEGERA NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG:
Caranya: Hubungi nomor 0819 9351 6937 atau 0813 7444 2075. Harga buku Rp 48.000/eks (ditambah ongkos kirim). Uang pembelian ditransfer ke rekening: BNI Cabang Bukittinggi No Rek. 0207005426, a.n. Fitri Kumala Sari. Add juga facebook Rinai Kabut Singgalang di rinaikabutsinggalang@yahoo.com atau rahimaintermedia@yahoo.com. Salam
 

Minggu, 10 Juli 2011

Gola Gong: Novel Rinai Kabut Singgalang, Mendekatkan Sastra Lewat Televisi


Launching RKS di Padangpanjang


KETIKA saya membaca “Rinai Kabut Singgalang” (Rahima Intermedia, Januari 2011) karya Muhammad Subhan, langsung teringat sinetron. Ini bahan baku yang bagus untuk membuat sinetron, karena sangat cocok dengan selera pemirsa TV di negeri ini, yang senang dengan kisah mengharu biru. Di dalam dunia sinetron, ada istilah “soap opera convention”, yaitu tema popular seperti Cinderella syndrome, cinta terlarang, odyphus complex, petualangan, konflik dua keluarga, persahabatan, dan perselingkuhan. Tema-tema keseharian ini sangat digemari pemirsa sinetron di tanah air, karena merasa sangat dekat dengan kehidupan mereka.

PROBLEM SASTRA

Lewat Rinai Kabut Singgalang (RKS), saya terlempar ke masa lalu, saat Buya Hamka menjadi pelopor cerita romantis jenis ini. Saya tahu, banyak para penulis Minangkabau kini enggan menulis hal ini, karena rata-rata sudah (merasa) melampaui itu. Tidak apa-apa. Tapi, Muhammad Subhan menuliskan hal itu juga tidak apa-apa. Saya setuju dengan apa yang ditulis Damhuri Muhammad di kata pengantar buku ini, bahwa RKS sebagai bentuk “mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau”. Harus tetap diingat, penulis menulis karya (sastra) bukan untuk sesama penulis saja, tapi ada tujuan yang lebih besar, yaitu puluhan juta masyarakat yang belum membaca buku (sastra). Dengan cara memilah-milah pembaca buku (sastra), seperti halnya pemirsa di TV yang dipilah berdasarkan peringkat penghasilan, RKS mencoba meraih pembaca di kelas sosial-ekonomi mahasiswi, ibu-ibu, dan pembantu. Dengan cara seperti ini, sastra (apapun genrenya) pada suatu saat kelak, tidak lagi berjarak dengan masyarakatnya.

Persoalannya di negeri ini tidak semua berpendidikan tinggi (pintar) dan gemar membaca buku (sastra). Ini memang harus tetap dipikirkan para penulis (sastra). Perihal sastra berjarak dengan masyarakat (pembaca)nya dibuktikan penelitian Taufiq Ismail sepanjang Juli-Oktober 1997 dengan cara mewawancarai pelajar tamatan SMA di 13 negara. Pertanyaan yang diajukan adalah: berapa judul buku sastra wajib dibaca selama 3 tahun bersekolah? Rata-rata pelajar di luar Indonesia pembaca sastra, seperti di Thailand Selatan 5 judul, Malaysia dan Singapura 6 judul, Brunei 7 judul, Rusia 12 buku, Canada 13 buku, Jepang dan Swiss 15, Jerman Barat 22 judul, Perancis dan Belanda 30 judul, Amerika 32 buku, dan Hindia Belanda 25 buku. Sedangkan pelajar Indonesia “nol” membaca sastra sejak 1950 sampai 2011. Taufiq membandingkan, kewajiban membaca buku siswa tamatan AMS (SMA) Hindia Belanda dulu sebanyak 25 buku dalam 3 tahun. Juga ada bimbingan mengarang seminggu sekali, berarti 36 pertemuan setahun. Itu sama saja setiap pelajar Hindia Belanda selama 3 tahun bersekolah harus menulis 108 karangan. “Hasilnya luar biasa. Generasi Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Natsir, Syarifudin Prawiranegara,” cerita Taufiq Ismail. “Sekarang, para siswa mengarang ketika mau kenaikan kelas saja, sekali setahun mirip shalat Iedul Fitri,” tambahnya prihatin.

Itu tampak nyata di negeri ini dengan hanya diterbitkannya 10 ribu judul buku pertahun dan hanya diserap 1.000 judul oleh penduduk Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih itu. Berapa orang di Indonesia yang senang membaca buku? Saya pernah mengalami buku karangan saya (Balada Si Roy) dicetak lebih dari 100 ribu eksemplar (1990), Hilman Hariwijaya dengan “Lupus” lebih dari 1 juta eksemplar (1990), begitu juga di era 2000 dengan “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) dan “Ayat-ayat Cinta” (Habiburrahman el-Shirazy) di atas 1 juta ekemplar (tapi tetap belum menembus 1,5 juta). Bandingkan dengan jumlah penduduk di negeri ini. Jadi, jika sebuah judul buku bisa menembus angka keramat sebesar 2.000 eksemplar, penerbit sudah bernapas lega. Padahal, andai 1% saja yang rajin membeli buku (berarti 2 juta eksemplar), penulis di Indonesia akan kaya dan tentu akan leluasa mengeksplorasi karyanya. Akan lahir karya-karya yang beragam dan antara penulis – pembaca – penerbit terjadi komunikasi harmonis.

HIBURAN

Sastra pada dasarnya menghibur, seperti halnya sinetron. Perbedaannya, sinetron di Indonesia hadir setiap hari tanpa memedulikan logika cerita sehingga bikin perut terasa mual, sedangkan sastra berada di ruang-ruang rahasia dan berjarak dengan masyarakat. Persoalannya itu tadi, masyarakat di negeri ini tidak semuanya senang membaca apalagi membeli bukunya. Masyarakat yang intelektualnya tinggi lebih sedikit dibanding yang berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak tertarik pergi ke toko buku atau perpustakaan. Mereka merasa cepat pusing jika dihadapkan pada buku-buku sastra dengan penggarapan serius. Paling-paling mereka hanya membaca sebagai hiburan saja.

Sebagai penulis saya termasuk membaca segala macam jenis sastra untuk menambah wawasan. Dalam proses membaca RKS, saya akan memakai pendekatan dari sisi film (TV). Rasa ketertarikan saya dimulai ketika membaca bab 1 (Duka di Kampung Pesisir, hlm 15). Muhammad Subhan memulai dengan sudut pandang “saya”, yang hendak menceritakan kisah RKS ini. Siapakah “saya”? Kemudian di akhir cerita, pembaca akan tahu bahwa “saya’ adalah tokoh Yusuf, sahabat karib tokoh utama, Fikri. Teknik ini tidak baru. Sudah banyak ditulis. Multatulli dengan “Max Havelaar’, misalnya. Saya juga pernah. Tapi, tetap saja menarik dan alurnya sangat filmis. Jika saya menulis skenarionya untuk sinetron, saya akan menulis dengan pembukaan gambar sebuah adegan tokoh Yusuf yang sedang memandangi tokoh Rahima, calon istri Fikri, yang hingga ajal menjemputnya, tidak bersedia disentuh, karena saking cintanya kepada Fikri yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang. Teknik flash back yang akan saya pakai dan sudah sangat umum di dunia film (TV atau pun layar lebar).

Kemudian ada beberapa kelemahan intrinsik yang saya temukan. Misalnya, dalam alur cerita Fikri yang hendak dicelakai para pemuda kampung Kajai. Tokoh Yusuf disiksa oleh para pemuda (hlm 93) hingga tak sadarkan diri. Di kuburan Mak Safri (paman Fikri), saat Yusuf menghibur Fikri, tidak disinggung sama sekali persoalan ini (hlm 111). Begitu juga selama sebulan perjalanan waktu, polisi tidak berhasil mengendus ini. Kasus pembunuhan Mak Safri, Subhan selesaikan di bab 12 (Mendapat Orangtua Angkat, hlm 171) lewat surat Yusuf kepada Fikri, bahwa polisi sudah menangkap 2 pembunuh Mak Safri, yang juga menyiksa Fikri. Kalau saya jadi penulis, konflik ini akan saya garap sejak di bab 7 (Tragedi Berdarah, hlm 95). Ah, itu soal selera saya kira dan itu tidak mengganggu alur cerita secara keseluruhan. Tapi tetap saja akan menarik jika disinetronkan, konflik ini akan jadi plot point (suatu pristiwa yang menggerakkan cerita) yang menarik. Seperti halnya film layar lebar “Merantau”, dimana eksplorasi kerarifan lokal pencak silat ranah Minang mencuat di sini. Penonton kita (TV atau layar lebar) masih senang dengan tontonan berbau laga (film action).

Saya juga merasa terhibur ketika membaca RKS sepanjang perjalanan Serang-Palembang-Jambi-Tebo-Bukit Tinggi. Terutama penggambaran setting lokasi ranah Minangnya. Saya merasa sedang dibawa berwisata oleh tokoh Fikri. Saya yakin RKS akan jadi semacam panduan pariwisata bagi para pelancong keluarga. Ini akan sesuai dengan kesepakatan para pengeola TV, bahwa on air look di TV itu harus beauty. RKS tentu akan menyajikan panorama gambar yang sangat indah. Detail-detail alam Minangkabau akan enak di mata penontonnya. Saya yakin, DOP (pengarah gambar) akan tertantang memindahkan setiap kalimat keindahan Minangkabau di RKS ke pita filmnya.

Tentu RKS tidak hanya sekedar menghibur. Tetap saja Subhan dengan cara popular mengemas amanat kepada pembacanya lewat para tokoh rekaannya. Seperti halnya Ahmad Fuadi yang berasal dari Kampung Bayur, Maninjau, lewat novel “Negeri Lima Menara” (Gramedia), yang sudah terjual 170 ribu buku menyampaikan amanat “man jada wa jadaa” (yang bersungguh-sungguh akan berhasil) dan buku keduanya “Ranah Tiga Warna” (sudah 70 ribu buku) dengan “Man shabara zhafira” (yang bersabar akan beruntung). Di RKS, pembaca akan diingatkan, bahwa bersikap sabar seperti tokoh Fikri akan mendapatkan kebahagiaan tidak di dunia, tentu di akherat. Lewat tokoh Fikri, secara verbal, pembaca yang dibidiknya diingatkan untuk terus berbagi kepada sesama. Ini akan jadi ending yang sangat disukai pengelola TV, yaitu menguras air mata penonton.

MEDIA TELEVISI

Untuk bisa bangkit dari keterpurukan memalukan sebagai orang yang tidak membaca sastra, kita harus saling dukung-mendukung. Sesama penulis tidak boleh diskriminatif terhadap karya yang ditulis penulis lainnya, tapi justru harus terus menyediakan bahan bacaan dengan menuliskannya untuk seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, yang berlatar belakang beragam. Cara mengenalkan sastranya bisa di mana saja. Di perpustakaan, di komunitas, di toko buku, di sekolah, di kampus, di koran, bahkan di televisi.

Ya, kita harus belajar dari penyelenggara TV. Selama ini kita — para penerbit dan penulis — sudah melupakan televisi (dan production house), yang sebetulnya sangat ampuh sebagai media ruang penyampai sastra kepada para penonton. Kita selalu menyalahkan televisi, yang sudah menyebarkan kebodohan lewat (logika) cerita sinetron. Saya yakin, jika pemirsa TV tahu, bahwa sinetron yang ditontonnya berdasarkan sebuah novel, mereka pasti akan membeli novelnya. Lihat saja yang terjadi pada “Laskar Pelangi” dan “Ayat-ayat Cinta”, setelah dilayarlebarkan, oplahnya terus meningkat. Buku trilogy saya; Pada-Mu Aku Bersimpuh, yang ditayangkan RCTI saat puasa 2001, ketika diterbitkan ulang dengan menggabungkannya menjadi judul “Cinta-Mu Seluas Samudra” memasuki cetakan ke-empat.

Sastra – apapun itu genrenya – memiliki peluang merebut ruang dan waktu emas (prime time) televisi, jika para pelakunya mau melakukan itu dan tidak menganggap tabu televisi. Sastra bisa menjadikan para penonton TV di negeri ini tercerahkan dan lepas dari kungkungan “mimpi di siang bolong”. Sastra bisa menyediakan bahan baku cerita dengan logika cerita yang tertib bagi televise, jika para pelakunya berbondong-bondong melamar jadi penulis scenario di TV dan para penerbitnya melakukan jejaring dengan TV.

Arswendo Atmowiloto dan Dedi Setiadi pernah melakukan itu di TVRI (80-an). Kemudian diteruskan pada era 90-an di beberapa TV swasta, tapi tidak berkelanjutan. Saya menyebutnya ini adalah “sastra TV” untuk menyaingi “sastra koran” di hari Minggu yang begitu dinanti warga Indonesia dari kelompok kecerdasan tinggi atau kaum inelektual.

Saya dan beberapa penulis pernah melakukan itu di Indosiar (1995), ketika pakem rumah produksi adalah “menjual mimpi” di ranah sinetron lewat sinetron ala Indihe dan Hongkong, saya mencoba berpijak ke bumi. Kemudian saya menjadi salah satu team creative di RCTI (1996 – 2008); mencoba menawarkan gagasan baru dalam bercerita di “sastra TV” (untuk menyaingi sastra Koran tadi), agar para penonton dari kelas CDE (menengah bawah = pembantu dan PRT) mendapat suguhan sinetron yang selain menghibur, juga tetap memaksa kaki mereka menapak di bumi. Bahkan novel saya yang berjudul “Pada-Mu Aku Bersimpuh” (Mizan, 2002) diangkat ke sinetron Ramadhan di RCTI dan mendapatkan penghargaan sebagai tayangan sinetron Ramadhan dengan cerita terbaik versi MUI pada waktu itu. Beberapa sinetron pernah beredar di TV dimana ceritanya berdasarkan novel; Lupus karya Hilman (Indosiar, 1997), Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (SCTV, 2000), Al-Bahri karya saya (TV7, 2002), dan Siti Nurbaya karya Marah Roesli (TVRI, 1991).

Usaha ini saya rasakan dengan RSK. Target pembaca yang dibidik Subhan adalah para pelajar dan mahasiswi putri yang senang menonton sinetron dan ibu-ibu serta pembantu yang selalu setia di rumah sampai suami dan majikan pulang dari kantor sambil menonton sinetron. Ini ditegaskan Damhuri Muhammad di kata pengantar, bahwa buku ini “sesekali berpola sinetronik”.

Seperti saya tulis di atas, bahwa RKS sangat sesuai dengan tema-tema yang diusung dalam “soap opera convention”, yaitu bercerita tentang cinta seseorang ala “cinderella syndrome”; si miskin lewat tokoh Fikri kepada putri kaya bernama Rahima, walaupun pada akhirnya Fikri meninggal dunia dengan meminta kepada Rahima, agar mau menikah dengan Yusuf, sahabatnya.

WARNA LOKAL

Bagi saya, RKS adalah sebuah karya yang harus disupport, asalkan kita paham target pembacanya. Penerbit harus mampu mengatur strategi pemasaran dan penjualannya; yaitu untuk pembaca wanita mulai mahasiswi, ibu rumah tangga dan pembantu. Penerbit juga gencar melobi PH/TV. Penulis RKS atau penulis lainnya yang menulis buku dengan genre popular tidak perlu merasa minder di depan penulis yang selalu menulis untuk pembaca yang memiliki intektual tinggi atau dikategorikan sastra serius. Begitu juga penulis jenis karya itu tidak perlu merasa lebih unggul dari yang lainnya, karena ini persoalan pilihan. Yang harus dilakukan para penulis, adalah menulis saja dengan pilihan hatinya tapi memiliki satu tujuan; menghilangkan kebutaaksaraan membaca buku (sastra) di negeri ini seperti yang dikeluhkan Taufik Ismail. Dengan cara itu, saya yakin sastra tidak lagi berjarak dengan masyarakat.

TV adalah ruang yang harus diincar oleh penulis. RKS berpeluang sebagai sastra TV, karena memenuhi kriteria televisi, yaitu penderitaan dari tokoh Fikri yang terus-menerus sehingga akan mengakibatkan pemirsaTV terkuras air matanya, cinta sejati yang tersandung, intrik-intrik dari para tokoh, serta setting lokasi Minangkabau yang indah. Apalagi sekarang pemerintah menghimbau, agar tayangan sinetron harus menampilkan warna lokal. Di beberapa FTV kini mulai rajin diangkat cerita berlatar belakang kebudayaan lokal kita. RKS memiliki warna lokal yang kuat; yaitu kebudayan Minang yang matrilineal (garis ibu) lewat tokoh kakak Rahima, yaitu Ningsih, yang memisahkan Fikri si miskin dengan Rahima. Terutama setting lokal Minangnya yang kuat; pemandangan danau Maninjau, gunung Singgalang, dan lokal genuine lainnya.

Kita doakan saja semoga ada TV atau PH yang berminat mengangkat RKS ke sinetron atau film layar lebar di TV. Insya Allah. (*)

*) Gola Gong adalah pengarang novel dan penulis scenario sinetron. Pernah bekerja sebagai creative di Indosiar (1995), dan RCTI (1996 – 2008). Kini mnekuni dunia penerbian di Gong Publishing, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Indonesia, Dewan Pembina Forum Lingkar Pena, dan Pendiri Rumah Dunia (www.rumahdunia.net)

*) Makalah ini dipaparkan di acara “Bedah Novel ‘Rinai Kabut Singgalang”, Minggu, 3 April 2011, pukul 08.00 – 16.00 WIB, Graha Serambi Mekah, Padang Panjang.

Sabtu, 02 Juli 2011

Pengarang Novel Rinai Kabut Singgalang Juri Lomba Nasional Menulis Artikel Tentang RI-Maroko


KOPI – Ada awal, maka harus ada pula akhir. Kegiatan lomba menulis tingkat nasional tentang hubungan Indonesia-Maroko, kerjasama PPWI dengan pihak Kedutaan Besar Kerajaan Maroko di Jakarta, yang dimulai pada tanggal 1 April 2011 lalu akhirnya ditutup pada 30 Juni 2011, pukul 24.00 WIB. Pengumuman hasil lomba ini dimaksudkan sebagai penuntasan akhir dari rangkaian panjang kegiatan lomba menulis tersebut.

Tidak kurang dari 600 artikel dari dua kategori kelompok peserta, yakni Siswa SLTP/SLTA dan Mahasiswa telah memenuhi ruang redaksi. Jumlah yang amat luar biasa itu teramat sangat membanggakan, terutama karena fenomena ini menunjukan bahwa ada antusiasme dan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap bangsa yang sering disebut sebagai Saudara Kandung (Akh Syaqiq), Maroko negeri matahari terbenam itu. Realitas ini menjadi bukti nyata bahwa kelompok generasi muda Indonesia memiliki semangat kuat dan sejuta idealisme untuk tetap mempertahankan hubungan silaturahmi dengan bangsa Maroko yang berdiam nun jauh di utara benua Afrika sana. Jadilah ratusan artikel telah menjadi jembatan emas bagi rakyat dalam menyampaikan rasa dan asa mereka, juga mengungkapkan ide-ide cerdasnya untuk memperkokoh hubungan kedua negara dan bangsa.

Dewan Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) dan panitia lomba dengan senang hati menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para peserta. Sejatinya, Anda semua adalah pemenang dari lomba ini. PPWI dan Kedutaan Besar Maroko di Jakarta secara tulus menyediakan Piagam Penghargaan bagi semua pengirim artikel.

Selanjutnya, Panitia lomba menyampaikan beberapa hal penting sebagai berikut:

Pertama, hasil lomba ini telah disahkan oleh tim yang tergabung dalam institusi dewan juri yang terdiri dari berbagai kalangan —mereka adalah WILSON LALENGKE, S.Pd, M.Sc, MA (Ketua Umum PPWI), TEGUH SANTOSA, MA (Ketua Umum Sahabat Maroko), Imam Suwandi, S.Sos (Penulis, Editor Senior MetroTV), DAMHURI MUHAMMAD (Esais, Cerpenis, Kritikus), DIANING WIDYA YUDHISTIRA (Novelis), SUPADIYANTO, S.Sos.I (Editor dan Kolumnis berbagai media cetak lokal dan nasional), dan MUHAMMAD SUBHAN (Jurnalis dan Novelis).

Kedua, Berkaitan dengan agenda kegiatan Kedutaan Besar Maroko - Jakarta pada bulan Juli-Agustus ini, maka jadwal pengumuman pemenang lomba menulis dan pelaksanaan resepsi penyerahan hadiah dipercepat. Sebagai catatan, perubahan jadwal sudah dipublikasikan media online ini sejak beberapa waktu lalu, disertai juga pengiriman email pemberitahuan ke masing-masing penulis/peserta lomba. Pengumuman pemenang sedianya dilakukan tanggal 2 Juli 2011, namun baru dapat dilaksanakan saat ini, Minggu 3 Juli 2011 pagi.

Ketiga, hadiah-hadiah yang disediakan PPWI bersama Kedutaan Besar Maroko di Jakarta untuk diberikan kepada para juara adalah sebagai berikut:

1. Tropi Juara I dan Sertifikat dari Dubes Maroko untuk Indonesia + Laptop + Sertifikat dari PPWI + hadiah sponsor lainnya bagi 2 orang Pemenang I.

2. Tropi Juara II dan Sertifikat dari Dubes Maroko untuk Indonesia + Camera Professional + Sertifikat dari PPWI + hadiah sponsor lainnya bagi 2 orang Pemenang II.

3. Tropi Juara III dan Sertifikat dari Dubes Maroko untuk Indonesia + Camera Digital + Sertifikat dari PPWI + hadiah sponsor lainnya bagi 2 orang Pemenang III.

4. Tropi Juara Harapan I dan Sertifikat dari Dubes Maroko untuk Indonesia + Tabanas Rp. 1.000.000,- + Sertifikat dari PPWI + hadiah sponsor lain bagi 2 orang Pemenang Harapan I.

5. Tropi Juara Harapan II dan Sertifikat dari Dubes Maroko untuk Indonesia + Tabanas Rp. 750.000,- + Sertifikat dari PPWI + hadiah sponsor lain bagi 2 orang Pemenang Harapan II.

6. Tropi Juara III dan Sertifikat dari Dubes Maroko untuk Indonesia + Tabanas Rp. 500.000,- + Sertifikat dari PPWI + hadiah sponsor lain bagi 2 orang Pemenang Harapan III.

7. Sebanyak 111 (seratus sebelas) naskah terbaik akan dipublikasikan dalam bentuk buku oleh pihak Kedutaan Besar Maroko. Tulisan yang tidak terpilih akan dicantumkan judul tulisan bersama penulisnya di daftar lampiran.

8. Sebagai apresiasi positif, seluruh peserta lomba mendapatkan piagam penghargaan (dalam bentuk soft-copy) dari PPWI Nasional dan Kedubes Maroko di Jakarta.

Keempat, Penyerahan hadiah akan dilakukan pada tanggal 4 Juli 2011 dalam sebuah acara khusus Gala-dinner di Kediaman Duta Besar Maroko di Jakarta yang akan dihadiri juga oleh beberapa pejabat tinggi negara dan kalangan pers nasional. Pemenang I, II, dan III diundang ke Jakarta oleh dan atas biaya Kedubes Maroko.

Kelima, Hasil Lomba Menulis Artikel Tingkat Nasional tentang Hubungan RI – Maroko adalah sebagai berikut :

Kategori Pelajar SLTP/SLTA :

Juara I disabet oleh Fadly Yashari Soumena dari MAN 2 MODEL Makassar, dengan artikel bertajuk: “HAM Tidak Sekedar Berteriak, Indonesia Perlu Belajar ke Maroko! (236/S)” (skor: 159)

Juara II diraih oleh M. Darussalam. T dari SMA Negeri 2 Palembang, dengan artikel berjudul: “Pariwisata antara Republik Indonesia dan Kerajaan Maroko (59/S)” (skor 158)

Juara III digenggam oleh Bayu Prakoso dari SMA Negeri 7 Pontianak, dengan artikel bertitel: “Harmoni dalam Budaya: Angklung Indonesia untuk Maroko (228/S)” (skor 156)

Juara IV (Harapan I) disabet oleh Nopitri Wahyuni dari SMKN 2 Terbanggi Besar Lampung, dengan artikel berjudul: “GUGAT SEKULARISME: Jihad atau Jahiliyah? (450/S)” (skor 154)

Juara V (Harapan II) digenggam oleh Ragil Heri Dewantoro dari SMK N 1 Klaten, dengan artikel bertitel: “Indonesia Maroko Tersenyum (44/S)” (skor 153)

Juara VI (Harapan III) diraih oleh Ganar Adhitya dari SMA Harapan Mandiri Medan, dengan artikel bertajuk: “Modal Sosial untuk Kebersamaan (558/S)” (skor 152)

Kategori Mahasiswa:

Juara I jatuh ke tangan Izzatul Kamilia dari Universitas Jember, dengan artikel bertajuk: “Dua Negara, Dua Budaya, Satu Cerita (434/M)” (skor 160,5)

Juara II dipegang oleh M. Khoirul Anwar KH dari IAIN Syech Nurjati Cirebon, dengan artikel bertajuk: “Epistemologi Maroko-RI (573/M)” (skor: 158)

Juara III direbut oleh Lestari Widodo dari Universitas Jambi, melalui artikel berjudul: “Mimpiku di Negeri Maghribi (254/M)” (skor: 156,5)

Juara IV (Harapan I) digenggam oleh C. Sinta Triyani dari Universitas Negeri Yogyakarta, dengan artikel bertitel: “Hubungan RI-Maroko, So What? (223/M)” (skor 156)

Juara V (Harapan II) jatuh ke tangan Hayu Ning Dewi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan artikel bertitel: “Romantisme RI-Maroko dalam Ruang Multidimensi (419/M)” (skor 153)

Juara VI (Harapan III) dipegang oleh Raja Maspin Winata dari Universitas Sumatera Utara dengan artikel bertitel: “Perempuan dan Perempuan (528/M)” (skor 152.5)

Keenam, keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat.

Ketujuh, Panitia mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh peserta, para anggota dewan juri, Kedutaan Besar Maroko di Jakarta dan semua pihak yang telah membantu terselenggaranya kegiatan ini.

Kepada seluruh Pemenang kami ucapkan selamat. Segera setelah pemuatan publikasi ini, seluruh pemenang akan dihubungi oleh panitia melalui email, dan per telepon untuk pengaturan pemanggilan ke Jakarta (bagi pemenang I, II, III) dan pengiriman hadiah bagi pemenang lainnya. Seluruh biaya transportasi, akomodasi, dan pengiriman hadiah ditanggung oleh Panitia/Kedubes Maroko. Mohon berhati-hati jika ada pihak yang menghubungi Anda dan meminta sejumlah dana dalam kaitan kegiatan lomba ini.

Demikianlah pengumuman ini disampaikan dan dipublikasikan agar seluruh peserta lomba dan masyarakat umum menjadi maklum adanya. Terima kasih.

Jakarta, 3 Juli 2011

Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA
Ketua Umum PPWI/Ketua Dewan Juri

Sumber: http://www.pewarta-indonesia.com/warta-redaksi/warta-redaksi/6241-pengumuman-hasil-lomba-menulis-artikel-tingkat-nasional-tentang-ri-maroko.html

Senin, 20 Juni 2011

Bedah Buku Hatinya Tertinggal di Gaza di STAIN Djamil Djambek Bukittinggi: “Tampilan Luar Bukan Jaminan”

Muhammad Subhan (kiri) dan Sastri Bakry (kanan)

Oleh Arbi Syafri Tanjung

Rabu (8/6), Gedung pertemuan rektorat kampus II STAIN Syekh M. Djamil Djambek, Kubang Putih, Bukittinggi tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pagi itu di depan pintu utama gedung rektorat tersebut diramaikan dengan pajangan buku yang disusun rapi di atas meja yang sengaja disediakan sebagai stand buku. Walaupun judul buku sama Hatinya Teringgal di Gaza, tetapi jumlahnya tak dapat dibilang sedikit. Perempuan-perempuan muda berjilbab dan berpakain santun lazimnya gadis minang terpelajar masa kini tampak mendominasi di sekitar gedung. Keramaian itu bukan tak beralasan, maklum saja pagi itu ada hajatan mulia dan sangat berbeda, yang sengaja disiapkan oleh mahasiswa STAIN Bukittinggi asal Pariaman yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Padang Pariaman (IMAPPAR).

Pariaman sebagai satu dari beberapa daerah di Sumatera Barat yang paling besar mengalami dampak peristiwa pahit G 30 S 2009 (meminjam istilah yang diungkapkan oleh ayahanda novelis muda Minang Mardhiyan Novita MZ saat menyampaikan sambutan pada acara peresmian Roemah Boedaja Fadli Zon 4 Juni 2011 lalu--red). Ini istilah untuk menyebut peristiwa Gempa 30 Setember 2009 di Sumatera Barat. Kehilangan harta, rumah, pekerjaan, bahkan nyawa sekalipun telah menempatkan posisi masyarakat Pariaman pada titik nadir yang mengharuskan mereka memulai untuk bangkit kembali dari tumpukkan kelemahan dan kekurangan serta keterbatasan yang dialami.

Acara yang dilangsungkan di lantai tiga rektorat STAIN Bukittinggi itu, seakan menjadi jawaban bahwa ini adalah satu dari banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengembalikan dan menormalkan semangat masyarakat Pariaman pada umumnya dan kalangan terpelajar asal daerah itu pada khususnya. Jatuh bukan untuk menyerah. Tapi, jatuh adalah untuk bangun kembali, berdiri dan selanjutnya lari mengejar ketertinggalan dari yang lain. Meskipun ada anggapan bahwa rang Pariaman lebih dikenal sebagai penggalas (pedagang) yang meramaikan sentra-sentra perdagangan di kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta-Bandung-Medan-Surabaya dan kota lainnya. Tapi acara kali ini memberi makna dan arti pengecualian dari anggapan itu. Sebab acara ini tidak menghadirkan penggalas ternama dan sukses, tapi mengundang Sastri Bakry rang minang, perempuan Pariaman yang saat ini telah menjadi satu ikon baru perempuan penulis dan penulis perempuan Indonesia. Beliau telah menunjukkan dan membuktikan kepada kita bahwa sastra dapat dipilih sebagai salah satu corong bagi setiap orang untuk menggugat dan berbagi, sekaligus mengubah keadaan yang sedang berlangsung. Meskipun kita tahu bahwa bukan beliau satu-satunya yang berbuat seperti yang dimaksud, tetapi beliau dapatlah menjadi satu contoh lokomotif yang mampu menggerakkan gerbong-gerbong generasi muda perempuan dan rang Piaman di masa berikutnya. Pariaman, terus bangkit dari dunia yang satu ini. Tahun 2011 telah terbit novel Penyair Merah Putih karya Mardhiyan Novita MZ, novelis muda yang juga asal Pariaman, yang baru saja lulus UN di MAN Koto Baru.   

Sebagai tamu khusus yang sengaja di undang Sastri Bakry sekretaris Dewan DPRD Kota Padang yang juga merupakan penulis novel Hatinya Tertinggal di Gaza (kemudian disingkat dengan HTDG) hadir dengan kapasitasnya sebagai penulis. Sebagai pembedah pada kesempatan itu dipercayakan kepada penulis muda asal Aceh-Minang, yang telah melahirkan novel Rinai Kabut Singgalang, novel yang akan cetak ulang. Beliau, Muhammad Subhan, yang kesehariannya bertugas di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Aie Angek, Tanah Datar. Selain untuk memenuhi undangan, Muhammad Subhan dan Sastri juga hadir untuk bicara sastra.

Sastranya Sastri adalah sastranya perempuan. Sebelum menunjukkan produktivitas menulisnya lewat HTDG perempuan setengah baya yang tampil menarik ini, telah menelurkan lima buku sastra yang juga bertema perempuan seperti: Perempuan Dalam Perempuan (1995), Sajak Berdua (1996), 26 Penyair Hawa (1997) dan Kekuatan Cinta (2009).

Dengan perempuan ia berkarya, dan dunia perempuan pula yang menjadi ladang perjuangannya. Tulisan dan goresan pena yang ia cipta berbanding lurus dengan sifat asli dan fitrah dari seorang  perempuan, yakni kelembutan dan keindahan. Minang sebagai daerah latar ceritanya, perempuan suku itu pula yang menjadi objek kisah novelnya. Sebenarnya judul novel Hatinya Tertingggal di Gaza adalah satu sub judul dari isi novel tersebut.

Sub judul ini bercerita tentang khayalan Nadhifah, salah satu tokoh dalam cerita, ia berkhayal menjadi seorang relawan ke daerah konflik Timur Tengah di Gaza. Lewat khayalnya ia mempersembahkan bakti tenaganya untuk para saudara sesama muslim yang menderita dan yang terpaksa menerima cerita pahit hidup yang berbalut manisnya sabar yang telah digariskan Tuhan untuk mereka. Hati, pikiran dan kenangan nyata hidupnya terus menyatu dengan kisah dalam khayalannya itu. Kisah khayalannya tak mampu ia singkirkan dari pikirannya, Ia selalu saja merasa seperti yang ada dalam dunia khayal itu.     

Dalam kasak-kusuknya kondisi masyarakat yang sedang berlangsung dan entah sampai kapan akan terus berlangsung. Sastri memberi “air’ penyejuk dahaga bagi Indonesia dan perempuan-perempuan yang menjadi bagiannya bahwa perempuanlah yang paling mengerti masalah perempuan itu sendiri. Perempuan ia urai, perempuan ia tutur, dan ia bentangkan masalah real perempuan lewat lukisan kata-kata indah nan puitis dalam bentuk sastra, dengan harapan semoga setiap yang membaca hasil goresan dan lukisan itu menambah perbendaharaan wawasan akan persoalan perempuan.Tapi, tetap saja akan bermuara pada tindakan bagaimana semestinya memperlakukan seorang perempuan.

Novel yang berjudul asli Gelombang Matahari itu, turut mengisyaratkan kepada setiap perempuan dan pembaca sekalian, bahwa pertimbangkanlah segala sesuatu secara bijak jika ingin mengambil sebuah keputusan, jangan sampai keputusan itu merusak kebahagian orang lain. Apakah hanya karena seseorang adalah ‘orang khusus’ kita dimasa lalu, kemudian kita merasa berhak mengambil kebahagian keluarga yang telah dibentuknya, dengan cara bersedia menikah dengannya karena permintaan dari pasangan resmi hidupnya, seperti yang dimohonkan Nindi Istri sah Ofhik kepada Nadhifah untuk mau menikah dengan Ofhik. Adalah sebagai sebuah kemuliaan bila kita mampu membahagiakan orang lain meski harus memepersembahkan sesuatu yang sangat kita cintai, dan mempercayai bahwa kebaikan dari yang Maha baik adalah hal terbaik.

Sebagai pembedah  novel HTGD Subhan menyatakan bahwa dengan jelas Sastri ‘menitipkan’ dan ‘menumpangkan’ pesan moral berharga bahwa tak selamanya tampilan luar dan style  baik itu, berbanding lurus dengan baiknya  mental dan spiritual seseorang. Ia mencontohkan bagaimana sikap Nadhifah ,salah satu tokoh dalam Novel itu, sosok yang digambarkan pengarangnya sebagai  seorang perempuan saleha, berjilbab, memakai gamis, bersentuhan tangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Dalam tulisan yang bertajuk Menimbang Novel Hatinya Tertinggal di Gaza pada acara tersebut, Subhan juga mengungkapkan bahwa “(maaf) tidak semua perempuan berjilbab itu yang dapat menjaga pakaian muslimahnya secara baik. Pakaian cenderung sebagai simbol, tidak selalu, mewakili hati dan tubuh si pemakainya. Bahkan banyak orang yang menutupi keburukannya dengan pakain yang dipakainya. Realita di alam nyata juga sering kita saksikan dengan mata kepala”.       

Bukankah contoh yang diurai diatas adalah contoh bagaimana lembut dan halusnya nasehat bila  diramu dan diracik lewat sastra baik dengan kata maupun kalimat-kalimatnya.Wajar dan benarlah kiranya ungkapan Arab yang bunyinya “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu karena sastra membuat hati lembut”. Sebab jika hati lembut, keinginan untuk berbagi selalu ada.

Novel HTGD dan penulisnya yang seorang perempuan telah memberi kabar atau mangabakan bahwa bacaan yang ber-tema-kan perempuan adalah sesuatu gudang makna hidup. Bacaan yang apapun bentuknya, apakah novel, roman, buku ilmiah, penelitian, majalah, surat kabar dan lain sebagainya. Bukan hanya terbatas diperuntukkan bagi perempuan saja. Laki-laki sebagai jender yang berada disebrangnya, tidaklah tertutup untuk ‘menimba’ dan ‘mengais’ makna dari bacaan-bacaan tentang dunia perempuan yang feminim.  

Dalam pribadi Sastri, sastra telah menjadi alat berbagi kepada sesama perempuan dan alat berbagi pula bagi setiap insan yang membaca karyanya.HTDGnya Sastri berbagi kepada kaum hawa, bahwa tak seorangpun istri  didunia ini yang rela suaminya menikah dengan perempuan lain. Cinta yang suci tak mungkin dapat di kotak-kotak dan dibuat bagian-bagiannya seperti membagi kue bolu. Selain itu Sastri juga berbagi kepada setiap laki-laki bahwa ‘izin’ boleh menikah lebih dari satu orang perempuan seperti yang telah dituliskan dalam kitab suci.Hendaknya janganlah dijadikan senjata pembenaran untuk berpoligami atau menikah lagi. Kalam Tuhan bersumber dari ke-Mahabijakan, maka ,ungakapanNYA dalam kitab suci itu merupakan Kebijakan yang tanpa cacat dan kekurangan. Penafsiran manusia saja yang merubah Kemahabijakan itu menjadi sangat dangkal, seperti dangkalnya keinginan manusia untuk terus bersandar dan mendekat pada jalanNYA.  Persoalan ‘izin’ diatas tidaklah sesederhana itu sebab kitab suci juga meneruskan dengan kalimat peringatannya, yaitu ‘jika kamu mampu berbuat adil kepada mereka’

Dengan membedah karya Sastri yang juga mantan Bendahara IMAPPAR Padang semasa beliau kuliah, secara tidak langsung kegiatan bedah buku ini juga membedah bagaimana proses kreatif yang dilakoninya. Ia yang dapat disebut sebagai perempuan-ibu dan sekretaris yang super sibuk. Mampu dan terus saja berkarya, menulis. Menulis persoalan zaman, menulis persoalan kaumnya , sekaligus menuliskan pengalaman bathin para perempuan-perempuan daerah yang dilihat dan diperhatikannya. Bagaimana mungkin ia yang super sibuk bisa menulis dengan status dan peran yang melekat pada dirinya?. Paparan singkatnya tentang ini, ia sampaikan bahwa “modal menulis adalah mau”. Mau menulis apa saja yang berkesan dan terpsikir dalam kesehariannya,baik ketika sidang,ketika di pesawat,ketika ngobrol, atau dalam kondisi lainnya. Pokoknya selalu sediakan media tulis dalam bentuk apapun yang dimiliki dan di pegang saat akan menulis itu”. []

Tulisan ini dimuat di Koran Sekolah Suratkabar Harian RAKYAT SUMBAR UTARA, edisi Sabtu, 18 Juni 2011.

Minggu, 19 Juni 2011

Diskusi Sastra Bersama Siswa Sekolah Menulis dan Training Jurnalistik di STAIN Bukittinggi




Bersama Taufiq Ismail, penyair Indonesia

Dua agenda “tebar virus” menulis saya lakoni seharian Sabtu, 11 Juni 2011. Pertama, di Rumah Puisi Taufiq Ismail Aie Angek, saya kedatangan siswa Sekolah Menulis binaan Alizar Tanjung, cerpenis muda berbakat yang juga mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang. Kedua, saya kembali diundang mampir ke kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi. Kali ini saya memberi materi jurnalistik untuk kawan-kawan pengelola Tabloid “Al Itqan” di kampus itu.

Dua kegiatan itu sudah diagendakan sebelumnya. Secara intensif Alizar Tanjung menelepon saya atas rencananya membawa siswa Sekolah Menulis yang baru ia operasional beberapa bulan di Padang. Walaupun jumlah siswanya tidak banyak tapi saya menilai Alizar Tanjung sudah cukup sukses melakukan pembinaan menulis bagi generasi muda Ranah Minang.

Pagi itu ada sekitar 8 orang siswa menulis yang datang ke Rumah Puisi. Usai beramah tamah saling memperkenalkan diri, saya memberikan sedikit motivasi tentang pentingnya membaca buku dan menulis karangan. Ibarat dua sisi mata uang, membaca dan menulis tidak dapat dipisahkan.

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan diajukan siswa Sekolah Menulis tentang pentingnya menulis. Ada juga yang bertanya tentang proses kreatif saya mengarang novel Rinai Kabut Singgalang. Dan tak sedikit yang bertanya tentang kiat menembus penerbit dan kiat menerbitkan tulisan di suratkabar.

Diskusi yang dimulai dari pukul 10.00 pagi itu terasa cepat saja terlewati dan tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul 12.30 WIB. Sebagaimana diskusi-diskusi kepenulisan di lain kesempatan yang saya lakukan, banyak siswa yang tak ingin cepat beranjak dari kursi duduk mereka.

Sayang, saya pun tak dapat berlama-lama berdiskusi dengan kawan-kawan Sekolah Menulis itu, sebab saya harus bergegas ke STAIN Bukittinggi. Usai makan dan salat zuhur saya pun berangkat menuju STAIN lalu disambut kawan-kawan di kampus tersebut.

Dalam pelatihan jurnalistik di STAIN itu saya diminta panitia untuk mengulas soal Teknik Wawancara dan Foto Jurnalistik. Pengalaman selama 11 tahun menjadi wartawan di sejumlah suratkabar di Padang, tentu saja kedua materi itu tidak asing bagi saya. Hanya sayangnya di ruangan tidak ada in-focus sementara bahan presentasi saya sudah dibuat dalam bentuk power point. Walau kondisi itu saya maklumi, tapi agaknya peserta tidak cukup nikmat mendapat materi yang sepihak saya sampaikan.

Tetapi untunglah saya dapat menguasai suasana dengan diskusi-diskui dan humor yang menyegarkan. Walau telah siang beranjak sore, agaknya mahasiswa yang hanya berjumlah 15 orang itu tidak ada yang mengantuk. Harapan saya, semoga materi ringkas yang saya sampaikan itu dapat diterapkan dalam mengelola tabloid kampus yang mereka bina.

Dua contoh Tabloid Al Itqan yang saya perhatikan, agaknya belum dikelola secara baik. Hampir seluruh berita ditulis di dalamnya bergaya berita harian sementara tabloid itu sendiri terbit triwulan (3 bulan sekali). Tentu saja semua berita yang terbit di tabloid itu sudah basi. Saya menyarankan agar penulis berita memahami penulisan bergaya feature (baca: ficer) sehingga tulisan dapat bertahan lama. Sebab tulisan feature tetap asyik dan enak dibaca dalam kondisi apapun.

Dilain kesempatan Tim Redaksi Al Itqan berjanji akan membuat pelatihan baru khusus mempelajari Teknik Penulisan Feature yang tentu saja jadwal materinya tidak cukup 2-3 jam, bila perlu seharian. Dan, bila diundang lagi, tentu saja saya dengan senang hati menyatakan kebersediaan memberikan materi itu. []

Rabu, 15 Juni 2011

Rinai Kabut Singgalang Singgahi STAIN Bukittinggi dan STKIP Bangko Jambi

Menandatangani Novel Rinai Kabut Singgalang

Kebahagiaan bagi seorang pengarang adalah ketika karyanya mendapat apresiasi pembaca. Begitupun saya, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata ketika mahasiswa STAIN Syekh M. Djamil Djambek Bukittinggi, Rabu 8 Juni 2011 lalu mengundang saya menjadi narasumber dalam kegiatan mereka. Mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Padangpariaman itu, mengangkat acara Bedah Novel “Hatinya Tertinggal di Gaza” karya Novelis Perempuan Sumatera Barat produktif, Sastri Bakry yang juga sahabat saya.

Sebuah kehormatan tentunya saya terima saat itu. Saya yang baru menerbitkan satu novel—Rinai Kabut Singgalang—diberi kesempatan membedah novel Sastri Bakry yang diterbitkan Grasindo, yang sebelumnya Sastri Bakry juga sudah menulis beberapa novel lainnya. Dan, tidaklah tahu saya apa alasan panitia memilih saya sebagai pembedah novel itu—mungkin saja karena saya menulis novel juga. Yang pasti, saya menaruh hormat kepada kawan-kawan mahasiswa STAIN Bukittinggi yang memberikan kepercayaan itu kepada saya.

Kampus II STAIN Bukittinggi di Kubang Putih untuk kedua kalinya saya kunjungi, setelah sebelumnya, tahun lalu, mahasiswa STAIN Bukittinggi juga mengundang saya untuk menjadi pemateri pelatihan Jurnalistik tingkat dasar. Kehadiran saya kali ini, adalah untuk yang kedua kalinya. Kampus di kaki Gunung Merapi itu tampak indah ditingkahi hari yang rancak, tidak hujan tidak pula panas.

Bersama Uni Sastri Bakry dan panitia usai Bedah Novel di STAIN Bukittinggi

Alhamdulillah, acara berlangsung semarak dihadiri seratusan mahasiswa dari berbagai jurusan. Kaum perempuan mendominasi acara itu. Dan, agaknya, tidak hanya di acara-acara bedah buku saja kalangan perempuan dominan hadir, tapi juga diberbagai kegiatan lainnya, semisal di masjid, pasar, seminar, di sekolah, kampus, dan lainnya, kaum perempuan mendominasi. Khusus untuk acara bedah buku itu, pegarangnya, Sastri Bakry adalah juga seorang perempuan. Hendaknya, kondisi itu memicu semangat kaum perempuan lainnya untuk menulis.

Selang beberapa hari kemudian, tepatnya Jumat 10 Juni 2011 sore, saya dan Penyair Sulaiman Juned berangkat menuju Bangko, Provinsi Jambi. Saya diundang mahasiswa Lokal A Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Jambi untuk membedah Novel Rinai Kabut Singgalang. Sebagai pengarangnya tentu saja saya diwajibkan hadir. Pembedahnya sendiri adalah Sulaiman Juned, Penyair yang juga Dosen Jurusan Teater ISI Padangpanjang. Acara ini digagas Wiko Antoni, Dosen Sastra STKIP Bangko lalu disambut baik mahasiswa binaannya.

Saya dan Sulaiman Juned bermalam di rumah Wiko Antoni di Rantau Panjang. Perjalanan dari Padangpanjang ke Rantau Panjang itu, menghabiskan waktu 8 jam. Parahnya, di sepanjang jalan dari Dharmasraya hingga Rantau Panjang, banyak jalan rusak, penuh lobang dan debu yang berpotensi menyebabkan sakit TBC. Untunglah kami naik mobil pribadi yang dirental selama dua hari. Jadi agak sedikit nyaman di dalam kendaraan ber-AC.

Esoknya, pagi yang indah menyambut kami di Kampus STKIP Bangko yang berada di pinggir kota—juga di pinggir hutan belantara Jambi. Dari kejauhan tampaklah di mata saya dua gunung dan perbukitan yang memanjang. Terbit hasrat saya hendak menelusuri belantara lebat itu, mampir di komunitas masyarakat Kubu (Suku Anak Dalam) dan ingin melihat aktivitas mereka. Tapi hasrat itu hanya ada dalam imajinasi saya saja, sebab waktu yang terbatas tidak memungkinkan kami berjalan jauh selain untuk acara yang sudah direncanakan.

Bersama kawan-kawan Komunitas Hijau, STKIP Bangko, Jambi

Di aula kampus STKIP Bangko, seratusan mahasiswa sudah menunggu. Ketua Yayasan STKIP Bangko dan Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia juga hadir. Saya lihat semangat sekali mereka, khususnya panitia yang memenej acara. Ini acara besar. Setelah sambutan ini-itu yang dilakukan secara formal, Bedah Buku dibuka oleh lantunan lagu “Ode Rinai Kabut Singgalang” tembangnya Muhammad Jujur, seniman musik Padangpanjang yang selalu setia menemani saya dalam berbagai kegiatan bedah buku. Saya salut kepada Muhammad Jujur, petikan gitarnya membuai, suaranya khas, dan siapapun yang mendengar takjub.

Pembedah Sulaiman Juned “menguliti” isi Novel Rinai Kabut Singgalang dari berbagai sisi. Sebagai pengarang, saya tidak banyak komentar, cenderung menceritakan proses kreatif saja. Bagi saya, apapun komentar pembaca terhadap isi novel saya itu, sepenuhnya hak pembaca. Saya berprinsip, tugas seorang pengarang adalah mengarang, setelah karyanya terbit dan beredar di tengah masyarakat, khalayak pembacalah yang menjadi hakim. Siapapun yang membaca novel saya itu, merekalah hakimnya. Apapun vonis yang mereka jatuhkan, baik-buruknya, saya terima dengan lapang dada. Dan, dari beberapa kota yang menggelar bedah novel saya itu, saya banyak sekali menerima masukan yang tentu saja sangat berharga buat saya melakukan perbaikan di sana-sini nantinya, pada cetakan kedua.

Bedah novel yang dipandu Wiko Antoni itu, berjalan khitmad. Banyak pertanyaan diajukan peserta. Banyak juga motivasi yang saya berikan bersama Sulaiman Juned, khususnya motivasi menulis. Ada peserta yang mengatakan dirinya tidak berbakat menulis, tapi ada kemauan untuk menulis. Nah, “kemauan” di situ sudah modal besar. Bakat itu pasal 16. Pasal pertama, ya itu, “kemauan”. Bukankah banyak orang yang sebenarnya berbakat tapi tidak mau menulis?

Sulaiman Juned membedah Novel Rinai Kabut Singgalang

Acara berakhir dengan lagu penutup yang dibawakan Muhammad Jujur. Judulnya “Cambuk Berduri”. Muhammad Jujur mengarang 10 lagu terkait Novel Rinai Kabut Singgalang. Kawan-kawan di Padangpanjang yang berkegiatan di Mekahiba Production, tempat Muhammad Jujur beraktivitas, sedang menggarap albumnya. Dibuatkan videoklipnya. Saya bersyukur hidup di tengah kawan-kawan yang kreatif, semuanya memiliki potensi luar biasa. 

Di Bangko, saya dan kawan-kawan berkesempatan juga singgah dan berdiskusi dengan adik-adik di Komunitas Diksi dan Komunitas Hijau, sebuah komunitas seni yang berkegiatan di dunia teater. Diantara mereka sudah menulis meski belum menerbitkan buku. Tapi tak apa, masa depan berkegiatan mereka masih panjang. []